Metode “Itakura-Saito”, Silang Pendapat Dua Ahli Forensik di Sidang Tipikor
Utama

Metode “Itakura-Saito”, Silang Pendapat Dua Ahli Forensik di Sidang Tipikor

Mempersoalkan relevansi metode Itakura-Saito dalam pembuktian similaritas suara.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Terdakwa Lucas dan penasihat hukumnya. Foto: RES
Terdakwa Lucas dan penasihat hukumnya. Foto: RES

Pernahkah Anda mendengar metode Itakura-Saito, yang lazim disebut sebagai Itakura-Saito distance atau Itakura-Saito divergence? Sebutan ini pada dasarnya merujuk pada nama nama Fumitada Itakura dan Shuzo Saito, dua warga keturunan Jepang yang menghasilkan penelitian tentang mengukur perbedaan antara spectrum asli dengan perkiraan (approximation) spectrum itu. Meskipun bukan pengukuran yang mutlak, metode ini sejak 1960-an sering digunakan untuk mengukur similaritas suara.

Metode Itakura-Saito itulah antara lain yang muncul dalam persidangan dugaan tindak pidana menghalang-halangi penyidikan atas nama terdakwa Lucas, seorang advokat. Dalam dua kali persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, majelis hakim telah mendengarkan keterangan dua orang ahli yang menjelaskan pendapat dan pandangan mereka mengenai suara mirip suara terdakwa Lucas, dan suara mirip suara saksi Eddy Sindoro.

Masalah keaslian suara yang diperdengarkan penuntut umum di persidangan memang sempat ditepis terdakwa. Suara hasil sadapan Komunikasi diperdengarkan jaksa. Sebaliknya, terdakwa juga menunjukkan suara mirip Obama yang belum tentu Obama.

(Baca juga: Rekaman Mirip Suara Barack Obama di Pengadilan Tipikor).

Pada sidang Kamis (7/2) penasihat hukum terdakwa menghadirkan Ruby Z. Alamsyah. Ahli digital forensik ini mengaku sudah beberapa kali diminta memberikan keterangan dalam perkara lain seperti kasus pembunuhan yang melibatkan Antasari Azhar, pembunuhan Munir, dan asusila Ariel.

Ruby Alamsyah memperkenalkan diri dan menjelaskan latar belakangnya di bidang forensik. "Saya mempunyai 14 sertifikasi IT Internasional termasuk beberapa di antaranya terkait digital forensik. Jadi saya memiliki sertifikasi IT Internasional di bidang sistem, network, security, forensik," kata Ruby di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (7/2).

Ruby juga mengaku sebagai anggota International High Technology Crime Investigation Association (HTCIA), bahkan menyatakan sebagai anggota pertama dari Indonesia dalam asosiasi forensik terbesar dunia yang berpusat di Amerika Serikat tersebut.

Berdasarkan pengamatan hukumonline dalam persidangan, keterangan Ruby berusaha mementahkan setidaknya ada dua poin penjelasan Dhany Arifianto, ahli forensik yang dihadirkan KPK pada sidang sebelumnya. Pertama, mengenai kapasitas Dhany sebagai ahli forensik akustik, dan kedua metode yang digunakan untuk menentukan originalitas pemilik suara.

(Baca juga: Ahli Forensik, ‘Kunci’ Sahnya Bukti Elektronik di Pengadilan).

Masuk ke materi persidangan, Ruby menjelaskan mengenai definisi dari digital forensik dan audio forensik. Menurutnya digital forensic adalah ilmu komputer yang berkaitan dengan hukum dimana seseorang menggunakan ilmu komputer untuk menganalisis barang bukti digital seperti telepon genggam, hardisk, perangkat universal serial bus (usb) atau barang apapun yang berbentuk digital yang memiliki memori penyimpanan. Keilmuan melakukan analisis barang bukti digital untuk dapat dianalisa dalam bentuk laporan untuk keperluan hukum.

Audio forensik adalah proses analisis terhadap suara untuk komparasi atau mengidentifikasi sebuah suara. Umumnya di bidang penegakan hukum terkait komparasi dua suara yang berbeda dari untuk memastikan apakah benar dua suara yang berbeda.

