Menyoroti Sisi Gelap Child Trafficking di Indramayu
Fokus

Menyoroti Sisi Gelap Child Trafficking di Indramayu

Child trafficking atau perdagangan anak merupakan salah satu bentuk eksploitasi terhadap anak. Perangkat dan aparat hukum yang ada belum mampu memberantas kejahatan terorganisir tersebut.

Gie
Bacaan 2 Menit

Selain persoalan materi, berdasarkan pengamatan hukumonline, gaya hidup yang cenderung ‘metropolis' juga dengan mudah ditemui di pelosok Indramayu. Ketika hukumonline menjelajahi pelosok Indramayu bersama tim ILO, di pelosok-pelosok desa masih saja bisa ditemui diskotik maupun cafe. Dan jangan heran, sepanjang jalan-jalan sepi di sekitar sawah, banyak dijumpai pemandangan pasangan muda-mudi yang tengah bercengkrama di sepeda motor. Tak ubahnya kehidupan metropolis.

Meski sering dianggap lumrah, ternyata tidak semua masyarakat sekitar menganggap masalah perdagangan anak menjadi bagian dari budaya masyarakat Indramayu. Berdasatkan data-data investigasi yang dikumpulkan pekerja-pekerja sosial dari YKAI dan ILO, dikatakan memang ada pro dan kontra tentang perdagangan anak ini.  

Berdasarkan survei dan temuan-temuan YKAI dan ILO di lapangan, pemerintah daerah, bupati, dan guru merupakan elemen-elemen yang secara tegas menentang child trafficking ini. Sedangkan kepala desa setempat, orangtua maupun kepolisian, justru disinyalir memberi jalan mulus bagi praktek child trafficking ini.

Masyarakat di sekitar desa Jambak dan Amis bisa jadi sudah mengetahui siapa yang menjadi ‘penyalur' di sekitar wilayah mereka. Toh, dua orang berinisial W yang disinyalir menjadi ‘penyalur' tetap bisa melenggang bebas. Kedua orang itu memang sempat didatangi aparat keamanan setempat. Namun mereka didatangi bukan untuk dimintai pertanggungjawaban atau ditangkap atas perbuatannya, melainkan dimintai upeti untuk ‘uang tutup mulut'.

Melihat maraknya perdagangan anak ini—khususnya di daerah Indramayu--, Andri Yoga Utami yang beberapa tahun terakhir aktif mensosialisasikan pencegahan perdagangan anak, menggarisbawahi pentingnya menempatkan anak sebagai korban bukan sebagai pelaku.

Berdasarkan penelusuran latar belakang dan pengalaman-pengalaman anak-anak di desa setempat, jelas harus dibedakan antara pelaku dengan korban. Dalam hal ini, Andri menegaskan bahwa dalam persoalan child trafficking, anak tidak bisa ditempatkan sebagai pelaku, melainkan korban.

UU No.23/2002 yang lahir sejak Oktober 2002 lalu secara jelas telah menjabarkan konsep tentang hak-hak anak, termasuk memberikan perlindungan bagi anak. Menurut Andri, pada persoalan child trafficking kesalahan bukan pada anak. Sebab, ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No.23/2002 secara jelas menyebutkan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari orangtua dan negara. Oleh sebab itu, dalam proses perdagangan ini, orangtua maupun orang-orang dewasa di tempat korban tinggal dianggap gagal dalam memberi perlindungan untuk si anak.

Tags: