Minim Literasi, Konsumen Diminta Cerdas Saat Konsumsi Makanan dan Minuman
Terbaru

Minim Literasi, Konsumen Diminta Cerdas Saat Konsumsi Makanan dan Minuman

Demi kepentingan perlindungan konsumen dan atas surat permohonan BPOM, Kominfo mencabut artikel “disinformasi” terkait bahaya kandungan BPA dalam galon isi ulang.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Minim Literasi, Konsumen Diminta Cerdas Saat Konsumsi Makanan dan Minuman
Hukumonline

Plastik merupakan salah satu bahan yang banyak digunakan untuk mengemas berbagai produk makanan dan minuman. Bahkan hampir seluruh makanan dan minuman dengan berbagai merek yang beredar di Indonesia dikemas dengan bahan plastik, termasuk peralatan rumah tangga mulai dari piring, gelas, sendok, garpu, dan sebagainya.

Bahaya penggunaan plastik ini menjadi bahan perhatian oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), terutama untuk galon guna ulang yang saat ini banyak beredar di masyarakat. BPOM melakukan revisi terhadap Peraturan BPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Revisi difokuskan terhadap pelabelan bahan kimia Bisfenol A (BPA) pada galon guna ulang.

Terkait galon guna ulang, Koordinator Harian YLKI Tubagus Haryo menyampaikan bahwa sejauh ini belum ada kemasan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang mencantumkan BPA Free. Namun biasanya terdapat kode-kode khusus yang menjelaskan tingkat keamanan wadah atau pembungkus makanan. Salah satu contohnya adalah wadah makanan yang aman akan mencantumkan simbol sendok dan garpu untuk menyatakan Food Grade.

Baca Juga:

Namun mengigat minimnya literasi konsumen terhadap produk-produk yang di konsumsi, diperlukan pendidikan untuk konsumen. Seperti tentang pengetahuan masyarakat akan potensi paparan BPA.

“Pendidikan konsumen jadi kewajiban kita semua temasuk kewajiban pelaku usaha juga. Dan tentang pengetahun masyarakat terhadap potensi paparan BPA dalam kemasan termasuk isu yang  dan baru beberaaa persen saja yang tahu,” kata Tubagus kepada Hukumonline, Kamis (21/7).

Kendati demikian, lanjutnya, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan memastikan kemasan yang digunakan untuk membungkus makanan dan minuman aman untuk dikonsumsi. Sementara pelaku usaha wajib menyediakan kemanasan yang aman untuk konsumen sebagaimana diatur dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dengan kemajuan teknologi saat ini, konsumen pun dituntut untuk aware terhadap diri sendiri dan cerdas dalam mengkonsumsi makanan dan minuman. Tubagus menyampaikan sebelum mengkonsumsi makanan dan minuman dengan kemasan, konsumen harus melakukan mapping dan screening terhadap produk yang akan di konsumsi. Mulai dari tipe kemasan, label makanan, bahan-bahan yang terkandung dalam makanan sebagai bahan pertimbangan untuk memilih makanan yang lebih sehat dan aman.

“Apalagi makanan terlalu asin dan terlalu manis apakah itu sudah sesuai kebutuhan, apakah ada altrenatif lain dari produk yang sama, mana yang lebh sehat dan aman. Jangan lihat makanan dari harga,  tapi cari makanan dan minuman mana yang lebih sehat,” ungkapnya.

Yang tak kalah penting adalah konsumen harus memperhatikan simbol-simbol khusus yang terdapat pada kemasan. Kemasan yang aman, lanjutnya, biasanya terdapat simbol sendok dan garpu untuk ruang lingkup makanan yang food grade.

Untuk diketahui sejak 3 Januari 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di situs webnya melabeli berita tentang bahaya zat kimia BPA pada galon plastik keras sebagai “disinformasi”. Namun belakangan Kominfo mencabut label “disinformasi” terhadap berita terkait bahaya kandungan zat kimia BPA pada plastik keras (polikarbonat) air minum dalam kemasan (AMDK).