Menurut Ruby, seiring perkembangan zaman, saat ini seluruh rekaman audio berbentuk digital. Oleh karena itu audio forensik tetap masih di bawah digital forensik atau komputer forensik atau cabang keilmuannya. Bagaimana dengan forensik akustik?

"Tentang forensik akustik mohon maaf saya belum pernah mendengar selama ini. Saya juga Mily IP asosiasi forensik indonesia itu adalah asosiasi yang multidisiplin ilmu forensik, ada kedokteran forensik, engineering forensik, ada macam-macam ilmuan forensik tapi tidak pernah mendengar akustik forensik," terangnya.

Metode

Poin kedua yang mendapat perhatian Ruby adalah metode pengujian suara. Ruby berpendapat metode yang umum dipakai aparat penegak hukum adalah pengujian tiga unsur yaitu pitch, formant dan spectrogram. Ketiga unsur tadi dilakukan analisis sehingga mendapatkan nilai pada kata-kata tertentu dari pemilik suara dan terduga pemilik suara (bila diketahui siapa diduga pemilik suara).

Standar penelitian ini juga dilakukan oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) dengan dianjurkan pengujian suara tersebut dilakukan minimal 20 kata. "Proses analisis yang valid atau pas bisa dilakukan dengan kata yang sama. Kalau di bawah 20, tingkat hasil akan jadi kemungkinan, kalau di atas akan jadi sebuah kepastian," tuturnya.

Kuasa hukum terdakwa lantas menanyakan metode Itakura-Saito. Metode inilah yang digunakan ahli dari KPK Dhany Arifianto untuk melakukan pengujian terhadap suara Lucas dan Eddy Sindoro. "Saya sudah membaca teori itu dimana dirilis tahun 1968 oleh perusahaan di Jepang. Secara pribadi dan saya cek ke praktisi lain, metode itu tidak pernah dilakukan untuk audio forensik dan sampai dibawa ke pengadilan," jelasnya.

Ruby juga berpendapat metode itu lebih tepat digunakan untuk rekayasa background konser musik. "Metode itu lebih ke audio, melakukan di signal processing bukan komparasi suara. Ini untuk rekayasa background musik, konser. Banyak tulisan mengarah ke sana tapi tidak pernah itakura saito untuk membandingkan dua suara. Kalau diakui atau tidak bidang forensik pasti, tapi kalau digital forensik (metode Itakura-Saito) tidak pernah digunakan," kata Ruby.

Ahli KPK

Penuntut umum KPK menghadirkan ahli forensik suara dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dhany Arifianto dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (31/1). Keahlian Dhany adalah bidang forensik akustik, yaitu ilmu yang menaungi seluruh bunyi.

Dalam persidangan, Dhany mengatakan, dia diminta oleh penyidik KPK untuk meneliti sampel suara. Pertama, diminta membandingkan rekaman percakapan telepon dan rekaman suara Lucas saat diperiksa KPK dan hasilnya sangat meyakinkan bahwa kedua suara sangat identik dengan terduga Lucas.

"Pak Lucas hasil diperoleh dari rekaman percakapan telepon dan pemeriksaan di KPK, sangat meyakinkan suara pembicara identik dengan terduga. Kalau di kasus ini, khusus Pak Lucas identiknya di atas 98 persen," kata Dhany pekan lalu.

Kemudian, Dhany membandingkan suara terduga mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro. Perbandingan antara suara telepon dan audio. Hasilnya, suara lawan bicara Lucas teridentifikasi sebagai Eddy Sindoro. "Tingkat identiknya sama. Tapi persentasenya beda. Yang kedua 98 persen, tapi komanya lebih tinggi sedikit," tuturnya.

Hasil pengujian ini menggunakan metode Itakura-Saito. Dhany mengakui metode ini telah cukup lama digunakan yaitu sejak 1968, tetapi tingkat akurasinya dianggap masih relevan. "Menurut saya masih relevan, ukuran meter itu dari 1940 sampe sekarang masih relevan dan itu terbukti di banyak hal," ahli forensik dari Institut Teknologi Surabaya ini.

Tags:

Berita Terkait