MK: Advokat Boleh Jadi Penasihat Hukum di Sidang DKPP
Berita

MK: Advokat Boleh Jadi Penasihat Hukum di Sidang DKPP

Pihak yang dapat mendampingi terlapor dalam sidang DKPP yang mempunyai tugas pokok pendampingan, pemberian nasihat-nasihat bahkan mendampingi untuk memberikan bantuan pembelaan terhadap terlapor/teradu. Karena itu, kekhawatiran Pemohon akan kehilangan fee (honor) tidak berdasar.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konsitusi (MK) menolak uji materi Pasal 458 ayat (6) UU No. 7 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait penyelenggara pemilu harus datang sendiri tanpa diwakilkan dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Namun, dalam putusannya MK menegaskan advokat dalam proses persidangan DKPP masih dapat berperan sebagai penasihat hukum, bukan kuasa hukum.

 

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Anwar Usman saat membacakan putusan No. 21/PUU-XVII/2019 di Gedung MK, Jakarta, Senin (15/04).

 

Sebelumnya, permohonan ini diajukan oleh Advokat Petrus Bala Pattayona. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya lantaran tidak dapat menjadi kuasa hukum dalam sidang DKPP. Pemohon menuturkan Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu menyebutkan penyelenggara pemilu yang diadukan harus datang sendiri dalam sidang DKPP dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain.

 

Pemohon menilai akibat berlakunya pasal itu tidak dapat menjalankan pekerjaannya sebagai advokat dan telah kehilangan hak mendapat imbalan atau penghasilan serta tidak mendapat kepastian hukum yang adil. Karena itu, Pemohon berharap MK memberi penafsiran frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu agar kerugian yang dialami pemohon tidak terjadi lagi, sehingga tidak ada pembatasan advokat untuk menjadi kuasa hukum.  

 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu sesungguhnya bukan ditujukan kepada subjek di luar penyelenggara pemilu. Artinya, keharusan untuk datang sendiri dalam proses pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik dibebankan kepada penyelenggara pemilu yang diadukan.

 

Pembatasan seorang penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik tidak dapat menguasakan kepada orang lain juga ditujukan kepada penyelenggara pemilu bukan kepada pihak lain di lua. Karena pembatasan frasa dalam norma tersebut ditujukan kepada penyelenggara pemilu, bukan kepada pihak lain manapun. Hal ini sesuai karakter tindakan penegakkan dalam pelanggaran kode etik yang tidak bisa diwakilkan orang lain.

 

“Larangan dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu sepanjang frasa ‘dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain’ adalah konsekuensi logis dan karakteristik penyelesaian pelanggaran etik,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.

 

Bila diletakkan logika memberi kuasa atau dapat menguasakan kepada orang lain termasuk advokat. Hal demikian akan memberikan hak dan kewenangan (authority) kepada penerima kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa. Logika seperti itu, menurutnya, sangat mungkin karena alasan tertentu penyelenggara pemilu yang diadukan telah melanggar atau terindikasi melanggar kode etik penyelenggara pemilu dapat mewakilkan kehadirannya kepada penerima kuasa dalam proses penyelesaian pelanggaran kode etik.

 

Saldi menuturkan prinsip yang dijadikan rujukan penyelesaian adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu, meskipun terbatas pada ranah etik, harus tetap berpedoman pada “hukum acara” quasi peradilan publik. Terlebih, bentuk putusan DKPP apabila kesalahan atas pelanggaran yang dilaporkan terbukti adalah bersifat hukuman (punishment). Hal ini menegaskan penyelesaian adanya dugaan pelanggaran tersebut adalah menggunakan mekanisme hukum acara dalam quasi peradilan yang bersifat publik.

 

Karena itu, menurut Mahkamah, menjadi tidak tepat apabila terlapor dapat memberikan kuasa kepada kuasa hukum dalam hal ini advokat. Sebab, hubungan hukum pemberian kuasa dan yang menerima kuasa hanya terjadi dalam hukum privat yaitu hubungan hukum antar pribadi atau individu dalam hal terjadi sengketa kepentingan ataupun hak.

 

“Penyelesaian dugaan pelanggaran terhadap penyelenggara pemilu di DKPP adalah bersifat quasi peradilan publik. Makanya, terhadap Pemohon dalam proses persidangan DKPP tersebut sebenarnya masih dapat berperan sebagai penasihat hukum, bukan kuasa hukum,” dalih Mahkamah.

 

Bagi Mahkamah, penasihat hukum yaitu pihak yang dapat mendampingi terlapor pada sidang DKPP yang mempunyai tugas pokok pendampingan, pemberian nasihat-nasihat. Bahkan, mendampingi untuk memberikan bantuan pembelaan terhadap terlapor/teradu. “Karena itu, dengan peran Pemohon yang demikian, kekhawatiran Pemohon akan kehilangan fee (honor) adalah tidak berdasar.”  

Tags:

Berita Terkait