Menyoroti Isi Perpres 112/2022 untuk Mengurangi Ketergantungan PLTU Batubara
Terbaru

Menyoroti Isi Perpres 112/2022 untuk Mengurangi Ketergantungan PLTU Batubara

Isi dari Perpres dinilai justru menimbulkan berbagai persoalan yang kontradiksi dengan upaya menuju pada target Net Zero Emission pada 2060.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres 112/2022) pada 13 September lalu. Pemerintah berharap Perpres 112/2022 sebagai awal era pembangunan pembangkit listrik rendah emisi dan ramah lingkungan sekaligus pelarangan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru dengan tidak mengganggu pembangkit-pembangkit yang sudah berjalan.

Namun, masih terdapat anggapan bahwa tujuan pemerintah dengan isi Perpres 112/2022 bertolak belakang. Hal tersebut disampaikan Direktur Kajian Energi Terbarukan Center of Economic and Law Studies (Celios), Dzar Azhari, yang menilai isi dari Perpres justru menimbulkan berbagai persoalan yang kontradiksi dengan upaya menuju pada target Net Zero Emission pada 2060.

“Pasal 3 angka 4 Perpres 112/2022 memberikan ruang bagi PLTU beroperasi sampai dengan tahun 2050 dikawasan industri, sangat kontradiktif dengan upaya mencapai transisi energi yang lebih bersih. Padahal selama ini pemerintah mendorong industri yang lebih ramah lingkungan seperti ekosistem mobil listrik dan baterai, tapi sumber listrik untuk produksi masih bersumber dari batubara, jelas kurang konsisten,” ungkap Dzar.

Baca Juga:

Dia menambahkan kehadiran Perpres 112/2022 juga berorientasi pada percepatan pengakhiran masa operasional PLTU dibandingkan tahapan bauran Energi Listrik yang memiliki peta jalan secara jelas.  Hal ini merujuk pada Pasal 3 angka 6 yang terdapat frasa PLTU dapat digantikan dengan pembangkit Energi Terbarukan dengan mempertimbangkan kondisi pasokan dan permintaan atau supply dan demand.

“Penggunaan kata ‘dapat’ memiliki arti tidak ada keharusan bagi pemerintah untuk menggunakan Energi Terbarukan sebagai pemenuh permintaan listrik,” ujar Dzar.

“Hal terakhir yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah, bahwa bersamaan dengan Perpres 112/2022 ini juga sedang disusun Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Poin yang menjadi perhatian dari RUU EBT adalah dalam tahapan Transisi yang belum rinci dan jelas. Selain itu baik Perpres 112/2022 dan RUU EBT tidak memiliki peta jalan yang menimbulkan optimisme transisi energi bersih dapat tercapai dalam waktu singkat. Perlu perombakan secara total terhadap konsep transisi energi bersih,” imbuh Dzar.

Tags:

Berita Terkait