MK: Eksekusi Jaminan Fidusia untuk Menghindari Kesewenangan Kreditur
Utama

MK: Eksekusi Jaminan Fidusia untuk Menghindari Kesewenangan Kreditur

Persoalan cidera janji dalam eksekusi jaminan fidusia tidak langsung diselesaikan melalui pengadilan. Namun, harus didahului kesepakatan para pihak untuk menentukan kapan terjadinya tuduhan cidera janji tersebut.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Putusan MK terkait tafsir Pasal 15 ayat (1-3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait cidera janji (wanprestasi) dalam eksekusi jaminan fidusia terus menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Awalnya, pasal itu ditafsirkan jika debitur (konsumen) cidera/ingkar janji, penerima fidusia (perusahaan leasing) punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri (lelang) seperti halnya putusan pengadilan yang inkracht

 

Namun, pasca terbitnya putusan MK bernomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, MK memberi tafsir berbeda dengan pasal sebelumnya. Kini, sertifikat jaminan fidusia, yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, tidak lagi otomatis memiliki kekuatan eksekutorial.

 

Dalam putusan itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur. Jika tidak terjadi kesepakatan, salah satu pihak dapat menempuh upaya hukum melalui gugatan ke pengadilan untuk menentukan/memutuskan telah terjadinya cidera janji tersebut. Lalu, apa dasar alasan MK memutuskan tafsir Pasal 15 ayat (1-3) UU Jaminan Fidusia seperti itu.    

 

Juru Bicara MK yang juga Hakim Konstiusi Enny Nurbaningsih menerangkan implementasi Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia terkait eksekusi jaminan fidusia ini praktiknya menimbulkan kesewenang-wenangan kreditur ketika menagih, menarik objek jaminan fidusia (benda bergerak) dengan dalih debitur cidera janji.

 

Persoalannya, kata Enny, kapan waktu terjadinya cidera janji tersebut tidak ada penjelasan dalam Pasal 15 UU Jaminan Fidusia itu, apakah saat masih berlangsung angsuran atau jatuh tempo, atau pada saat kapan? Menurutnya, bagi MK cidera janji ini harus ada kejelasan kapan waktu terjadinya.

 

“Dalam pertimbangan putusan MK itu sudah jelas, bahwa (klausul, red) cidera janji harus dibuat (disepakati, red) para pihak. Kalau para pihak tidak ada kesepakatan, maka pelaksanaan eksekusi melalui putusan pengadilan sesuai HIR dan RBg,” ujar Enny Nurbaningsih saat dihubungi Hukumonline, Kamis (16/1/2020). Baca Juga: MK Tafsirkan Cidera Janji dalam Eksekusi Jaminan Fidusia

 

Dengan demikian, persoalan cidera janji dalam eksekusi jaminan fidusia tidak langsung diselesaikan melalui pengadilan. Namun, harus didahului kesepakatan para pihak untuk menentukan kapan terjadinya tuduhan cidera janji tersebut. Jika sudah ada kesepakatan para pihak, kreditur dapat langsung mengeksekusi. “Sebenarnya tujuan putusan ini untuk melindungi kepentingan para pihak baik debitur maupun kreditur,” kata Enny.

 

Menurutnya, praktik tindakan perampasan objek jaminan fidusia - seperti kendaraan bermotor sebagai wujud penerapan Pasal 15 UU Jaminan Fidusia - oleh debt collector sebagai perbuatan melawan hukum. “Tindakan perampasan itu tidak diperbolehkan. Jadi, dasar penarikan objek jaminan fidusia harus ada cidera janji, tapi cidera janji itu juga harus ada kesepakatan para pihak, tidak bisa sepihak untuk menghindari kesewenangan,” terangnya.

 

“Misalnya, jika para pihak sudah sepakat kapan terjadinya cidera janji, lalu salah satu pihak cidera janji yang sudah disepakati bersama, itu tetap saja debt collector tidak boleh langsung menarik (objek, red) barang yang diperjanjikan, harus melalui kesepakatan mereka dulu."

 

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial. MK memutuskan sertifikat jaminan fidusia tidak serta merta memiliki kekuatan eksekutorial. Selain itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur atau atas dasar upaya hukum (gugatan ke pengadilan) yang menentukan telah terjadinya cidera janji.

 

Dalam putusan bernomor 18/PUU-XVII/2019, MK menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat norma Pasal 15 ayat (2), (3) UU Jaminan Fidusia tidak ada kepastian hukum baik berkenaan dengan tata cara eksekusi ataupun waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi) dan hilangnya kesempatan debitur mendapat penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.

 

“Selain sering menimbulkan adanya paksaan dan kekerasan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur. Hal ini jelas ada persoalan inkonstitusional norma dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia,” demikian bunyi pertimbangan MK.

 

Bagi Mahkamah, kewenangan ekslusif penerima hak kebendaan jaminan fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak ada masalah dengan kepastian waktu kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi). Dan debitur secara sukarela menyerahkan benda objek perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri. Artinya, pemberi fidusia (debitur) mengakui dirinya telah “cidera janji”, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri.

 

“Pasal 15 ayat (3), khususnya frasa ‘cidera janji’ hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.”

Tags:

Berita Terkait