MK: Putusan Tanpa Perintah Penahanan Tetap Sah
Berita

MK: Putusan Tanpa Perintah Penahanan Tetap Sah

Dua hakim MK menyatakan dissenting opinion.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Moh. Mahfud MD (tengah). Foto: Sgp
Ketua MK Moh. Mahfud MD (tengah). Foto: Sgp

MK menyatakan Pasal 197 ayat (2) huruf k UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) inkonstitusional bersyarat. Uniknya, putusan MK ini justru menyatakan menolak permohonan pemohon.

“Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum,” kata Ketua MK Moh. Mahfud MD saat membacakan putusannya di Gedung MK, Kamis (22/11).

Karena itu, redaksional Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya berubah menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini  mengakibatkan putusan batal demi hukum.”

Mahkamah berpendapat Pasal 197 ayat (1)  huruf k KUHAP secara formal bersifat  imperatif (wajib) kepada pengadilan manakala pengadilan atau hakim tidak mencantumkannya dalam putusan yang dibuatnya, maka akan menimbulkan akibat hukum tertentu. Meski demikian,secara materiil-substantif kualifikasi  imperatif seluruh ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP tidaklah dapat  dikatakan sama atau setingkat.

Mahkamah membenarkan suatu amar putusan pidana tetap perlu ada pernyataan terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai bagian dari klausula untuk menegaskan status terdakwa bersalah dan harus dijatuhi pidana. Namun, ada atau tidaknya pernyataan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan oleh hakim dalam amar putusannya.

“Benar putusan yang dinyatakan batal demi hukum, putusan sejak semula dianggap tidak pernah ada dan  tidak mempunyai kekuatan apapun. Namun, harus dipahami putusan pengadilan haruslah dianggap benar/sah dan mengikat sebelum ada putusan pengadilan lain yang membatalkan,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan pertimbangan putusan.

Atas dasar itu, untuk menjamin kepastian hukum yang adil dan menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum yang berpotensi memunculkan ancaman ketakutan bagi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dalil-dalil permohonan pemohon terkait pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k  jo Pasal 197 ayat (2) KUHAP dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

“Oleh karena permohonan pemohon tidak beralasan hukum sepanjang permohonan penafsiran, padahal Pasal 197 ayat (2) huruf k memang tidak sejalan dengan upaya pemenuhan kebenaran materiil dalam penegakan hukum pidana, maka demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah memberikan makna Pasal 197 ayat (2) huruf k bertentangan dengan UUD 1945 apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 mengakibatkan putusan batal demi hukum,” kata Fadlil.

Dissenting Opinion
Menyatakan pendapat berbeda, M Akil Mochtar berpendapat perintah penahanan atau pembebasan yang dipersyaratkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sangat penting untuk dimuat dalam putusan. Hal ini demi kepastian hukum terhadap status penahanan dari terdakwa. Bila majelis hakim tidak memuatnya dalam surat putusan, status penahanan terdakwa menjadi tidak jelas.

“Ini mencederai rasa keadilan dan  kepastian hukum bagi warga negara yang sedang ditahan. Terlebih, penahanan merupakan bentuk perampasan kemerdekaan seseorang. Bila hakim atau majelis hakim tidak segera memutuskan status penahanan terdakwa dalam surat putusan maka terjadi keadilan yang tertunda. Rasa keadilan yang ditunda  adalah sama halnya dengan menciptakan ketidakadilan (justice delayed, justice denied),” kata Akil.

Karena itu, demi mencegah adanya ketidakadilan terhadap status hukum pencari keadilan, Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan pemohon dengan menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP merupakan persyaratan mutlak yang harus ada dalam setiap putusan pemidanaan dan tidak dicantumkannya persyaratan tersebut dalam isi surat putusan mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum.

Sementara, Hamdan juga berpendapat putusan pidana pada tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi harus mencantumkan perintah terdakwa ditahan, atau tetap  dalam tahanan atau dibebaskan dengan ancaman batal demi hukum. Hal itu untuk menghindari kesewenang-wenangan pengadilan atau jaksa untuk menahan, atau tetap menahan atau membebaskan terdakwa yang belum mendapatkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga  tidak ada jaminan kepastian hukum atas hak-hak terdakwa.

“Jika tidak ada kewajiban akan berpotensi mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak-hak terdakwa karena tidak ada kepastian, apakah terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan sampai adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap,” kata Hamdan.  

Hal itu, kata Hamdan, dapat menjadi mainan dan disalahgunakan oleh aparat penegak hukum yang tidak jujur. Karena itu, permohonan Pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian. Mahkamah tidak perlu menambahkan atau memaknai lagi Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP karena jelas dalam uraian pertimbangan Mahkamah Pasal 197 ayat (2) huruf k adalah tidak bersifat imperatif, sehingga permohonan pemohon ditolak.

“Jika Mahkamah memberi makna lain dari Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP, hal itu melampaui kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sesuatu yang di luar bahkan sama sekali bertentangan dengan permohonan Pemohon,” tegasnya.  

Menanggapi putusan, kuasa hukum pemohon, Yusril Ihza Mahendra menafsirkan putusan MK itu menyatakan Pasal 197 ayat 1 huruf k itu dianggap tidak ada. Karena itu, dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP apabila tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, putusan tidak batal demi hukum.

“Namun, saya tegaskan putusan MK ini tidak berlaku surut, sehingga semua putusan-putusan pengadilan yang kemarin yang tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat1 huruf k KUHAP adalah putusan yang batal demi hukum yang tak dapat dieksekusi,” kata Yusril.

Permohonan pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k, dan ayat (2) KUHAP ini diajukan H. Parlin Riduansyah. Terpidana kasus perambahan hutan ini meminta MK membatalkan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP karena bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon juga meminta Pasal 197 ayat (1) huruf k harus ditafsirkan berlaku untuk semua tingkat peradilan.

Dalam pandangan Parlin, putusan pemidanaan yang tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” seharusnya batal demi hukum. Putusan itu sejak semula dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial yang tidak dapat dieksekusi jaksa.

Parlin divonis tiga tahun penjara dalam kasus perambahan hutan di Kalimantan Selatan lewat putusan PK No. 157 PK/Pid.Sus/2011 tertanggal 16 September 2011 yang sebelumnya di tingkat pertama dinyatakan bebas. Yusril yang juga menjadi kuasa hukum Parlin menolak eksekusi dengan dalih tidak memenuhi syarat formal Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yakni tidak memuat perintah penahanan dalam putusan PK itu.

Tags: