Merumuskan Peta Jalan Ketenagakerjaan untuk Peningkatan Daya Saing
Berita

Merumuskan Peta Jalan Ketenagakerjaan untuk Peningkatan Daya Saing

Peta jalan ini mentargetkan 3 hasil yakni meningkatkan kompetitif, membangun SDM unggul, dan memperkuat ketahanan nasional. Hal ini perlu dibarengi dengan revisi regulasi Ketenagakerjaan, memastikan pelatihan vokasional bagi seluruh pekerja, dan pelaksanaan jaminan sosial untuk seluruh pekerja baik formal dan informal.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Kebijakan Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024 di sektor ekonomi dan ketenagakerjaan akan mempengaruhi geliat dunia usaha. Karena itu, kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyusun peta jalan perekonomian dan ketenagakerjaan 2019-2024. Wakil Ketua Apindo Shinta Wijaya mengatakan setelah peta jalan ini selesai dibuat, Apindo akan menyampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu Serentak 2019.

 

Shinta mengatakan peta jalan ini sebagai salah satu bentuk kontribusi Apindo bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan. Peta jalan ini disusun antara lain mengacu survei yang telah dilakukan pengusaha anggota Apindo dan asosiasi sektor. Pada intinya peta jalan ini memuat 3 bagian utama yakni konsep, rekomendasi dari hasil survei, dan matrik kebijakan.

 

Setiap tema dibahas dalam sub bab, dikaitkan dengan data dan perkembangan isu terkini. Selain survei, Shinta mengatakan masukan yang diberikan kalangan pengusaha diperoleh melalui FGD. Dalam matrik kebijakan tertulis tentang kebijakan dan tantangan kalangan dunia usaha dari beragam isu. Sedikitnya ada 5 isu sektoral yang menjadi sorotan yaitu pengelolaan manufaktur, pariwisata, pangan dan pertanian, energi, dan UMKM.

 

Peta jalan ini membahas sejumlah isu lintas sektor seperti makro ekonomi, perbankan, dan pembiayaan. Ketenagakerjaan, perpajakan, regulasi dan birokrasi yang bersinggungan dengan dunia usaha. “Peta jalan ini masih dalam pembahasan, dan sampai sekarang terus berproses,” kata Shinta dalam acara diskusi yang digelar stasiun radio di Jakarta, Rabu (10/4/2019) kemarin. Baca Juga: Pentingnya Membangun Ekosistem Ketenagakerjaan Lebih Fleksibel

 

Dari seluruh tema yang dibahas dalam peta jalan ini, Shinta menerangkan yang menjadi kata kuncinya yakni daya saing. Setidaknya ada 3 hal yang menjadi target peta jalan ini. Pertama, bagaimana mendorong percepatan peningkatan kompetitif. Kedua, membangun SDM unggul. Ketiga, memperkuat ketahanan nasional.

 

Menurut Shinta, pembangunan SDM bagian penting dalam pembangunan daya saing Indonesia. Kemudian perlu juga reskilling dan upskilling bagi tenaga kerja serta menciptakan link and match antara pendidikan dan kebutuhan industri. Untuk pembangunan SDM, peta jalan mengedepankan pendidikan dan pelatihan vokasi. Pemerintah bersama dunia usaha sudah menjalankan program ini.

 

“Sistem ini sudah mulai dibangun, tapi masih jauh bagi kita untuk dapat melihat hasilnya,” paparnya.

 

Selain itu peta jalan yang digagas Apindo ini menyoroti regulasi. Shinta mengatakan regulasi harus memberikan keadilan bagi pemberi kerja dan pekerja. Selaras itu penting untuk merevisi UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar selaras dengan perkembangan dan kebutuhan saat ini. “Kami tidak mau UU yang terlalu rigid karena akan menyulitkan pemberi kerja dan pekerja,” ujarnya.

 

Kemudian, upah minimum. Shinta mengatakan Peraturan Pemerintah (PP) No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sudah cukup baik dalam merumuskan kenaikan upah minimum setiap tahun. Formula yang digunakan sebagai dasar perhitungan upah minimum sudah baik karena kenaikan upah minimum setiap tahun dapat diperkirakan.

 

Sayangnya, belum semua daerah mematuhi ketentuan PP No.78 Tahun 2015 ketika menaikan besaran upah minimum setiap tahun. Karenanya, Shinta mengusulkan formula perhitungan upah minimum dalam PP No.78 Tahun 2015 perlu diadopsi dalam revisi UU Ketenagakerjaan.

 

Rektor Unika Atmajaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko mengatakan siapapun Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam Pemilu 2019 nanti akan menghadapi situasi sulit. Secara makro ekonomi di tingkat domestik dipengaruhi tren global. IMF telah menurunkan proyeksi ekonomi global dari 3,6 persen menjadi 3,3 persen. Ini artinya secara global ekonomi menyusut dan berdampak ke Indonesia.

