MK: PK atas Putusan MK Tidak Ada Dasar Hukum
Aktual

MK: PK atas Putusan MK Tidak Ada Dasar Hukum

ANT
Bacaan 2 Menit
MK: PK atas Putusan MK Tidak Ada Dasar Hukum
Hukumonline
Makamah Konstitusi melalui majelis panel menyatakan permohonan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan pengujian UU Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden (UU Pilpres) tidak ada ketentuan yang dijadikan dasar.

"Di mana saudara lihat dasar hukum MK bisa PK, di pasal berapa," tanya Hakim Konstitusi Muhammad Alim kepada kuasa hukum pemohon, Habiburokhman, saat sidang perdana permohonan PK putusan pengujian UU Pilpres di MK Jakarta, Selasa.

Alim juga mengungkapkan bahwa majelis PK itu harus berbeda dengan majelis yang memutuskan sebelumnya.

"Untuk saudara tahu di MA untuk PK majelisnya harus lain, tidak boleh sama. Kalau di MK yang memutus UU Pilpres adalah delapan hakim konstitusi, terus siapa yang akan memutus PK," tegas Alim.

Sedangkan Wakil Ketua MK Arief Hidayat menyatakan pemohon UU Pilpres yang diajukan Partai Gerindra ini telah memotong frasa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 untuk dijadikan dasar permohonan PK ini.

"MK berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir dan sifatnya final dan seterusnya. Tetapi dalam permohonan saudara, itu (frasa) dipotong pada tingkat pertama dan terangkhir sehingga berarti bisa PK," ujar Arief.

Wakil Ketua MK ini menegaskan bahwa frasa tersebut tidak bisa dipotong, sehingga permohonan PK terhadap putusan MK tidak bisa dilakukan. "Kalau menurut majelis tidak bisa frasa dipotong," tegasnya.

Untuk itu Arief menganjurkan pemohon untuk melakukan pengujian UU Pilpres yang baru. "Ajukan permohonan 'judicial review' baru UU pilpres, kan ini sudah pernah diputus, supaya tidak 'nebis in idem', saudara harus jelaskan supaya tidak nebis," saran Arief.

Majelis panel permohonan PK putusan pengujian UU Pilpres ini terdiri Arief Hidayat sebagai ketua majelis panel didampingi Muhammad Alim dan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai anggota panel.

Habiburokhman, saat membacakan permohonannya, mengatakan putusan pengujian UU Pilpres mengandung masalah besar, karena ketidaksinkronan antara poin pertama bahwa pemilu harus dilaksanakan serentak, namun poin kedua baru bisa dilaksanakan pada Pemilu 2019.

Habiburokhman mengakui pihaknya bisa mengajukan pengujian UU Pilpres yang baru dengan isu kontitusional yang berbeda, namun tidak bisa menyentuh esensi bahwa putusan MK itu memiliki permasalahan yang serius.
Tags: