​​​​​​​Merintangi Imunitas
Editorial

​​​​​​​Merintangi Imunitas

Pembuktian menjadi jalan keluarnya dari wilayah abu-abu ini. Aparat penegak hukum yang menyeret para pemilik hak imunitas ke kasus menghalang-halangi proses penegakan hukum haruslah firm dalam membuktikan perkara.

RED
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Isu imunitas dan obstruction of justice (menghalang-halangi proses penegakan hukum) terus mengemuka semenjak mantan kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Isu ini terus bergulir layaknya bola yang disepak para pemain di tengah lapangan.

 

Sepanjang terus disepak, bola tersebut akan terus bergulir liar. Meski begitu, kedua isu ini jelas saling berkaitan satu sama lain. Pemberian hak imunitas terhadap profesi atau jabatan tertentu bukan tanpa sebab. Imunitas berlaku apabila seseorang menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan UU.

 

Imunitas merupakan sebuah bentuk perlindungan hukum supaya orang tersebut tak mudah disalahkan. Pasal 50 KUHP menyebutkan bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak boleh dipidana. Belum lagi hak imunitas di masing-masing UU, misalnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

 

Masyarakat yang berprofesi advokat memiliki hak imunitas semakin diteguhkan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 26/PUU-VI/2013. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 16 harus dimaknai bahwa advokat tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata selama menjalankan tugas dan profesinya dengan iktikad baik di dalam maupun di luar persidangan. Iktikad baik menjadi poin besar dari persoalan ini.

 

Atas dasar itu, pemberian hak istimewa tak dilihat layaknya mengenakan kacamata kuda. Ada pengecualian bagi profesi atau jabatan yang menerima hak imunitas sehingga bisa saja keistimewaan tersebut gugur. Misalnya, saat profesi atau jabatan yang memiliki hak imunitas tersebut berbuat tak sesuai dengan UU, seperti dugaan tindak pidana.

 

Posisi ini yang mengaitkan antara imunitas dengan obstruction of justice. Jika perbuatan oleh seseorang yang memiliki hak imunitas terbukti melakukan tindak pidana, dia tidak bisa berlindung di balik haknya itu. Tentu saja hal ini harus menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) saat proses penegakan hukum dilakukan.

 

Pembuktian menjadi jalan keluarnya dari wilayah abu-abu ini. Aparat penegak hukum yang menyeret para pemilik hak imunitas ke kasus menghalang-halangi proses hukum haruslah firm dalam membuktikan perkaranya. Tentu, hakim yang menjadi jurinya. Apakah terbukti atau tidak.

 

Sebagai catatan, bukan hanya dalam kasus Fredrich saja KPK menetapkan seorang advokat menjadi tersangka menghalang-halangi penyidikan. Sebelumnya KPK juga pernah menyeret dua orang advokat yang berasal dari Malaysia dalam pasal obstruction of justice terkait kasus yang menimpa Neneng Sriwahyuni, istri mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin.

 

Keduanya adalah Mohammad Hasan bin Khusi dan azmi bin Muhammad Yusuf. Di tingkat pertama, keduanya terbukti menyembunyikan Neneng saat istri Nazaruddin tersebut menjadi buronan KPK. Keduanya divonis 7 tahun dan denda Rp300 juta subsidair enam bulan kurungan karena terbukti melanggar Pasal 21 UU Tipikor. Putusan itu dijatuhkan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada 5 Maret 2013.

 

Kasus lainnya yang dialami Manatap Ambarita, seorang advokat yang terlilit Pasal 21 saat menangani sebuah kasus di Padang, Sumatera Barat. Di tingkat kasasi, Manatap terbukti melanggar pasal tersebut dengan dihukum 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsidair satu bulan kurungan.

 

Tentu saja, imunitas tidak seharusnya dipertentangkan dengan obstruction of justice. Karena imunitas hanya diberikan dan berlaku dalam hal pelaksanaan UU. Sementara obstruction of justice patut ditimpakan kepada pihak yang merintangi pelaksanaan UU. Keduanya saling berkaitan.

Tags: