MK: Amil Tradisional Tak Perlu Izin Baznas
Utama

MK: Amil Tradisional Tak Perlu Izin Baznas

Baznas akan menindaklanjuti putusan MK dengan menggandeng semua perhimpunan dan penyaluran zakat secara nasional.

ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian sejumlah pasal UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang dimohonkan Koalisi Masyarakat Zakat Indonesia (Komaz) dengan menyatakan inkonstitusional bersyarat. MK memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 18, Pasal 38, dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat. Sementara uji materi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 19 UU Pengelolaan Zakat dinyatakan ditolak.

Dalam putusannya, MK memperlonggar penyaluran zakat oleh Amil Zakat (tradisional) khususnya di daerah-daerah yang tidak terjangkau Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) sepanjang diberitahukan kepada pejabat berwenang. MK juga menyatakan syarat berbadan hukum dan terdaftar di organisasi kemasyarakatan Islam sebelum izin LAZ diberikan oleh menteri agama bersifat alternatif atau tidak wajib.

Putusan MK menyatakan Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Pengelolaan Zakat yang menyatakan, a. terdaftar sebagai  organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b. berbentuk lembaga berbadan hukum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial, atau lembaga berbadan hukum, harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang.

"Sedangkan untuk  perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau  pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang  belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, cukup dengan memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang,” kata Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 86/PUU-X/2012 di Gedung MK, Kamis (31/10).

Dalam pertimbanganya, Mahkamah berpendapat Pasal 18 ayat (2) huruf a dan UU 23/2011 yang mensyaratkan LAZ harus terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam atau berbentuk lembaga berbadan hukum mengakibatkan ketidakadilan sebab menafikkan keberadaan lembaga atau perorangan yang selama ini telah bertindak sebagai amil zakat. 

“Syarat yang harus dipenuhi oleh calon amil zakat adalah bergerak di bidang keagamaan Islam, bersifat nirlaba, memiliki rencana/program kerja pendayagunaan zakat, dan memiliki  kemampuan untuk melaksanakan rencana/program kerjanya seperti termuat dalam Pasal 19 ayat (2) huruf e, f, g, h UU Pengelolaan Zakat,” ujar Hakim Konstitusi Harjono. 

Adanya syarat pengawas syariat internal dalam Pasal 18 huruf d harus ditafsirkan pengawas syariat internal dan dimungkinkan adanya pengawas syariat yang bersifat eksternal untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap LAZ yang tidak memiliki pengawas syariat internal. “Mahkamah berpendapat Pasal 18 ayat (2) huruf d UU 23/2011 yang menyatakan, “... d. memiliki pengawas syariat” tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai memiliki pengawas syariat baik internal atau  eksternal,” lanjut Maria Farida Indrati.

Menurut Mahkamah, larangan dan sanksi pidana dalam Pasal 38 dan Pasal 41 bagi amil zakat yang tak izin pejabat yang berwenang berpotensi memunculkan kekosongan pelayanan zakat di masyarakat. Hal ini disebabkan belum semua LAZ dan Baznas terbentuk di seluruh pelosok wilayah Indonesia. Faktanya, banyak provinsi atau kabupaten yang belum terjangkau oleh Baznas atau Bazda, atau LAZ.

“Tentu tidak wajar memaksakan muzakki di suatu wilayah mendatangi Bazda, LAZ, atau unit pelayanan zakat terdekat jika jaraknya cukup jauh. Kondisi ini tentu mengakibatkan terhalanginya hak warga negara untuk membayar/menyalurkan zakat sebagai bagian dari ibadah,” lanjut Maria.  

Terhalanginya hak-hak warga negara membayar/menyalurkan zakat akibat belum terjangkaunya pelayanan pemerintah dalam pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat ini, maka perumusan Pasal 38 dan Pasal 41 tidak tepat secara sosiologis. Karena itu, setiap amil zakat seperti perkumpulan orang, tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ boleh mengelola dan menyalurkan zakatnya tanpa dikenai sanksi pidana.   

“Frasa ‘setiap orang’ dalam Pasal 38 dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat bertentangan dengan sepanjang tidak dimaknai dengan “mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang.”

Usai sidang, kuasa hukum pemohon Nasrul Nasution mengapresiasi apa yang telah diputuskan MK. Artinya, MK masih memberikan ruang terhadap perseorangan sebagai amil zakat. Namun, dirinya menyayangkan putusan MK yang dianggap kurang detail dalam menjelaskan pejabat berwenang yang bisa dijadikan tempat untuk melapor atau memberitahukan.

“Klausul melaporkan ini pun harus diperjelas, kepada siapa harus dilaporkan,” kata Nasrul. Untuk itu, dirinya mengharapkan ada peraturan pelaksana yang dikeluarkan Kementerian Agama untuk mengatur lebih teknis mengenai putusan MK ini.  

Sementara itu, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Didin Hafinuddin mengatakan akan menindaklanjuti putusan MK dengan menggandeng semua perhimpunan dan penyaluran zakat secara nasional.

“Insya Allah, kami akan duduk bersama-sama seluruh pimpinan OPZ untuk menindaklanjuti putusan MK ini, karena sejak dulu kami meyakini tujuan kita semua sama, melayani para muzakki dan mustahik secara profesional dan amanah untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Didin.

Permohonan ini diajukan sejumlah lembaga amil zakat, muzakki (pemberi zakat), dan mustahik (penerima zakat) yang tergabung dalam  Koalisi Masyarakat Zakat Indonesia (Komaz) yang jumlahnya 31 pemohon. Antara lain; Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan Dana Sosial Al-Falah Malang, Yayasan Yatim Mandiri, Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Yayasan Portal Infaq, Fadlulah (muzakki), Asep Supriyatna (mustahik). 

Mereka memohon pengujian Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38, Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat. Para pemohon menilai UU Zakat berpotensi mematikan peran LAZ masyarakat baik di tingkat nasional maupun daerah. Misalnya, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 UU Pengelolaan Zakat menyebutkan hanya Baznas yang berhak mengelola zakat di Indonesia (sentralisasi). LAZ sifatnya hanya membantu Baznas.

Menurutnya, berlakunya UU Pengelolaan Zakat itu tidak hanya merugikan para pemohon, tetapi juga seluruh warga negara Indonesia yang selama ini telah banyak terbantu dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan LAZ. Karenanya, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2), (3), Pasal 28H UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait