MK: Perjanjian Internasional Ini Harus Libatkan DPR
Berita

MK: Perjanjian Internasional Ini Harus Libatkan DPR

Menurut Mahkamah keterlibatan dan persetujuan DPR atas perjanjian internasional bukan hanya karena syarat teknis administratif, tetapi juga amanat konstitusi.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi aturan kewenangan DPR dalam perjanjian internasional di sejumlah pasal UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian International, khususnya Pasal 10. Dalam putusannya, Pasal 10 UU Perjanjian Internasional dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang hanya jenis-jenis perjanjian internasional tertentu harus mendapat persetujuan DPR dengan sebuah UU.   

 

“Menyatakan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian international sebagaimana disebutkan pada huruf a sampai dengan huruf f dalam pasal a quo itulah yang mempersyaratkan persetujuan DPR, sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan UU,” ujar Ketua Majelis MK, Anwar Usman saat membacakan putusan No. 13/PUU-XVI/2018, di ruang sidang MK, Kamis, (22/11/2018).

 

Pasal 10 UU Perjanjian Internasional

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;

c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e. pembentukan kaidah hukum baru;

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

 

Karenanya, jenis-jenis perjanjian tersebut harus melibatkan DPR untuk disahkan melalui UU. Sementara, untuk pengujian pasal lain, menurut Mahkamah tidak dapat diterima.

 

Sebelumnya, para pemohon dari 9 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan 5 orang petani petambak garam yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Ekonomi memohon pengujian empat pasal yakni Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 UU Perjanjian Internasional. Keempat pasal itu dinilai bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena selama ini peran dan fungsi pengawasan DPR sangat lemah ketika pemerintah melaksanakan perjanjian internasional.

 

Bagi Para Pemohon, keempat pasal dalam UU Perjanjian Internasional telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat/rakyat karena hilangnya kontrol dan keterlibatan rakyat (DPR) dalam proses perundingan perjanjian internasional. (Baca Juga: Fungsi Kontrol DPR Lemah, UU Perjanjian Internasional Dipersoalkan)

 

Mereka meminta MK agar Pasal 2 dan 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional dihapus karena bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional sepanjang frasa ”dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden” bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

 

Sementara Pasal 10 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait beban keuangan negara hanya terbatas pada: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.”

 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan tidak terdapat frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU” dalam rumusan Pasal 10. Mahkamah memahami norma Pasal 10 berkait dengan frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU” seperti dimaksud Pasal 11 ayat (1) UUD 1945.

 

Menurut Mahkamah sesuai semangat pembukaan UUD 1945, hakikat kekuasaan eksekutif, dan memperhatikan praktik negara-negara berdaulat, keterlibatan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat dalam proses pemberian persetujuan pembuatan perjanjian internasional umumnya tidaklah diberlakukan pada semua perjanjian internasional, melainkan hanya terhadap perjanjian international yang dianggap penting saja.

 

“Untuk perjanjian internasional lain, misalnya perjanjian-perjanjian yang bersifat teknik atau administratif, persetujuan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat tidak dibutuhkan,” demikian salah satu pertimbangan Mahkamah dalam putusannya.

 

Mahkamah menerangkan perihal mana perjanjian internasional yang dianggap penting, di negara-negara yang menganut konstitusi tidak tertulis ditentukan berdasarkan hukum kebiasaan di negara tersebut. Namun, di negara yang menganut konstitusi tertulis ditentukan dalam konstitusinya dan/atau pengaturan lebih lanjut dalam hukum positifnya (UU).

 

Bagi Mahkamah, persoalan apakah perjanjian internasional tergolong ke dalam perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak, baru dapat diketahui dalam mekanisme konsultasi pemerintah dengan DPR sesuai Pasal 2. Karenanya, menurut Mahkamah Pasal 10 telah menimbulkan penafsiran bahwa hanya perjanjian-perjanjian internasional yang disebutkan dalam pasal itulah yang tergolong dalam perjanjian internasional.

 

“Perkembangan dalam pergaulan internasional semakin intens, sehingga membuat sesama anggota masyarakat internasional semakin saling bergantung satu sama lain sesuai dalam pemenuhan kebutuhannya, yang dalam batas penalaran yang wajar akan sangat berpengaruh terhadap kepentingan nasional Indonesia.” (Baca Juga: Ahli Tekankan Pentingnya Persetujuan DPR dalam Perjanjian Internasional)

 

Dengan tetap mempertimbangkan keleluasaan yang cukup bagi presiden untuk dapat secara efektif melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahannya, rumusan norma yang tertuang dalam Pasal 10 tidak akan mampu menjawab kebutuhan dan ketidakmampuan menjawab kebutuhan, bukan sekedar persoalan teknis administratif, melainkan langsung berkaitan dengan pemenuhan amanat konstitusi. “Maka, dalil para pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 beralasan menurut hukum.”

 

*Boks ralat penambahan paragraf pertama, kalimat kedua:

 

Dari Kalimat: “Dalam putusannya, Pasal 10 UU Perjanjian Internasional dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang hanya jenis-jenis perjanjian internasional tertentu harus mendapat persetujuan DPR dengan sebuah UU.”

 

Ditambahkan dengan kalimat: “Artinya, Pasal 10 UU Perjanjian Internasional mengenai jenis-jenis perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR dengan sebuah UU diperluas sepanjang berdampak terhadap kepentingan dan kebutuhan nasional Indonesia, sehingga jenis-jenis perjanjian internasional tidak dibatasi hal-hal yang diatur Pasal 10 UU Perjanjian Internasional.” 

 

Tags:

Berita Terkait