Meski Kewenangan Dipangkas, DPR Laksanakan Putusan MK
Berita

Meski Kewenangan Dipangkas, DPR Laksanakan Putusan MK

DPR akan mencari siasat atau strategi agar dapat tetap melakukan pemanggilan terhadap pejabat pemerintah yang mangkir dari panggilan untuk dimintai keterangan, misalnya dalam hal pembahasan RUU.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Upaya DPR memperluas kewenangan melalui UU No.2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) akhirnya kandas. Sebab, uji materi Pasal 73, Pasal 122 dan 245 UU MD3 dalam perkara No. 16/PUU-XVI/2018 sebagian dikabulkan. Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus Kewenangan DPR mulai pemanggilan paksa terhadap warga negara dengan bantuan kepolisian, hingga Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melakukan upaya hukum.

 

Ketua DPR Bambang Soesatyo meski sempat tersentak mendengar putusan MK tersebut, pihaknya berkomitmen apapun putusan MK terhadap pengujian sejumlah pasal tersebut bakal dihormati. Karena itu, DPR bakal melaksanakan putusan MK tersebut, sekalipun membatasi “kekuasaan” DPR. “Apapun putusan MK pasti akan kami hormati dan kita laksanakan,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Jumat (29/6/2018).

 

Dia menyadari setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibahas oleh DPR dan pemerintah yang tidak menampung aspirasi rakyat, terdapat ruang koreksi, yakni MK. Namun demikian, kata pria biasa disapa Bamsoet itu, bakal berpikir untuk menyiasati manakala terdapat pihak, termasuk pemerintah yang mangkir dari panggilan DPR untuk dimintai keterangan.

 

“Dengan dihapuskannya kewenangan memanggil paksa melalui bantuan kepolisian, maka DPR tak lagi memiliki kewenangan tersebut. Harus ada cara-cara yang lebih elegan agar keinginan rakyat untuk minta penjelasan kepada pemerintah melalui DPR bisa tetap dilaksanakan,” lanjutnya.

 

Soal siasat pemanggilan paksa, menurut Bamsoet dapat dilakukan melalui presiden, wakil presiden agar menteri-menterianya dapat menghadiri panggilan DPR, sehingga tidak perlu lagi mangkir. Terdapat beberapa kasus dalam pembahasan RUU ataupun dalam tugas pengawasan bahwa pejabat negara terkait enggan memenuhi panggilan DPR.

 

Baca:

MK Hapus ‘Panggil Paksa’ dan Pangkas Wewenang MKD

Tiga Poin Revisi UU MD3 Ini Akhirnya ‘Digugat’ ke MK

Ahli Sebut Kewenangan MKD Langgar Konstitusi

 

Dia menyebut pembahasan RUU Karantina Kesehatan. Menurutnya, pembahasan RUU tersebut mandek akibat Dirjen terkait belum dapat menghadiri pembahasan tersebut dengan berbagai alasan. Nah, dengan tidak adanya instrumen sebagai alat paksa, maka DPR mesti melobi menteri hingga presiden.

 

“Jadi itulah hambatan-hambatan kerja yang kami hadapi yang melatarbelakang kenapa pemanggilkan paksa itu penting. Karena kalau tidak begitu (pemangilan paksa, red), DPR disalahkan lagi,” kata dia.

 

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 122 huruf l, serta Pasal 245 ayat (1) UU No.  2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

 

MK menghapus kewenangan DPR melakukan pemanggilan paksa terhadap warga negara melalui bantuan kepolisian; menghapus kewenangan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) melakukan langkah hukum terhadap masyarakat yang merendahkan kehormatan DPR. Khusus Pasal 245 ayat (1) UU MD3 dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak diperlukan persetujuan MKD, tetapi tetap dengan persetujuan Presiden.

 

Sebelumnya ketiga pasal tersebut berbunyi:

Pasal 73

(3) Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat setiap orang yang dipanggil paksa;

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan

c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili setiap orang yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) Hari.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

Pasal 122

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas:….

l. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR;

 

Pasal 245

Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

 

Mempelajari

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan bakal mempelajari terlebih dahulu putusan MK tersebut. Menurutnya, MK memutus uji materi pasal-pasal tersebut memiliki pertimbangan mendasar. Yang pasti, kata Fadli, pimpinan DPR bakal mempelajari dan membahas terkait kewenangan MKD.

 

Terlepas hal itu, DPR bakal menyelaraskan putusan MK tersebut dengan strategi yang bakal digunakan DPR agar tetap dapat melakukan pemanggilan terhadap pihak pemerintah atau warga negara yang akan diminta keterangan oleh DPR.

 

Wakil Ketua DPR lain Fahri Hamzah menilai putusan MK tersebut masih menilai UUD Tahun 1945 lebih condong ke pihak eksekutif. Padahal sejak amandemen UUD 1945 yang ke-4, konstitusi berpindah dari falsafah concentration of power upon the president, menjadi check and balances.

 

Karenanya, kuatnya rezim eksekutif pun sudah ditinggalkan, menuju keseimbangan kekuatan antara cabang-cabang kekuasaan. “Makanya, kekuatan pengawasan diberikan kepada legislatif dengan segala konsekuensinya seperti hak memanggil secara paksa apabila panggilan tidak dipenuhi (diabaikan),” katanya.

Tags:

Berita Terkait