Meski Banyak Sarjana Hukum, Bukan Jaminan Fungsi Legislasi DPR Maksimal
Utama

Meski Banyak Sarjana Hukum, Bukan Jaminan Fungsi Legislasi DPR Maksimal

Lebih dari 70 orang anggota DPR periode 2004-2009 berlatar belakang pendidikan hukum alias sarjana hukum. Tapi bukan jaminan perbaikan kualitas fungsi legislasi Dewan. Ada banyak faktor lain yang mendukung.

Mys/Nay
Bacaan 2 Menit
Meski Banyak Sarjana Hukum, Bukan Jaminan Fungsi Legislasi DPR Maksimal
Hukumonline
Demikian pandangan dua pengamat hukum, Bambang Widjojanto dan Bivitri Susanti, menanggapi adanya  lebih dari 70 orang anggota DPR baru yang berlatar belakang pendidikan hukum. Bahkan sebagian diantaranya dikenal sebagai orang yang pernah memegang jabatan di bidang hukum dalam pemerintahan. Sebut misalnya dua mantan Jaksa Agung Andi M Ghalib dan Marzuki Darusman. Atau mantan menteri Pertahanan Prof. DR. Mahfud MD.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti menilai bahwa maksimal tidaknya fungsi legislasi ke depan tidak tergantung pada banyaknya anggota DPR yang bergelar Sarjana Hukum (SH). Sebab, sebenarnya peran DPR lebih sebagai pembahas, bukan perancang. Idealnya, pembahas lebih banyak berkutat dengan isu daripada pasal-per-pasal.

Anggota DPR adalah jabatan politis, bukan profesional. Oleh karena itu, tidak dibutuhkan keahlian tertentu di bidang hukum untuk menjalankan fungsi legislasi, kata Bivitri kepada hukumonline pekan lalu. 

Ia menambahkan bahwa maksimalnya fungsi legislasi banyak bergantung pada prosedur dan mekanisme pembahasan di DPR, yang di dalamnya mengandung partisipasi dalam pembuatan suatu undang-undang. Meskipun 70 persen anggota DPR adalah wajah-wajah baru, yang lebih penting adalah bagaimana di awal masa kerja, mereka bisa membangun sistem kerja yang bagus. Sistem kerja yang mengedepankan partisipasi, akuntabilitas dan transparansi. Misalnya dalam pengelompokan anggota fraksi, efektivitas Komisi dan sistem pengawasan internal dewan.

Kompetensi, intergritas dan keberpihakan

Senada dengan Bivitri, pengamat hukum Bambang Widjojanto juga berpendapat bahwa gelar sarjana hukum atau pendidikan tinggi hukum lainnya bukan menjadi jaminan perbaikan kualitas legislasi di Senayan. Ada faktor lain yang harus dipenuhi, yakni kompetensi, integritas dan keberpihakan.

Kompetensi, integritas dan keberpihakan sangat diperlukan dalam menyusun suatu undang-undang. Dalam menyusun suatu undang-undang, kompetensi seorang anggota DPR di bidang legal drafting sangat penting, disamping memahami substansi masalah yang dibahas. Kalau SH (sarjana hukum, red) banyak tapi ketiga nilai itu tidak ada, nggak bisa diharapkan, tandas Bambang.

Yang menjadi problem, kata Bambang, bukan pada berapa banyak gelar kesarjanaanya, tetapi lebih pada penerapan nilai kompetensi, integritas dan keberpihakan. Problem kita bukan pada berapa banyak S-nya. Kita tahu banyak juga gelar yang palsu, tukas mantan Dewan Pengurus YLBHI itu.

Dalam kaitan ini, Bivitri berharap komposisi SH tersebut bisa diarahkan kepada pembaharuan hukum oleh dewan. Misalnya merampungkan pembahasan revisi KUHAP dan RUU KUHP. Disinilah letak pentingnya semangat pembaharuan bagi mereka yang bertitel SH tersebut.

Tags: