Minimalisir Kerugian Negara, Sejumlah Akademisi Beberkan Urgensi RUU Perampasan Aset
Terbaru

Minimalisir Kerugian Negara, Sejumlah Akademisi Beberkan Urgensi RUU Perampasan Aset

Pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi yang berjalan sekarang masih jauh dari upaya pemberian efek jera terhadap pelaku korupsi.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Peneliti ICW, Diky Anandya saat memaparkan materi dalam seminar bertema Memahami Dampak Putusan Tindak Pidana Korupsi PT Asuranai Jiwasraya melalui Eksaminasi Publik; Perspektif Hukum dan Sosial di Jakarta, Selasa (25/6/2024). Foto: HFW
Peneliti ICW, Diky Anandya saat memaparkan materi dalam seminar bertema Memahami Dampak Putusan Tindak Pidana Korupsi PT Asuranai Jiwasraya melalui Eksaminasi Publik; Perspektif Hukum dan Sosial di Jakarta, Selasa (25/6/2024). Foto: HFW

Perkara tindak pidana korupsi Jiwasraya merugikan negara hampir Rp17 triliun. Sebanyak 6 pelaku dijebloskan ke penjara dengan hukuman yang cukup berat mulai dari 18 tahun penjara sampai seumur hidup. Kendati demikian proses hukum itu masih menyisakan celah yang perlu dibenahi ke depan yakni berkaitan dengan minimnya aturan pemulihan aset atas kerugian yang timbul dari perbuatan pidana.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya mencatat sampai Februari 2023 Kejaksaan Agung baru menyetor sebesar Rp3,1 triliun dari total Rp16,8 triliun pidana tambahan uang pengganti dalam perkara ini. Dalam putusan kasus Jiwasraya dengan terdakwa Benny Tjokro yang divonis pidana seumur hidup dan pidana tambahan berupa denda uang pengganti lebih dari Rp6 triliun, Diky mencatat jika dalam jangka waktu sebulan sejak putusan tidak dibayar harta benda disita dan dilelang untuk menutup uang pengganti.

Dalam perkara terpisah, terdakwa lainnya yang sama dipidana seumur hidup, Heru Hidayat, diwajibkan membayar pidana tambahan uang pengganti lebih dari Rp10 triliun. Dari perkara itu Diky berpendapat model penghukuman terbatas pada pengenaan sanksi pidana badan yakni penjara. Perampasan aset hasil kejahatan belum menjadi bagian penting. Hal itu diperkuat pendapatan penerimaan bukan pajak lainnya dari Kejaksaan dan Peradilan, serta dari hasil korupsi dan tindak pidana pencucian uang tahun 2023 hanya Rp27,5 triliun.

“Semakin menunjukan upaya pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi masih jauh dari upaya pemberian efek jera terhadap pelaku korupsi,” kata Diky dalam Seminar Publik bertema ‘Memahami Dampak Putusan Tindak Pidana Korupsi PT Asuransi Jiwasraya melalui Eksaminasi Publik: Perspektif Hukum dan Sosial’, Selasa (25/6/2024).

Baca juga:

Hukumonline.com

Suasana seminar mengulas urgensi keberadaan RUU Perampasan Aset. Foto: HFW

Sebagai upaya meminimalisir kerugian negara dari berbagai tindak pidana bermotif ekonomi, menurut Diky perlu dilakukan reformulasi terhadap penegakan hukum dengan fokus pada pemulihan aset. Penegakan hukum perlu menyasar aset hasil kejahatan korupsi. Salah satunya dengan menerbitkan RUU Perampasan Aset yang sudah didorong sejak tahun 2008. Tercatat Maret 2023 Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan Surat Presiden (Surpres) untuk membahas RUU, tapi pemerintah dan DPR tak kunjung melakukan pembahasan.

Di tempat yang sama, akademisi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Widiati Wulandari, mengatakan Benny Tjokro dalam putusan perkara No.29/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Selain pidana penjara seumur hidup, pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp6,078 triliun sudah tepat diputus majelis hakim.

“Salah satu cara menutup peluang pelaku memanfaatkan hasil kejahatannya,” ujarnya.

Dalam putusan tersebut, Widiati melihat masih ada barang bukti yang dirampas tapi tidak dinyatakan nominal atau nilainya, misalnya Sertifikat Hak Milik (SHM) milik terdakwa. Padahal, tanpa penghitungan nilai yang jelas dari barang yang dirampas untuk negara itu, maka tidak teridentifikasi jelas barang sebagai hasil tindak pidana korupsi yang dapat digunakan untuk pembayaran uang pengganti.

Menurut Widiati ke depan perlu pedoman yang membantu aparat penegak hukum dalam menghitung nilai keuntungan dari hasil kejahatan dan pengelolaannya, serta status barang bukti yang dirampas. Pedoman itu penting diatur dalam RUU Perampasan Aset. “RUU Perampasan Aset perlu segera dibahas lebih komprehensif dan segera dituntaskan serta diundangkan,” usulnya.

