Miliki Potensi Besar di Pasar Fintech, OJK Concern Lindungi Masyarakat
Berita

Miliki Potensi Besar di Pasar Fintech, OJK Concern Lindungi Masyarakat

Teknologi mengubah perilaku dan kepercayaan orang, ini berlaku di sektor keuangan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso. Foto: NNP
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso. Foto: NNP

Kemajuan teknologi tak bisa dibendung. Teknologi secara tidak langsung akan masuk celah-celah kehidupan masyarakat, tak terkecuali di sektor keuangan. Jika dahulu aktivitas pinjam meminjam uang hanya bisa dilakukan di Bank, saat ini setiap orang dapat melakukan pinjaman dengan mudah yakni melalui aplikasi berbasis daring (online).

 

Namun nyatanya kemudahan tersebut harus dibayar dengan sangat mahal oleh para nasabah pinjaman online, terutama fintech  ilegal. Banyak kasus bermunculan sejak pinjaman online ilegal marak, bahkan ada yang nekat mengakhiri hidup karena terlilit utang pinjaman online ilegal.

 

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk melakukan pinjaman online. Apalagi, 40 persen masyarakat Indonesia belum  mempunyai rekening. Pinjaman formal yang dilakukan melalui perbankan membutuhkan jaminan, ada prosedur, dan membutuhkan waktu yang lama.

 

“Kami harapkan assasmentnya kita mitigasi, dan ini potensi besar sekali. Indonesia merupakan contoh di dunia, dan kita selalu sampaikan ini segara akan ada prinsipal yang disepakati. Ini akan menjadi agenda di 2019, kita akan aktif di situ karena kita punya pengalaman. Kita memberikan koridor agar kepentingan masyarakat terlindungi,” kata Wimboh dalam press rilis yang diterima oleh hukumonline, Jumat (1/3).

 

Sebagai lembaga yang memiliki otoritas terhadap jasa keuangan di Indonesia, OJK memiliki kewenangan untuk menutup perusahaan fintech ilegal. OJK memiliki mandat untuk melindungi konsumen di tengah kemajuan teknologi yang tidak bisa dibendung..

 

“Teknologi ini sudah mengubah perilaku dan kepercayaan orang, ini berlaku di sektor keuangan. Kami dari OJK tidak akan melarang itu, bagaimana masyarakat mendapat teknologi itu. Yang kedua bagaimana kita bisa memonitor dengan jelas dan kita bisa memberikan koridor. Bagaimana mereka operasinya itu sampai tujuan, jadi masyarakat bisa mendapat manfaat, harga murah dan juga mereka tidak dibohongi dalam arti mereka dilindungi,” tukas Wimboh.

 

Ia menambahkan, karena OJK punya mandat melindungi konsumen maka OJK memberikan koridor. Wimboh menegaskan bahwa koridor yang dibuat OJK bukan bermaksud untuk membatasi. Namun pihaknya memberikan jalur melalui kebijakan-kebijakan. Kebijakan tersebut diharapkan dapat diyakini dan dipahami oleh semua fintech provider, dan market product secara transparan dan harus ada yang bertanggung jawab.

 

“Tentunya tidak boleh melanggar UU yang ada. Jadi bagaimana kaidah-kaidah itu dipahami. Tanpa itu bisa menjadi liar sehingga konsumen merasa tidak dilindungi,” tambahnya.

 

Selanjutnya, Wimboh menjelaskan bahwa semua dimaksudkan agar keinginan konsumen tercapai, maka kebutuhan masyarakat terpenuhi.”Ini merupakan potensi yang sangat luar biasa. Memang tidak semua pihak bisa mendaftar, karena mendaftar perlu ada komitemen, jadi asosiasi fintech sudah sepakat menerapkan itu. Tinggal bagaimana fintech provider melaksanakannya,” ujarnya.

 

Sekali lagi Wimboh menegaskan bahwa perusahaan fintech illegal yang ditutup sudah ada 600 lebih. “Fintech yang kami tutup karena tidak mendaftar ke OJK. Nah, maka segera mendaftar agar jadi legal, Sekarang ini banyak masyarakat yang euphoria dengan pinjaman online. Pinjam itu cepat meskipun mahal, untuk itu sekarang terjadi beberapa assasement, nah makanya jika ada asyarakat yang tidak terlindungi kita panggil orangnya,” tukas Wimboh.

 

Hukumonline.com

 

Sekadar catatan, LBH Jakarta sebelumnya mengungkapkan telah menerima 1.330 pengaduan korban pinjaman online dari 25 Provinsi di Indonesia. Berdasarkan pengaduan yang diterima, LBH Jakarta mendapati setidaknya 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online.

 

Pengacara Publik LBH, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan bahwa sebagian besar masalah tersebut muncul karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online. Hal ini terbukti dengan mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan foto KTP dan foto diri peminjam.

 

Alih-alih verifikasi data peminjam, foto KTP dan foto diri peminjam kemudian disimpan, disebarkan bahkan disalahgunakan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online. Selain itu, LBH Jakarta juga mencatat bahwa penyelanggara aplikasi pinjaman online mengakses hampir seluruh data pada gawai peminjam. Hal ini menjadi akar masalah penyebaran data pribadi dan data pada gawai peminjam, tentu saja hal ini merupakan pelanggaran hak atas privasi.

 

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, 48% pengadu menggunakan 1-5 aplikasi pinjaman online, namun ada juga pengadu yang menggunakan hingga 36-40 aplikasi pinjaman online. Banyaknya aplikasi pinjaman online yang digunakan oleh pengadu disebabkan karena pengadu harus mengajukan pinjaman pada aplikasi lain untuk menutupi bunga, denda atau bahkan provisi pada pinjaman sebelumnya.

 

“Hal ini kemudian menyebabkan pengguna aplikasi pinjaman online terjerat “lingkaran setan” penggunaan aplikasi pinjaman online,” kata Jeany seperti dikutip dari website LBH Jakarta.

 

Hal yang lebih buruk, 25 dari 89 penyelenggara aplikasi pinjaman online yang dilaporkan kepada LBH Jakarta merupakan penyelenggara aplikasi yang terdaftar di OJK. Hal ini menunjukan bahwa terdaftarnya penyelenggara aplikasi pinjaman online di OJK, tidak menjamin minimnya pelanggaran.

 

Tags: