Minyak Murah Langka, Pemerintah Dinilai Gagal Selesaikan Akar Masalahnya
Terbaru

Minyak Murah Langka, Pemerintah Dinilai Gagal Selesaikan Akar Masalahnya

Permasalahannya, apakah pengusaha betul-betul mematuhi ketentuan DMO 20% CPO? Kemudian apakah betul CPO tersebut dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri dalam artian minyak goreng yang diproduksi itu betul-betul didistribusikan untuk kebutuhan dalam negeri?

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Masyarakat mengantri membeli minyak goreng murah di tengah sulitnya mendapatkan minyak goreng di pasaran. Foto ilustrasi: RES
Masyarakat mengantri membeli minyak goreng murah di tengah sulitnya mendapatkan minyak goreng di pasaran. Foto ilustrasi: RES

Polemik minyak goreng kembali muncul di awal tahun 2023. Kali ini kelangkaan disertai kenaikan harga terjadi di minyak goreng kemasan sederhana dan minyak goreng curah, yang sudah terjadi sejak Desember 2022 lalu.

Hal ini disampaikan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranumanggala menyampaikan bahwa pihaknya menemukan berbagai pelanggaran UU Persaingan Usaha Tidak Sehat di sejumlah wilayah terkait minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan sederhana dengan merek Minyakita.

Kasus kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng yang kembali terulang mendapatkan perhatian dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak menilai pemerintah tidak menyelesaika akar masalah minyak goreng karena hanya sibuk mengatur sisi hilir atau pemasaran akhir. Akibatnya, lagi-lagi masyarakat menengah bawah, terutama pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) menjadi korbannya.

Baca Juga:

Amin menilai akar masalahnya klasik yakni berkurangnya pasokan bahan baku atau crude palm oil (CPO). Kelangkaan pasokan CPO seharusnya tidak terjadi apabila pengusaha sawit mematuhi kewajiban penyediaan domestic market obligation (DMO).

"Masyarakat berhak curiga jika pengawasan oleh pemerintah terhadap kepatuhan pengusaha dalam memenuhi DMO 20% CPO tidak berjalan," kata Amin dalam pernyataan tertulis, Kamis (2/2).

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 49/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat mewajibkan pelaku usaha sawit untuk menyediakan DMO CPO sebesar 450 ribu ton per bulan, sementara kebutuhan CPO untuk minyak goreng di dalam negeri sekitar 300 ribu ton per bulan.

Permasalahannya, apakah pengusaha betul-betul mematuhi ketentuan DMO 20% CPO? Kemudian apakah betul CPO tersebut dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri dalam artian minyak goreng yang diproduksi itu betul-betul didistribusikan untuk kebutuhan dalam negeri?

"Saya melihat ada kelalaian pemerintah dalam memonitor pasokan minyak sawit atau CPO," tegasnya.

Jika aturan Permendag tersebut dilaksanakan dengan baik, pasokan CPO seharusnya lebih dari cukup bahkan tersedia cadangan yang bisa digunakan jika sewaktu-waktu terjadi lonjakan kebutuhan. Sedangkan alasan pasokan CPO tersedot untuk program biodiesel B35, menurut Amin, ini alasan yang tidak logis. Program Biodiesel sendiri ditujukan untuk menyerap kelebihan pasokan akibat larangan impor CPO Indonesia oleh negara-negara Uni Eropa.

"Kok aneh jika program biodiesel B35 menyedot CPO untuk minyak goreng rakyat, ditengah turunnya permintaan ekspor akibat larangan impor oleh Uni Eropa. Seharusnya biodiesel diprioritaskan untuk menampung kelebihan produksi CPO non DMO," kata Amin.

Karena itu Amin mendesak pemerintah membuka hasil audit implementasi kepatuhan pengusaha dalam memenuhi DMO CPO.

"Audit secara konsisten penting untuk menjaga stabilitas dan pengendalian harga dan pasokan minyak goreng di dalam negeri, terutama minyak goreng," pungkasnya.

Sebelumnya KPPU menyebutkan menemukan beberapa praktik anti persaingan dalam penjualan Minyakita. Selain kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng, KPPU juga menemukan penjualan mengikat atau tying dan bundling saat melakukan sidak ke lapangan.

Hal ini terjadi di lingkup kerja Kantor Wilayah IV KPPU di kota Surabaya, jika terdapat minyak goreng curah merk KITA maka penjual akan melakukan tying dengan produk margarin bermerk atau margarin curah. Hal yang sama juga terjadi pada lingkup kerja Kantor Wilayah V KPPU di kota Balikpapan, dan pada lingkup kerja Kantor Wilayah VII KPPU di kota D.I. Yogyakarta.

Dengan temuan KPPU tersebut, Mulyawan berpendapat bahwa regulasi yang sudah diterbitkan pemerintah tidak berjalan.

Tags:

Berita Terkait