Dilansir dari website resmi Kominfo tertanggal 8 Juni 2022, dinyatakan bahwa “Saat ini kami cabut label disinformasi tersebut berdasarkan surat permohonan dan penjelasan terbaru dari Direktur Siber Obat dan Makanan kepada Direktur Pengendalian Informatika melalui surat Nomor BPD.04.01.63.631.06.22.246 tanggal 8 Juni 2022 perihal Penjelasan Disinformasi Kandungan Zat BPA pada Galon isi Ulang Berbahaya dan Permohonan Penurunan Konten.”

Padahal, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sebagai lembaga yang berwenang menilai mutu, keamanan, dan kesehatan pangan, telah menyatakan kekhawatirannya terhadap tingkat paparan BPA pada AMDK galon plastik keras.

Berdasarkan hasil pengawasan lapangan BPOM itu menemukan 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.

“Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberi informasi yang benar dan jujur, BPOM berinisiatif melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik dengan melakukan revisi peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan,” demikian kata Kepala BPOM, Penny K. Lukito, seperti tertulis dalam rilis resmi di situs web BPOM.

Di Indonesia, BPOM menempuh cara yang lebih moderat. Menurut Penny, rancangan peraturan pelabelan BPA hanya mengatur kewajiban pencantuman tulisan cara penyimpanan, seperti “Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam” serta pencantuman label “Berpotensi mengandung BPA” pada produk AMDK yang menggunakan kemasan plastik keras (polikarbonat).

Selain itu, peraturan itu mengecualikan produk-produk AMDK yang, dari hasil analisisnya, mampu membuktikan bahwa migrasi BPA-nya berada di bawah 0,01 bpj. Dengan demikian, menurut Penny, rancangan peraturan pelabelan BPA sama sekali tidak melarang penggunaan kemasan galon polikarbonat, sehingga dapat dipastikan tidak ada potensi kerugian ekonomi bagi pelaku usaha.

Penny menjelaskan BPOM semata-mata bertujuan melindungi kesehatan masyarakat dari potensi paparan zat berbahaya dan kepentingan pelaku usaha dari tuntutan hukum di kemudian hari. Jika ditetapkan, regulasi ini juga hanya berlaku untuk AMDK yang mempunyai izin edar, sehingga tidak berdampak terhadap depot air minum isi ulang. Dengan peraturan itu, BPOM berharap ke depan pelaku usaha bisa berinovasi, sehingga akan muncul produk-produk AMDK yang lebih aman dan bermutu. Inovasi ini pada gilirannya akan menguntungkan masyarakat sebagai konsumen AMDK.

Sementara itu, FMCG Insights, organisasi yang bergerak mengawasi mutu, keamanan, dan kesehatan produk makanan dan minuman dalam kemasan, menyambut baik pencabutan label hoax (disinformasi) oleh Kominfo. Selama ini, menurut FMCG Insights, label “Disinformasi” di situs web Kominfo terus digunakan pihak-pihak tertentu yang mencoba menolak kebijakan BPOM tentang pengaturan pelabelan BPA terhadap produk AMDK.

“Mereka sampai pada tingkat menghakimi siapa saja yang membicarakan potensi bahaya BPA pada galon isi ulang sebagai penyebar hoaks, padahal wacana BPA adalah diskursus ilmiah, baik pada tataran akademis maupun publik,” kata Koordinator Advokasi FMCG Insights, Willy Hanafi, dalam pernyataan tertulis.

Willy selanjutnya berharap, dengan pencabutan label “Disinformasi” oleh Kominfo itu, publik konsumen bisa memperoleh haknya untuk mendapatkan informasi yang objektif tentang bahaya BPA tanpa harus ditakut-takuti dengan label “Disinformasi” apalagi “Hoaks”.

“Semoga dengan pencabutan ini, ruang diskusi publik terkait potensi bahaya BPA menjadi sehat dan objektif,” ujar Willy.

Tags:

Berita Terkait