Meski Tak Mengikat, Putusan IPT Mesti Jadi Pertimbangan Pemerintah
Berita

Meski Tak Mengikat, Putusan IPT Mesti Jadi Pertimbangan Pemerintah

Meski tidak mengikat, namun mesti dijadikan catatan agar kedepan tak lagi terjadi insiden tindak penghilangan nyawa.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Putusan majelis hakim Internasional People Tribunal (IPT) 1965 yang menyatakan Indonesia bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan pasca insiden Gerakan 30 September 1965 dinilai bersifat tidak mengikat. Hal ini disampaikan anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu di Gedung DPR, Jumat (22/7).

“Putusan IPT ini kan tidak mengikat dan tidak wajib,” ujar Masinton.  

Masinton menilai putusan majelis hakim IPT hanyalah sebuah rekomendasi. Atas dasar itu, meski pemerintah tidak berkewajiban mengikuti putusan IPT, namun putusan itu mesti dijadikan pertimbangan bagi pemerintah. Tujuannya agar ke depan pemerintah rezim berkuasa tak lagi melakukan kesalahan terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Masinton mengatakan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tak boleh tutup mata terhadap putusan IPT. Sejumlah rekomendasi dalam putusan majelis hakim IPT mesti menjadi catatan penting bagi pemerintah. Pemerintah tak boleh abai. Menurutnya, Negara mesti mengakui adanya kesalahan dalam perjalana sejarah. Setidaknya, sejarah merupakan fakta yang tak dapat dibantah terkait dengan adanya tindak penghilangan nyawa ketika proses peralihan politik pada 1965 silam.

Dikatakan Masinton, putusan IPT menjadi refleksi bagi perjalanan negara Indonesia. Setidaknya sejarah kelam terkait penghilangan nyawa oleh rezim berkuasa saat itu. Menurutnya, putusan IPT menjadi catatan dalam aspek pelurusan sejarah yang terkesan dibuat abu-abu.

Lebih jauh, Masinton mengatakan pemerintah mesti memberikan sikap terhadap putusan IPT, meski pun putusan majelis hakim dalam persidangan di Den Haag Belanda dipandang sebatas rekomendasi. “Maka pemerintah perlu mempertimbangkan rekomendasi tersebut, meski putusan IPT bersifat tidak mengikat. Di satu sisi dalam aspek kedaulatan hujkum Indonesia ini harus diperjelas. Ini kan sifatnya Cuma rekomendasi tapi rekomendasi ini penting,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan, Indonesia tidak terikat dengan putusan Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda yang menyatakan kasus pelanggaran HAM 1965 putusan akhirnya ada pada Pemerintah Republik Indonesia.

"Kita tidak terikat dengan masalah itu, kita punya cara menyelesaikan urusan di negara sendiri," katanya.

Persoalan pelanggaran HAM 1965 itu, kata dia, pernah dilakukan evalusi oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) dengan Komisi Nasional (Komnas) HAM. Ia mengakui tentunya masih banyak yang harus didiskusikan kembali karena selama ini menjadi semacam polemik antara dua lembaga, kejaksaan dan Komnas HAM.

"Sekarang sudah ada kesamaan pendapat," ucapnya.

Sebenarnya, kata Prasetyo, ada beberapa pihak yang menginginkan kasus itu dibawa ke pengadilan, namun pihaknya mengembalikan kembali apakah bisa membantu mencari buktinya. "50 tahun yang lalu, bayangkan. Pelaku mungkin tidak ada lagi. Fakta buktinya sampai ke pengadilan, kan harus terpenuhi semua," ujarnya.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan tak mau ambil pusing dengan putusan IPT. Menurutnya, putusan majelis hakim IPT di Den Haag Belanda tak memiliki pengaruh dengan kedaulatan Indonesia. Bagi Luhut, putusan yang bersifat tidak mengikat itu tak memiliki dampak terhadap pemerintah dan negara Indonesia. “Gak ada pengaruhnya (putusan IPT, red),” ujarnya.

Terhadap putusan IPT itu, Luhut enggan berkomentar apakah bakal dijadika rekomendasi atau sebaliknya. Ia pun hanya berkelakar seraya meninggalkan sejumlah wartawan yang mengejarnya. “Nanti kalau kita bawa peristiwa Westerling tak ada komentar panjang,” ujarnya.

Seperti diketahui, putusan majelis IPT menyatakan Indonesia bertanggungjawab dan bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebab tentara berkuasa saat itu melalui rantai komandonya memerintahkan dan melakukan tindakan tidak manusiawi. Tak hanya itu, majelis berpendapat tindakan tersebut mnejadi bagian serangan sistematis terhadap seluruh jajaran, simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Bahkan, keluarga simpatisan menjadi korban kebiadaban kala itu. Ironisnya, kebiadaban pun disasar terhada orang yang sama sekali tak memiliki keaitan dengan PKI. Bahkan menyasar pendukung Presiden Soekarno dan anggota progresif Partai Nasioanal Indonesia (PNI).

Tags:

Berita Terkait