Konsep ideal dan relevan

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, berpendapat penjatuhan sanksi pidana seyogyanya dirancang dengan tujuan mengeliminasi keuntungan yang didapat oleh pelaku. Dalam konteks konsep ideal pemulihan aset tindak pidana korupsi melalui non-conviction based (NCB) Asset Forfeiture, perampasan aset penting untuk mengurangi hasrat pelaku melakukan tindak pidana karena keuntungannya akan semakin kecil atau justru hilang.

Hukumonline.com

Akademisi dan Kepala Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Mulawarman, Orin Gusti Andini. Foto: HFW

NCB merupakan mekanisme perampasan aset yang dilakukan tanpa proses pemidanaan terhadap seseorang. Orin menjelaskan karakter NCB yakni tuntutan atau gugatan perampasan aset tidak dilayangkan kepada person tapi aset (in rem) yang diduga tercemar. Gugatan yang dilayangkan bukan terhadap perorangan tapi harta benda, maka pemilik harta adalah pihak ketiga yang punya hak untuk mempertahankan harta benda itu.

Menurut Orin, konsep perampasan aset kejahatan korupsi dalam perkara korupsi PT. Asuransi Jiwasraya berpedoman pada pengembalian nilai kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun sebagaimana hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tapi konsep perampasan aset yang diharapkan jauh lebih progresif dari sekedar nilai kerugian negara berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebab perampasan aset juga sekaligus bertujuan untuk memiskinkan para koruptor.

“Mekanisme dalam substansi RUU Perampasan Aset merupakan konsep ideal yang seharusnya segera diundangkan,” tegasnya.

Hukumonline.com

Ari Wibowo, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia sekaligus Kepala Pusat Studi Kebijakan Ekonomi Universitas Indonesia. Foto: HFW

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia sekaligus Kepala Pusat Studi Kebijakan Ekonomi Universitas Indonesia, Ari Wibowo, mengatakan korupsi sebagai kejahatan ekonomi sehingga mendapat perhatian serius masyarakat internasional. Kejahatan ekonomi tak hanya mengancam keamanan dan stabilitas suatu negara tapi juga perekonomian global.

Salah satu sebab pemulihan atau pengembalian aset seperti yang terjadi dalam kasus PT.Jiwasraya jumlahnya sangat sedikit antara lain terkait pelacakan aset yang dilakukan aparat penegak hukum. Pelacakan dan proses perampasan aset itu semakin sulit jika pelaku sudah membawa kabur asetnya ke luar negeri. Aparat tak sekedar membutuhkan biaya yang besar tapi juga upaya yang serius.

“Semakin lama prosesnya maka pengembalian aset ini semakin sulit, apalagi jika harus menunggu proses pidananya selesai lebih dulu,” urainya.

Dia menilai, regulasi yang ada saat ini belum memadai untuk mendukung pengembalian aset hasil tindak pidana. Perkembangan saat ini pidana badan seperti penjara bukan tak lagi prioritas, tapi lebih utama bagaimana mengembalikan aset.

Konsep NCB yang diatur dalam RUU Perampasan Aset sangat relevan sebagai upaya paksa yang dilakukan negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya. RUU Perampasan Aset mengatur perampasan aset tidak didasarkan pada penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana.

“Sudah saatnya pemerintah membahas dan segera mengesahkan RUU Perampasan Aset demi terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera,” imbuhnya.

NCB berbeda dengan perdata dan pidana

Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentara, Yunus Husein, mencatat Indonesia punya pengalaman berhasil menerapkan mekanisme NCB dalam perkara Hendra Rahardja sekitar tahun 2000. Aparat menelusuri sejumlah aset di luar negeri antara lain Australia. Berbekal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, tim dari Indonesia berangkat ke Australia.

Awalnya, otoritas Australia menolak putusan tersebut karena diputus dalam persidangan in absentia. Tapi setelah melakukan diplomasi, alhasil otoritas Australia membuka peluang penyitaan aset Hendra Rahardja dengan regulasi yang ada kala itu.

“Itu salah satu contoh keberhasilan NCB (yang pernah dilakukan Indonesia di luar negeri,-red) yang pertama,” ujarnya.

Mantan Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu mengatakan, NCB tidak sama dengan perdata atau pidana. Kendati demikian NCB dimulai dalam proses penanganan perkara pidana. Mekanisme ini menempatkan negara berperkara dengan aset, bukan orang. Ada beberapa prinsip penting yang perlu jadi pedoman agar proses pengembalian aset berhasil antara lain keseriusan aparat penegak hukum dalam bekerja.

“Kalau tidak ada keseriusan untuk mengejar aset, otoritas di negara lain juga tidak akan mau membantu,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait