Minimnya Database Peraturan Persulit Harmonisasi Hukum
Utama

Minimnya Database Peraturan Persulit Harmonisasi Hukum

Penyelenggaraan sistem informasi peraturan perundang-undangan masih sektoral dan tidak lengkap.

Mvt
Bacaan 2 Menit
Minimnya database peraturan persulit harmonisasi hukum. Foto: Sgp
Minimnya database peraturan persulit harmonisasi hukum. Foto: Sgp

Pertentangan antar peraturan perundang-undangan menjadi salah satu masalah hukum di Indonesia yang ta kunjung seleksai. Banyak produk hukum yang dihasilkan DPR maupun pemerintah tidak sinkron dengan peraturan lain, baik yang setara maupun lebih tinggi kedudukannya. Kualitas harmonisasi dan sinkronisasi rancangan peraturan perundang-undangan jadi perhatian utama banyak pemerhati hukum. Bahkan tak jarang, peraturan organik tidak merujuk sama sekali pada peraturan yang lebih tinggi.

 

Berbagai kalangan menilai, hal ini disebabkan proses harmonisasi dan sinkronisasi rancangan peraturan perundang-undangan tidak maksimal. Kementerian Hukum dan HAM sebagai penanggungjawab dianggap tidak melakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan baik rancangan peraturan dengan peraturan yang sudah ada. Akibatnya, tidak sedikit aturan baru yang bertentangan dengan aturan yang berlaku lebih awal.

 

Kemenkumham menyanggah, proses harmonisasi dan sinkronisasi sering terkendala akibat tidak lengkapnya data peraturan perundang-undangan yang dimiliki. “Masih terdapat kesulitan pengelolaan sistem informasi peraturan perundang-undangan yang terpadu dan akurat,” ujar M. Aliamsyah, staf Direktorat Publikasi Kerjasama dan Pengundangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham.

 

Aliamsyah menegaskan, direktoratnya selalu berusaha melengkapi dan memperbaharui database peraturan perundang-undangan di Kemenkumham. Caranya dengan meminta peraturan dari setiap pihak yang mengeluarkan. “Proses harmonisasi kan tidak hanya melihat undang-undang, bahkan ke level peraturan menteri pun harus diperhatikan,” katanya dalam Lokakarya Pengembangan Studi Kelayakan dan Grand Design Database Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (15/12).

 

Namun, keluh Aliamsyah, Kemenkumham seringkali menemui kesulitan sebab administrasi peraturan di kementerian atau lembaga negara (K/L) tidak begitu baik. Seringkali prosesnya lama untuk sampai di Kemenkumham. “Bahkan, ada file peraturan yang sudah kami unggah ke jaringan database Kemenkumhan diminta kembali oleh kementerian yang bersangkutan. Alasannya, perlu perbaikan redaksional. Padahal sudah ditandatangani menteri,” keluhnya.

 

Aliamsyah menambahkan, sejauh ini baru 20 kementerian yang mengundangkan peraturannya di lembaran negara. Sisa 14 kementerian lain tidak mengundangkan peraturan menteri ke lembaran negara. “Harusnya, begitu peraturan perundangan ditandatangani, bisa langsung diunggah. Itu kan sudah masuk hak publik atas informasi,” tegasnya.

 

Pentingnya kelengkapan database peraturan ini juga ditegaskan Arya Suyudi, Peneliti Pusat Hukum dan Kebijakan. Menurutnya, ada dua alasan penting atas kebutuhan database perundang-undangan yang lengkap dan akurat. Pertama, memenuhi ketentuan perundang-undangan. Setiap undang-undang mewajibkan pemerintah untuk menempatkannya di lembaran negara. “Ini untuk memenuhi asas publisitas,” katanya.

 

Selain itu, database peraturan sangat diperlukan agar publik dapat dengan mudah mengetahui peraturan perundang-undangan. Sebab, setiap warga negara diwajibkan untuk tahu dan memahami peraturan perundang-undangan. “Kita kan tidak boleh beralasan belum tahu kalau ada aturannya (asas fiksi hukum),” jelasnya.

 

Arya menegaskan, akses publik terhadap publikasi peraturan perundang-undangan merupakan elemen penting negara demokrasi. Ia menambahkan, seharusnya model database ideal tidak hanya memuat koleksi peraturan perundang-undangan. “Lengkapi juga dengan kumpulan putusan pengadilan dan bahan sekunder lainnya. Misalnya, memorie van toelichting, naskah akademis, artikel, jurnal, dan berita hukumonline,” ujarnya.

 

Egoisme Sektoral

Mengatasi hal ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional berinisiatif mendorong upaya penyatuan database hukum nasional. Menurut Direktur Analisa Peraturan Perundang-Undangan Bappenas, Arif Christiono Soebroto, masalahnya karena tidak hanya satu lembaga yang berwenang menyebarkan informasi terkait peraturan perundang-undangan. Peraturan setingkat UU, dan PP bisa disebarkan oleh Sekretariat Negara, Kemenkumhan, dan kementerian pemrakarsa. “Bahkan, untuk perda Kemendagri juga ikut menyebarkan,” katanya.

 

Arif menjelaskan, ada beberapa kendala sehingga penyatuan database ini sulit. Pertama, koordinasi antar lembaga sangat minim. Egoisme sektoral masih melingkupi kementerian dan lembaga terkait, terutama lembaga pemrakarsa.

 

Selain itu, visi dan kepedulian setiap lembaga perlu ditingkatkan. Menurut Arif, belum semua kementerian dan lembaga pemerintahan menganggap penting database peraturan yang lengkap dan akurat. “Ini juga masalah mendasar, banyak yang tidak mengelola dengan baik database peraturannya,” tukasnya.

 

Karena itu, lanjut Arif, Bappenas berupaya menghidupkan lagi wacana penyatuan database peraturan perundang-undangan ini secara nasional. Meski demikian, ia mengakui Bappenas tidak dapat menjalankan upaya ini dengan baik tanpa komitmen dan inisiatif dari kementerian atau lembaga lain. “Bappenas kan bukan departemen teknis,” katanya.

 

Arif lebih mendukung pemberdayaan sistem database yang sudah dilakukan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Proyek ini sebenarnya sudah dimulai sejak akhir tahun 1970-an melalui Sistem Jaringan Data dan Informasi (SJDI). “Itu (SJDI) kan sudah jadi. Sebaiknya itu saja yang kita perbaiki. Kita lihat apa kendalanya selama ini. Apakah masalah anggaran, sarana prasarana, atau SDM. Itu yang kita sempurnakan,” tegasnya.

 

Penyatuan database secara nasional ini bukan hal sulit. “Kalau semua punya komitmen, satu tahun juga selesai,” tandas Ketua Pusat Kajian Regulasi, Ida Bagus R. Supancana, ditemui usai mempresentasikan hasil kajiannya dalam lokakarya tersebut.

Tags: