Minim Perlindungan Bagi Anak, KPAI Minta Permenkominfo Permainan Interaktif Direvisi
Utama

Minim Perlindungan Bagi Anak, KPAI Minta Permenkominfo Permainan Interaktif Direvisi

​​​​​​​Permenkominfo 11/2016 hanya mengatur klasifikasi permainan tanpa adanya penguatan perlindungan anak dari paparan konten negatif. Kemenkominfo meminta usulan kongkret berupa draf rancangan pasal.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Era disrupsi teknologi yang semakin luas membuat pengguna dunia digital tak hanya dari kalangan orang dewasa saja, tapi juga anak-anak. Kebanyakan keterlibatan anak-anak dalam dunia digital ini terkait dengan akses permainan yang menggunakan teknologi sebagai medianya. Namun, lmudahnya akses permainan tersebut membuat sebagian orang menilai perlu adanya pembatasan khususnya bagi anak-anak dalam mengakses permainan.

 

Atas dasar itu, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No.11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik dinilai Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) perlu direvisi. Ketua KPAI Susanto mengatakan, belum ketatnya pengawasan kepada anak-anak yang mengakses permainan sesuai usianya dalam peraturan tersebut menjadi hal penting dalam revisi.

 

“Faktanya, banyak  anak mengakses game yang tak sesuai klasifikasi seharusnya. Jadi aturan ini perspektifnya bukan perlindungam substantial bagi anak agar tak terpapar konten negatif,” ujarnya kepada hukumonline.com di Jakarta, Senin (4/4).

 

Menurut Susanto, pemerintah dalam membuat aturan mengenai game interaktif elektronik seharusnya mengedepankan perlindungan bagi anak-anak. Perlindungan ini penting untuk mengantisipasi dampak negatif dari permainan tersebut. Ia melihat, muatan materi Permenkominfo 11/2016 hanya mengatur klasifikasi saja. Sementara, pengawasan dan pembatasan permainan yang diakses anak justru tidak sesuai dengan peruntukannya.

 

Belum lagi, liarnya konten negatif yang tersebar di dunia maya semakin mengharuskan adanya pengawasan ketat dari sisi regulasi. Susanto mengatakan, dalam rangka menyelamatkan anak dari keterpaparan permainan online bermuatan konten negatif, makanya diperlukan proteksi dari negara.

 

Sejumlah konten bermuatan negatif dalam permainan anak antara lain mengandung unsur sadisme, pornografi hingga perjudian. Ia berharap, Kementerian Komunikasi dan Informatika segera merevisi peraturan tersebut. KPAI berharap, revisi aturan nantinya lebih mengedepankan perlindungan bagi anak-anak dari konten negatif di era digitalisasi.

 

Revisi, lanjut Susanto, seharusnya dibuat secara gambalng mengenai berbagai bentuk permainan online. Dalam peraturan juga nantinya perlu ada substansi yang menyeleksi permainan sebelum diluncurkan ke masyarakat. Proses penyaringan ini dilakukan agar permainan online yang diluncurkan terjamin aman dan menjauhkan anak-anak dari paparan konten negatif. “Agar anak-anak terlindungi,” ujarnya.

 

Sebagaimana diketahui, pengaruh negatif era digitaliasi terhadap para anak-anak melalui konten negatif menjadi kewaspadaan banyak orang tua. Begitupula pemerhati anak amat mewanti-wanti anak-anak dari tersebarnya konten negatif di dunia maya. Salah satu upaya selain pengawasan orang tua, regulasi yang ada dilakukan revisi demi penguatan terhadap perlindungan anak dari konten negatif di dunia maya.

 

Baca:

 

Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu menyambut baik usulan revisi Permenkominfo 11/2016 sepanjang demi kebaikan masa depan anak-anak Indonesia. Ia mengatakan, telah menerima permintaan resmi revisi Permenkominfo 11/2016 ini dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan KPAI. “Kami akan lakukan (revisi, red),” ujarnya.

 

Ferdinandus berharap, permintaan revisi jugaa disertai dengan usulan konkret draf rancangan pasal-pasal yang akan diubah. Hal ini semata-mata untuk memudahkan, substansi mana saja yang dikhawatirkan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan perlindungan bagi anak-anak.

 

“Kami minta usulan yang konkret dari mitra, termasuk KPAI,” kata Ferdinandus.

 

Ia mengingatkan, revisi Permenkominfo 11/2016 tersebut juga harus sejalan dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sejumlah pasal terkait larangan konten internet mulai dari Pasal 27, 28 dan 29 harus menjadi acuan dalam revisi.

 

Dikutip dari Klinik Hukumonline, ada empat larangan bagi pembuat game atau penyedia layanan over the top sesuai Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top).

 

Pertama, dilarang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta mengancam keutuhan NKRI. Kedua, dilarang menimbulkan konflik atau pertentangan antar kelompok, antar-suku, antar-agama, antar-ras, dan antar-golongan (SARA), menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama.

 

Ketiga, dilarang mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, kekerasan, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, merendahkan harkat dan martabat manusia, melanggar kesusilaan dan pornografi, perjudian, penghinaan, pemerasan atau ancaman, pencemaran nama baik, ucapan kebencian (hate speech), pelanggaran hak atas kekayaan intelektual. Keempat, dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Menurut Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi, pengaturan mengenai game terdapat dalam Pemenkominfo 11/2016 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (Permenkominfo 19/2014).

 

Lebih lanjut Teguh Arifiyadi menjelaskan bahwa pada dasarnya, baik game berbasis aplikasi ataupun berbasis web itu terhubung dengan Internet Protocol (IP) yang diwujudkan dalam bentuk domain. Apabila game tersebut mengandung konten negatif, maka yang akan di blokir adalah domainnya. Baik Pemenkominfo 11/2016 maupun Permenkominfo 19/2014 hanya mengatur sanksi yang bersifat preventif dan administratif. Terhadap ketentuan pidananya, dapat merujuk kepada undang-undang terkait dengan jenis tindak pidannya.

 

Jika game mengandung konten pornografi, maka ketentuan pidananya merujuk pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jika game bekonten perjudian, maka sanksinya bisa merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU ITE.

Tags:

Berita Terkait