Menjelang penyelenggaraan pemilihan umum 2024, risiko korupsi cenderung meningkat. Salah satu pemicu korupsinya yakni mahalnya ongkos politik. Instrumen pola pencegahan perlu disiapkan lebih matang agar tak lagi ada celah melakukan korupsi politik pada penyelenggaraan pemilu mendatang.
Kepala Satuan Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wilayah I Maruli Tua, menyampaikan tahun 2023 adalah tahun rawan korupsi. Risiko korupsi disinyalir akan meningkat mengingat tahun 2024 mendatang, pemilu sudah digelar. Setidaknya risiko korupsi dapat terjadi di aera perencanaan dan penganggaran.
“Yaitu pengaturan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara tidak sah untuk kepentingan oknum tertentu, serta pada area pengadaan barang dan jasa terkait pengaturan pemenang proyek,” kata Maruli pada Rabu (13/4).
Baca juga:
- Tiga Strategi Pencegahan Korupsi KPK di Sektor Pendidikan
- Upaya Mengefektifkan Fungsi Pencegahan Korupsi
Tak hanya itu, risiko korupsi berupa gratifikasi yang dianggap suap juga masih rawan dilakukan oleh oknum pejabat daerah dengan menyalahgunakan kewenangannya. Masalah Pokok Pikiran (Pokir) DPRD yang diatur Pasal 78 Permendagri 86 Tahun 2017 mengatur hasil reses/penjaringan apresiasi adalah sah. Namun menjadi bermasalah ketika Pokir DPRD tidak menjawab permasalahan, tidak bersesuaian dengan RPJMD, dipaksakan masuk diluar mekanisme, atau oknum legislatif menjadi pelaksana terkait proyek Pokir tersebut.
Melihat risiko tersebut, Maruli dengan tegas meminta pejabat daerah untuk menjauhi praktik korupsi, apalagi ditimbun sebagai ongkos politik. Maruli juga meminta para pejabat bisa berkaca dari pengalaman pahit kasus korupsi Kabupaten Bengkulu Selatan yang melibatkan banyak pihak pada 2018 silam, yang juga ditangani oleh KPK.
“Jangan sampai kelemahan sistem administrasi disalahgunakan oleh oknum untuk mendapatkan keuntungan yang pada akhirnya merugikan daerah,” jelas Maruli.