Miris, 25 Perusahaan Fintech Terdaftar Diduga Lakukan Pelanggaran Hukum
Berita

Miris, 25 Perusahaan Fintech Terdaftar Diduga Lakukan Pelanggaran Hukum

Sebagian besar masalah muncul karena saat ini aturan perlindungan nasabah fintech, seperti perlindungan data pribadi masih lemah.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Foto: ojk.go.id
Foto: ojk.go.id

Dugaan pelanggaran hukum perusahaan pinjam-meminjam online atau financial technology  peer to peer lending (fintech P2P) kembali menjadi perbincangan publik. Permasalahan ini muncul sehubungan dengan publikasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang telah menerima sebanyak 1.330 pengaduan korban pinjaman online sejak November lalu.

 

Salah satu yang paling menjadi sorotan ternyata dugaan pelanggaran ini tidak hanya dilakukan perusahaan fintech ilegal tapi juga fintech terdaftar atau memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tercatat, sebanyak 25 perusahaan fintech terdaftar dari 89 penyelenggara justru melakukan pelanggaran terhadap konsumen atau nasabah.

 

Sebanyak 25 aplikasi yang melakukan pelanggaran tersebut yaitu DR, RP, PY, TK, KP, DC, DI, RC, PG, UM, EC, CW, KV, DB, CC, UT, PD, PG, DK, FM, ID, MC, RO, PD dan KC. Bentuk pelanggaran tersebut mulai dari penagihan intimidatif dan teror hingga penggunaan data pribadi nasabah.

 

Pengacara publik LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sirait, menjelaskan pelanggaran 25 perusahaan fintech terdafar ini mematahkan anggapan selama ini bahwa pelanggaran hanya dilakukan perusahaan fintech ilegal. Padahal, berdasarkan laporan pengaduan LBH, pelanggaran tersebut juga dilakukan perusahaan fintech terdaftar.

 

Sehingga, dia mendesak agar regulator dan asosiasi perusahaan fintech segera menghentikan praktik pelanggaran tersebut. Menurut Jeanny, sebagian besar masalah tersebut muncul karena saat ini aturan perlindungan nasabah fintech seperti perlindungan data pribadi masih lemah.

 

Hal ini terbukti dengan mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan foto KTP dan foto diri peminjam. “Alih-alih verifikasi data peminjam, foto KTP dan foto diri peminjam kemudian disimpan, disebarkan bahkan disalahgunakan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online,” kata Jeanny saat dikonfirmasi, Senin (10/12).

 

Selain itu, Jeanny juga mencatat penyelanggara aplikasi pinjaman online mengakses hampir seluruh data pada gawai peminjam. Menurutnya, hal ini juga menjadi akar masalah penyebaran data pribadi dan data pada gawai peminjam sehingga melanggar hak privasi nasabah.

 

Atas hal ini, Jeanny menyayangkan berbagai pelanggaran hukum tersebut terjadi mengingat jumlah pinjaman nasabah tidak besar. Sebagian besar peminjam hanya memiliki pinjaman pokok senilai di bawah Rp2 juta.

 

“Tindak pidana yang mereka alami menjadi harga yang sangat mahal yang harus mereka bayar,” jelas Jeanny.

 

(Baca Juga: Ada Ragam Persoalan, Begini Investor Asing Menilai Regulasi Fintech Indonesia)

 

Dalam pengaduan masyarakat tersebut terdapat berbagai pelanggaran pidana dalam bentuk pengancaman, fitnah, penipuan bahkan pelecehan seksual. Padahal, penagihan secara intimidatif dan teror merupakan tindakan yang dilarang dalam Peraturan OJK 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan Kode Perilaku (Code of Conduct) Asosiasi Financial Technology Indonesia (Aftech).

 

LBH Jakarta mencatat sebanyak 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online. Pelanggaran-pelanggaran tersebut sebagai berikut:

  1. Bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan.
  2. Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam.
  3. Ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual.
  4. Penyebaran data pribadi.
  5. Penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai peminjam.
  6. Pengambilan hampir seluruh akses terhadap gawai peminjam.
  7. Kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online yang tidak jelas.
  8. Biaya admin yang tidak jelas.
  9. Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang.
  10. Peminjam sudah membayar pinjamannya, namun pinjaman tidak hapus dengan alasan tidak masuk pada sistem.
  11. Aplikasi tidak bisa di buka bahkan hilang dari Appstore / Playstore pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman.
  12. Penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.
  13. Data KTP dipakai oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk mengajukan pinjaman di aplikasi lain.
  14. Virtual Account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan intimidatif terus dilakukan.

 

Menanggapi persoalan ini, Direktur Asosiasi Financial Technology Indonesia (Aftech), M Ajisatria Suleiman, menyatakan pihaknya akan memeriksa laporan pengaduan LBH Jakarta tersebut. Pendalaman tersebut untuk memastikan laporan tersebut termasuk dalam pelanggaran dalam penilaian Aftech.

 

Selain itu, Aji juga menjelaskan pihaknya akan mengadakan pertemuan dengan LBH Jakarta untuk mendalami laporan masyarakat tersebut. “Akan ada lawyer litigasi kami yang akan bertemu dengan pihak LBH untuk membahas ini,” kata Aji kepada hukumonline, Senin (10/12).

 

(Baca Juga: Jenis-jenis Pelanggaran Hukum di Industri Fintech)

 

Menurut Aji, apabila terdapat bukti pelanggaran kuat perusahaan fintech terdaftar tersebut maka akan dapat diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan berlaku. “Kalau terbukti bersalah sanksi terberatnya bisa berupa pencabutan izin,” jelas Aji.

 

Pemberian sanksi terhadap perusahaan fintech tercantum dalam Pasal 47 POJK 77/2016 dan dan Kode Perilaku (Code of Conduct) Aftech. Pemberian sanksi terhadap perusahaan fintech tersebut dapat berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin.

 

POJK 77/2016

SANKSI

Pasal 47:

(1) Atas pelanggaran kewajiban dan larangan dalam peraturan OJK ini, OJK berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;

c. pembatasan kegiatan usaha; dan

d. pencabutan izin

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d, dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.

(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d.   

Tags:

Berita Terkait