MK: Landreform Bukan Bagi-Bagi Tanah
Berita

MK: Landreform Bukan Bagi-Bagi Tanah

Mahkamah tidak menemukan adanya persoalan konstitusionalitas dengan berlakunya Pasal 17 ayat (1) UU Pokok Agraria.

ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)
  Indonesia terkait dengan larangan kepemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas. Hal ini telah ditegaskan Pasal 7 jo Pasal 17 ayat (1) UU Pokok Agraria. Ketentuan tersebut mengamanatkan pengaturan luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak atas tanah oleh satu keluarga atau badan hukum.     ), fungsi pengurusan (), fungsi pengaturan (), fungsi pengelolaan (), dan fungsi pengawasan ().    

Dengan begitu, menurut Mahkamah landreform bukanlah bagi-bagi tanah, tetapi landreform sesungguhnya diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Tentunya, landreform dilaksanakan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat dan untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi.  

Mahkamah juga mengingatkan kepada pembentuk undang-undang tentang keberadaan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP MPR tersebut merupakan landasan dan arah penyempurnaan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan agraria,penataan kembali penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan demi kemakmuran rakyat Indonesia.

Sebelumnya, lewat kuasa hukumnya, lima orang warga Surabaya mengajukan uji materi Pasal 17 ayat (1) UU Pokok Agraria. Soalnya, jutaan meter tanah di sekitar 26 kecamatan yang telah ditempati bertahun-tahun oleh warga Surabaya diklaim sebagai tanah milik Pemerintah Kota Surabaya. Kata lain, sepertiga wilayah Kota Surabaya diklaim sebagai tanah pemerintah kota dan warga yang tinggal di wilayah tersebut harus membayar sewa.

Alasannya, pemohon dan puluhan ribu warga lain di 26 kecamatan itu tidak memiliki sertifikat hak milik dan hanya memiliki surat sewa yang disebut “surat hijau.” Padahal, pada tahun 1970-an warga Surabaya itu pernah diminta menyerahkan surat tanahnya dengan dalih akan ditingkatkan menjadi sertifikat. Akan tetapi, yang keluar bukan sertifikat hak milik, malah surat hijau. Anehnya, selama ini mereka membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sendiri setiap tahunnya.  

Pemohon dan warga setempat sebelumnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun, tidak pernah menang hingga sampai tingkat Mahkamah Agung (MA). Mereka juga sempat berjuang melalui jalur politik melalui DPRD Surabaya dan Pemerintah Kota. Tetapi, dua lembaga eksekutif dan legislatif daerah itu selalu mendasarkan bahwa tanah tersebut adalah aset daerah.

Tak berhenti disitu, pemohon telah mengupayakan penyelesaian lewat jalur Badan Pertanahan Nasional (BPN), tetapi tidak ditanggapi dengan dalih bahwa itu adalah asetnya Pemkot Surabaya. Akan tetapi, ketika diminta menunjukkan bukti sertifikat kepemilikannya, BPN pun enggan untuk membuktikan. Atas dasar itu, Para Pemohon meminta MK memberi tafsir Pasal 17 UU Pokok Agraria agar ada kepastian hak milik tanah dan bangunan warga setempat.
Kandas sudah upaya sejumlah warga Surabaya untuk memperjuangkan kepemilikan tanah yang sudah ditempati bertahun-tahun seiring ditolaknya uji materi Pasal 17 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Pokok Agraria). Dalam putusan bernomor 62/PUU-XIII/2015 yang dibacakan Senin (16/11) kemarin, MK menganggap pasal yang mengatur pembatasan kepemilikan tanah oleh perseorangan atau badan hukum tidaklah diskriminatif.    

Mahkamah menganggap bentuk penyelenggaraan landreform (perombakan sistem kepemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas) di

Mahkamah berpendapat, pengaturan luas maksimum dan/atau minimum tanah dalam rangka mengimplementasikan wewenang yang bersumber pada hak menguasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 2 ayat (1) UU Pokok Agraria. Wewenang tersebut sejalan dengan penafsiran “dikuasai oleh negara“ dalam Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003.  

Dalam putusan itu, Mahkamah memberi perluasan makna dikuasai oleh negara bukan hanya sebagai hak untuk mengatur. Namun lebih dari itu, rakyat memberikan kekuasaan kepada negara untuk melakukan serangkaian tindakan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tindakan tersebut meliputi fungsi kebijakan (beleidbestuurdaadregelendaadbeheerhaadtoezichthoudensdaad

“Tidak ditemukan adanya persoalan konstitusionalitas dengan berlakunya Pasal  17 ayat (1) UU Pokok Agraria. Sebab, persoalan yang dialami para Pemohon merupakan persoalan konkrit. Permohonan para Pemohon agar pasal a quo ditafsirkan dalam kondisi sekarang, akan menjadikan Mahkamah membuat norma baru padahal bukan kewenangan Mahkamah,” ucap Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan hukum.  

Lagipula, konsepsi “dikuasai oleh negara” dalam konstitusi, Pasal  17 ayat (1) UU Pokok Agraria bersifat adil, tidak diskriminatif, dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, ketentuan tersebut berlaku untuk setiap keluarga atau badan hukum sepanjang memiliki hak-hak atas tanah seperti ditentukan Pasal 16 UU Pokok Agraria.
Tags: