MK: Pengumuman Hitung Cepat Harus 2 Jam Setelah Pemungutan Suara
Berita

MK: Pengumuman Hitung Cepat Harus 2 Jam Setelah Pemungutan Suara

Adanya larangan bagi lembaga survei untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang adalah sejalan dengan semangat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan telah memenuhi syarat pembatasan hak konstitusional sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 449 ayat (2), ayat (5), ayat (6); Pasal 509; dan Pasal 540 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait aturan larangan pengumuman hasil survei dan hitung cepat (quick count) pada masa tenang dan saat pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang dimohonkan sejumlah lembaga survei dan stasiun televisi.

 

Ditolaknya permohonan ini berarti pengumuman hasil hitung cepat tetap boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat (WIB) atau paling cepat pukul 15.00 WIB sesuai bunyi Pasal 449 ayat (5) UU Pemilu. Jika dilanggar diancam sanksi pidana penjara maksimal 1,5 tahun dan denda paling banyak Rp 18 juta sesuai Pasal 540 UU Pemilu.

 

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan No. No. 24/PUU-XVII/2019 di ruang sidang MK, Selasa (16/4/2019). (Baca Juga: Pemerintah Jelaskan Rasionalitas Larangan Pengumuman Survei Hasil Pemilu)

 

Pasal 449

(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada Masa Tenang

(5) Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.

(6) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.

Pasal 509

Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.0000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 540

(1) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa prakiraan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

(2) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat sebelum 2 (dua) jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

 

Dalam putusannya, Mahkamah menilai ketentuan batas waktu paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat untuk mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu, tidak dapat dimaknai ketentuan tersebut telah menghilangkan hak masyarakat untuk menyampaikan dan mendapat informasi berkenaan dengan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu. Hal ini hanya menunda sesaat hak dimaksud demi alasan yang jauh lebih mendasar yaitu melindungi kemurnian suara pemilih yang jika diikuti petitum Pemohon.

 

Mahkamah menerangkan selisih waktu dua jam antara wilayah WIB dengan wilayah Indonesia bagian timur (WIT) memungkinkan hasil penghitungan cepat Pemilu di wilayah WIT sudah diumumkan ketika pemungutan suara di wilayah WIB belum selesai dilakukan. Hal tersebut  berpotensi mempengaruhi pilihan sebagian pemilih.

 

"Karena kemajuan teknologi informasi dapat dengan mudah disiarkan dan diakses di seluruh wilayah Indonesia, berpotensi memengaruhi pilihan sebagian pemilih yang bisa jadi mengikuti pemungutan suara dengan motivasi psikologis sekadar ingin menjadi bagian dari pemenang," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.

 

Selain itu, Mahkamah menganggap secara metodologis, perhitungan cepat bukan bentuk partisipasi masyarakat yang sepenuhnya akurat. Karena didalamnya masih mengandung kesalahan atau margin of error. Dengan demikian, sekecil apapun rentang kesalahan dalam metodologi perhitungan cepat yang digunakan akan tetap berpengaruh.

 

"Terutama ketika selisih perolehan suara antarkandidat berada dalam margin of error tersebut. Artinya, keandalan quick count adalah terjamin jika perolehan suara antarkandidat atau antarkontestan jauh melampaui rentang kesalahan tersebut," dalih Mahkamah.

 

Kemurnian suara rakyat

Terkait aturan survei atau jajak pendapat dalam masa tenang, Saldi mengungkapkan secara empirik sejumlah analis menengarai adanya indikasi bahwa sejumlah lembaga survei atau jajak pendapat berafiliasi kepada kontestan pemilu tertentu. Karena itu, jika UU Pemilu memperbolehkan adanya pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang sama saja dengan menerima fakta empirik tersebut. Begitu pula halnya dengan sejumlah lembaga penyiaran.

 

Dengan begitu, membenarkan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang sama saja dengan membenarkan adanya kampanye pada masa tenang. Saldi melanjutkan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang yang dilakukan oleh lembaga survei atau jajak pendapat yang dahulu oleh Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 dipertimbangkan sebagai pendapat yang “tendensius”.

 

Pada saat ini sebagian diantaranya merupakan fakta empirik meski hanya sebagian. Kondisi ini apabila dibiarkan sangat berpotensi mempengaruhi kemurnian suara rakyat dalam menentukan pilihannya yang pada akhirnya akan bermuara pada tidak terwujudkannya asas pemilu yang jujur dan adil seperti diamanatkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Terlebih, jika faktor kesiapan masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya hukum dan budaya politik masyarakat, juga turut menjadi pertimbangan sebagaimana tampak secara aktual pada reaksi yang terjadi terhadap hasil jajak pendapat itu.

 

“Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, serta dengan mempertimbangkan fenomena yang berkembang dalam masyarakat saat ini, adanya larangan bagi lembaga survei untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang adalah sejalan dengan semangat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan telah memenuhi syarat pembatasan hak konstitusional sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karenanya dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.”

 

Permohonan ini diajukan dua pemohon yakni Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) dengan No. 24/PUU-XVII/2019 dan PT Televisi Transformasi Indonesia, PT Media Televisi Indonesia, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia, PT Lativi Mediakarya, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indikator Politik Indonesia dan PT Cyrus Nusantara dengan No. 25/PUU-XVII/2019.

 

Para Pemohon menilai pembentuk UU telah membangkang perintah konstitusi dan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf (i) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terutama asas ketertiban dan kepastian hukum. Sebab, mereka telah menghidupkan kembali aturan larangan pengumuman hasil survei/jajak pendapat pada masa tenang dan pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat beserta ketentuan pidana dalam UU Pemilu.

 

Padahal, seluruh norma dari pasal-pasal yang diuji ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi melalui tiga putusan MK. Pertama, Putusan MK No. 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009. Kedua, Putusan MK No. 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009. Ketiga, Putusan MK No. 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3 April 2014. Pemohon menilai penundaan publikasi hasil hitungan cepat berpotensi menimbulkan spekulasi yang tidak terkontrol seputar hasil pemilu. Terlebih, Pemilu 2019, adalah pemilu perdana yang menggabungkan pilpres dan pileg dalam sejarah pemilu di Indonesia. Warga pemilih pasti sangat antusias untuk segera mendapat informasi seputar hasil pemilu.

 

Menurut pemohon, pembatasan waktu dengan ancaman pidana soal hitungan cepat seperti diatur pasal-pasal yang diuji justru berpotensi menimbulkan berita-berita palsu (hoaks) seputar hasil pemilu. Hal ini menurut para Pemohon akan menambah beban rumitnya pelaksanaan pemilu bagi penyelenggara pemilu, aparat penegak hukum, dan sulitnya menciptakan tujuan pemilu yang damai, tertib, adil, transparan, dan demokratis. 

Tags:

Berita Terkait