 

Hasil survei yang dilakukan asosiasi pengusaha Jepang (Jetro), terkait prospek bisnis di Asia menunjukan arah penurunan. Sejumlah isu yang menjadi sorotan terkait perpajakan dan perburuhan (kenaikan upah). Prasetyo mengatakan investasi ke depan tidak seramai masa sebelumnya.

 

Namun, jika Indonesia mau pertumbuhan ekonomi didorong lebih tinggi lagi, maka harus mengidentifikasi faktor yang menyebabkan hal tersebut. Upaya yang bisa dilakukan pemerintah antara lain membuat regulasi yang sederhana dan cepat, serta memangkas birokrasi.

 

“Dukungan ini dibutuhkan dunia usaha agar mereka dapat melakukan ekspansi. Implementasi OSS harus dipercepat dan terus disempurnakan,” tuturnya.

 

Soal pengupahan, Prasetyo menekankan harus dihitung dengan baik. Jangan sampai dipengaruhi faktor politik, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha. Mengutip hasil survei Jetro, Prasetyo memaparkan risiko kenaikan biaya di Indonesia sebesar 47 persen, dan Vietnam 30 persen. Proyeksi kenaikan upah sektor manufaktur di Indonesia tahun ini 8,2 persen dan Vietnam 7,4 persen. Mengacu data tersebut menunjukan biaya produksi di Vietnam lebih rendah kenaikannya ketimbang Indonesia.

 

Pertanyaan berikutnya dengan biaya produksi yang lebih tinggi apakah kompetensi di Indonesia lebih baik daripada Vietnam? Jika tidak, maka ini bukan kabar yang menggembirakan bagi dunia usaha karena menanggung ongkos lebih tinggi dengan kualitas yang buruk. “PR Presiden dan Wakil Presiden terpilih nanti meningkatkan kompetensi. Harus ada upaya sistemik dari pemerintah baik melalui jalur formal dan informal,” usul Prasetyo.

 

Kendati situasi ekonomi global tidak menggembirakan, tapi Prasetyo melihat masih ada peluang. Terkait indeks daya saing dan tingkat kompetitif, posisi Indonesia berada di peringkat 45 dan Vietnam 77. Tapi kekuatan ekonomi Indonesia sekaligus menjadi kelemahan karena ukurannya besar, maka perubahan tidak bisa terjadi secara cepat. Pemangku kepentingan harus memaksimalkan semua sumber ekonomi yang ada di Indonesia.

 

“Walau situasi tidak mudah, tapi kita punya peluang. Siapapun yang menang harus pastikan dunia usaha bisa melaju berjalan usahanya agar ekonomi bisa terakselerasi,” harap Prasetyo.

 

Menyusun peta jalan serupa

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, mengimbau kalangan serikat buruh untuk menyusun peta jalan serupa sebagai masukan kepada pemerintah. Idealnya, Apindo dan serikat butuh saling berkoordinasi untuk memberikan masukan kepada pemerintah, sehingga masalah ketenagakerjaan ke depan bisa berjalan lebih baik.

 

Timboel menyebut sedikitnya ada 3 hal penting yang perlu dimasukan dalam peta jalan guna mendorong produktivitas dan kesejahteraan pekerja.Pertama, revisi UU Ketenagakerjaan agar mampu menjawab kondisi kekinian. Kedua, memastikan pelatihan vokasional segera dilaksanakan dengan memberikan kemudahan akses bagi seluruh pekerja. Serta pembiayaan murah bagi buruh untuk mendapatkan sertifikasi. Pemerintah berperan penting untuk mempertemukan kebutuhan industri dengan SDM yang ada.

 

Ketiga, pelaksanaan jaminan sosial untuk seluruh pekerja baik formal dan informal. Bagi pekerja informal yang miskin dan tidak mampu, Timboel mengusulkan pemerintah untuk membantu membayar iuran melalui skema penerima bantuan iuran (PBI). Saat ini skema PBI hanya untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

 

Pemerintah dan DPR perlu merevisi UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) agar pekerja informal bisa mengikuti program jaminan pensiun. Untuk itu, Timboel merekomendasikan pemerintah merevisi PP No.109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial, sehingga memuat pasal yang mewajibkan seluruh pekerja ikut 5 program jaminan sosial. Aturan ini nantinya berlaku untuk pekerja di seluruh industri baik skala kecil, menengah, dan besar.

 

Timboel melanjutkan pemerintah juga perlu merevisi sejumlah peraturan untuk meningkatkan manfaat program Jaminan Sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP). Sejumlah regulasi yang layak direvisi yaitu PP No.44 Tahun 2015 tentang program JKK dan JKM; PP No.45 Tahun 2015 tentang JP; dan PP No.46 Tahun 2015 jo PP No.60 Tahun 2015 jo Permenaker No.19 Tahun 2015.

 

“Pemerintah harus segera mengintegrasikan seluruh program Taspen dan Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan, sehingga seluruh aparat sipil negara yang berstatus PNS dan PPPK dapat dijamin BPJS Ketenagakerjaan sehingga asas gotong-royong terlaksana,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait