Menyoroti Risiko Tipikor pada Industri Jasa Keuangan
Utama

Menyoroti Risiko Tipikor pada Industri Jasa Keuangan

Tindak pidana korupsi (tipikor) yang terjadi pada jasa keuangan berakibat fatal pada hilangnya kepercayaan publik.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Webinar Pencegahan Penyuapan di Industri Jasa Keuangan, Selasa (21/9).
Webinar Pencegahan Penyuapan di Industri Jasa Keuangan, Selasa (21/9).

Jasa keuangan merupakan salah satu industri yang ketat peraturannya untuk mencegah tindak pidana korupsi (korupsi). Meski demikian, masih terdapat kasus-kasus korupsi khususnya penyuapan dan pemberian gratifikasi yang melibatkan oknum-oknum pada industri tersebut. Berbagai kasus tersebut seperti perkara Asuransi Jasindo, Asuransi Jiwasraya hingga Bank Tabungan Negara (BTN).

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ahmad Hidayat, menyampaikan praktik penyuapan merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi (tipikor) yang praktiknya lebih sering dilakukan. Dampak buruk praktik tersebut menyebabkan kondisi industri jasa keuangan menjadi tidak sehat. Kepercayaan publik terhadap industri jasa keuangan juga hilang.

“Dampak buruk penyuapan menimbulan ketidaksetaraan kekayaan, rusak kepercayaan, jadi inefesiensi, mengurangi pengeluaran publik dan monopoli, dapat menaikan harga barang dan jasa dan kontrol pasokan menghambat,” jelas Hidayat dalam webinar Pencegahan Penyuapan di Industri Jasa Keuangan, Selasa (21/9).

Dia melanjutkan Undang-Undang 31 Tahun 1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih lebih sempit pengaturannya dibandingkan Foreign Corrupt Practice Act (FCPA). Dia mengatakan UU Tipikor fokus pada korupsi yang merugikan keuangan negara dan ekonomi. Sedangkan FCPA memiliki ruang lingkup lebih luas khususnya mengenai korupsi transnasional.

Pencegahan praktik suap ini perlu dilakukan secara bersama antar lembaga serta melibatkan publik. Hidayat menyoroti risiko tipikor yang cenderung meningkat terjadi saat pandemi. Dia menjelaskan berbagai proyek pemulihan kesehatan saat pandemi menjadi sasaran para pelaku pelanggaran tersebut.

“Saat pandemi risiko fraud lebih besar. Mobilisasi semakin banyak pada sumber daya dan bisnis, meningkatnya inisiatif baru kesehatan dan dana ini jadi target dan pelunang menarik pelaku fraud sehingga harus dijaga,” jelas Hidayat. (Baca: Urgensi Pengendalian Gratifikasi di Sektor Jasa Keuangan)

Penerapan ISO 37001 merupakan salah satu bentuk standar pencegahan yang diwajibkan pada pelaku industri jasa keuangan. ISO 37001 merupakan sebuah standar yang dirilis sejak 2016, yang mengatur tentang sistem manajemen anti penyuapan atau yang dikenal dengan istilah SMAP.

Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, mengatakan pihaknya sangat memperhatikan risiko tipikor pada jasa keuangan. Dia menjelaskan jasa keuangan menjadi suplai utama dalam rantai tipikor yang ditangani KPK. Dia menegaskan tipikor yang terjadi pada jasa keuangan berakibat fatal pada hilangnya kepercayaan publik.

Pahala menyampaikan masih terdapat pihak-pihak yang belum memahami batas-batasan tipikor. Dia mengatakan masih terdapat pihak yang belum dapat membedakan antara gratifikasi dan suap. Padahal, pihak yang terlibat dalam tipikor termasuk gratifikasi dapat dijerat hukum.

“Pemerasan pasti yang menerima kena, kalau suap pemberi dan penerima sama-sama diangkut. Yang agak kabur adalah gratifikasi yang kalau yang menerima pasif maka tetap diduga atau dapat dianggap suap,” jelas Pahala.

Dalam jasa keuangan, korporasi sangat berperan dalam rantai tipikor. Tidak hanya korporasi berstatus BUMN atau BUMD, melainkan korporasi swasta juga dapat terlibat. Dia mencontohkan gratifikasi untuk bendahara daerah yang memotong gaji pegawainya karena ada kewajiban cicilan pada bank. Lalu, ada juga gratifikasi yang diberikan kepada oknum pemerintah daerah karena menempatkan anggaran daerah di bank tersebut.

Untuk itu, Pahala mengimbau semua pihak menolak semua bentuk gratifikasi agar tidak terjerat hukum perkara tipikor. “Suap harus ditolak, kalau gratifikasi tidak dianggap suap kalau dilaporkan ke KPK dan ditetapkan KPK milik anda atau milik negara. Tapi dari pada repot-repot berurusan KPK lebih baik ditolak,” tegas Pahala.

Untuk diketahui, KPK dan OJK melalui Nota Kesepahaman No.48 Tahun 2021 telah melakukan kerja sama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor jasa keuangan. Salah satu kegiatannya adalah penerapan program pengendalian gratifikasi dengan mendiseminasikan pencegahan korupsi kepada lembaga jasa keuangan yang berada di bawah pengawasannya.

Jika karena kondisi tertentu, pegawai negeri dan penyelenggara tidak dapat menolak gratifikasi, maka wajib melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

“KPK berharap pegawai negeri dan penyelenggara dapat menjadi panutan bagi masyarakat dengan tidak melakukan permintaan, pemberian, dan penerimaan gratifikasi. Sehingga, dapat menimbulkan konflik kepentingan, bertentangan dengan peraturan, kode etik, serta memiliki risiko sanksi pidana,” jelas Fikri.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso pernah menyampaikan Wimboh Santoso menjelaskan pihaknya berkomitmen tinggi menjaga terselenggaranya tata kelola yang baik di OJK dan di industri jasa keuangan.  “Ini merupakan komitmen kami untuk menerapkan standar tertinggi terhadap etika dan tingkat integritas oleh seluruh Insan OJK dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya baik di Kantor Pusat maupun Kantor OJK yang beroperasi di seluruh Indonesia,” katanya.

Wimboh menjelaskan, bahwa OJK bertindak proaktif untuk dapat mencegah dan menghindari perilaku yang koruptif dalam bentuk apapun, termasuk gratifikasi dengan pendekatan tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap perilaku memberikan dan atau menerima gratifikasi dalam bentuk apa pun. OJK juga terus memonitor risiko penyuapan, gratifikasi dan korupsi secara berkala dan konsisten serta juga memastikan bahwa semua perangkat pencegahan dan penindakan tindakan penyuapan, gratifikasi dan korupsi telah diimplementasikan dengan baik oleh seluruh Insan OJK.

Selain itu, OJK juga berkomitmen tinggi untuk mendukung penerapan dan pengembangan Sistem Manajemen Anti Penyuapan sesuai standar SNI ISO 37001 di OJK dan Sektor Jasa Keuangan, yang penting dan relevan dengan kondisi saat ini.

Wimboh menjelaskan, sistem Manajemen Anti Penyuapan OJK yang telah dijalankan terdiri dari berbagai Kebijakan Anti Penyuapan dan Korupsi di OJK yaitu Kode Etik, Tata Tertib dan Disiplin Pegawai, Program Pengendalian Gratifikasi, Whistleblowing System, Kewajiban penyampaian LHKPN, Penandatanganan Pakta Integritas, dan Implementasi Strategi Anti Kecurangan OJK yang terdiri dari empat pilar, yaitu pencegahan, assessment, deteksi dan respons.

Menurut Wimboh, komitmen seluruh insan OJK untuk memberantas penyuapan, gratifikasi dan korupsi akan semakin meningkatkan kepercayaan dan kredibilitas lembaga, sehingga OJK dapat secara optimal berkontribusi pada pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Selain itu, OJK juga mewajibkan sektor jasa keuangan menjalankan prinsip kejujuran, integritas, transparansi, keadilan, dan tanggung jawab terhadap masyarakat dan pemangku kepentingan dengan menerapkan good governance dan praktik bisnis terbaik dalam melawan penyuapan, gratifikasi dan korupsi.

OJK dan asosiasi Industri Jasa Keuangan telah menandatangani komitmen untuk menerapkan strategi manajemen anti penyuapan sesuai standar SNI ISO 37001 yang diharapkan bisa mendorong industri jasa keuangan menetapkan kriteria dan pedoman yang jelas dalam melakukan aksi nyata pencegahan penyuapan dan korupsi.

“Sinergi yang tercipta antara OJK sebagai regulator bersama Industri Jasa Keuangan akan menjadi aksi nyata kolektif dalam memberantas penyuapan dan korupsi di negara kita,” kata Wimboh.

Tags:

Berita Terkait