Menyoroti Diskon Ojek Online yang Mengarah Predatory Pricing
Berita

Menyoroti Diskon Ojek Online yang Mengarah Predatory Pricing

Perilaku predatory pricing dapat mematikan pesaing dan menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pengendara transportasi berbasis aplikasi. Foto: BAS
Ilustrasi pengendara transportasi berbasis aplikasi. Foto: BAS

Diskon transportasi ojek online (ojol) sedang menjadi sorotan regulator seperti Kementerian Perhubungan dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Diskon ojol yang diberikan secara besar-besaran oleh operator justru dianggap mengarah pada pelanggaran persaingan usaha tidak sehat.

 

Salah satu metode promo yang biasa digunakan bisa berbentuk voucher diskon, potongan harga jika menggunakan alat pembayaran elektronik tertentu atau promo harga paket berlangganan. Sehingga, rentang tarif promosi bahkan bisa mencapai diskon 100% atau cukup membayar satu rupiah.

 

Komisioner KPPU Kodrat Wibowo bahkan menyatakan pihaknya telah mengendus persoalan ini sejak kalah bersaingnya salah satu operator ojol, yaitu Uber pada tahun lalu. Akibatnya, saat ini hanya tersisa dua operator ojol yang menguasai pasar nasional yaitu Gojek dan Grab. 

 

Kodrat menjelaskan operator ojol cenderung memberi diskon besar kepada konsumen meskipun kondisi keuangan perusahaan merugi. Dia menyebut operator ojol tersebut terus saling ‘membakar uang’ untuk menguasai pangsa pasar. Menurut Kodrat, kondisi ini terus terjadi maka terjadi predatory pricing pada industri ojol sehingga mematikan pesaing kemudian terjadi monopoli pasar.

 

Sejak Uber dibeli asetnya, persoalan ini sudah masuk dalam pengawasan kami. Banjir diskon itu sama saja bakar uang. Pelaku yang tadinya tiga menjadi mati itu berarti ada indikasi predatory,” jelas Kodrat kepada hukumonline, Senin (17/6).

 

Lebih lanjut, Kodrat menjelaskan pemberian diskon tersebut bukan berarti tidak dapat dilakukan operator ojol. Namun, dia menilai perlu ada aturan agar diskon ojol ini tidak melanggar hukum persaingan usaha. Dia juga mengimbau agar operator ojol berhenti untuk melakukan aksi jual rugi secara terus-menerus seperti yang terjadi saat ini.

 

“Diskon ini bukan berarti tidak boleh. Tapi, sejak Uber kolaps dan sekarang tinggal dua apakah harus nunggu satu dulu mati baru ada penindakan. Berarti ini bukan pengawasan namanya, pengawasan dapat dilakukan kalau ada dugaan yang sifatnya rule of reason,” jelas Kodrat.

 

Meski demikian, Kodrat menyatakan pihaknya terus mengawasi pemberian diskon ojol ini agar tidak melanggar hukum persaingan usaha. Selain itu, dia juga mengimbau agar Kemenhub segera membuat aturan komprehensif mengenai diskon ojol. KPPU juga menerima laporan pengaduan dari masyarakat apabila merasa dirugikan akibat diskon ojol tersebut.

 

Perlu diketahui, ketentuan pelarangan predatory pricing tercantum dalam Pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Predatory pricing dilarang karena meski dalam jangka pendek predatory pricing dapat menguntungkan karena konsumen menikmati harga barang atau jasa yang rendah.

 

Namun dalam jangka panjang, setelah para pesaing tersingkir dari pasar, pelaku usaha predator akan kembali menaikkan harga barang atau jasa. Dengan demikian praktek jual rugi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

 

(Baca: Menhub Tentukan Batas Bawah, Ojol Akali Pasang Promo Tak Wajar?)

 

Persoalan diskon ojol ini juga mendapat respons dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi menyatakan diskon pada tarif ojol seharusnya tidak menjadi masalah. Asal tarif yang telah dipotong diskon oleh operator atau partnernya masih dalam rentang Tarif Batas Bawah (TBB) sampai dengan Tarif Batas Atas (TBA).

 

Ketentuan tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No. KP 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi. Aturan tersebut menjelaskan ketentuan tarif transportasi online berdasar biaya batas bawah, biaya batas atas, dan biaya jasa minimal ditetapkan berdasarkan sistem zonasi.

 

“Jadi, diskon itu tidak bisa diterima ketika penerapannya di bawah TBB. Kalau diskonnya bermain di antara ambang TBB-TBA itu tidak masalah. Tidak ada yg salah dengan diskon selama masih di rentang TBB-TBA. Sebab diskon salah satu daya pikat konsumen,” jelas Tulus.

 

Dia menambahkan persoalan muncul apabila operator memberikan diskon tarif melewati batas yang telah ditentukan oleh Kepmenhub dengan mematok di bawah TBB. “Jika itu terjadi, bisa menjurus pada persaingan tidak sehat. Bahkan menjurus predatory pricing,” jelasnya.

 

Sehingga, dia mengimbau agar Kemenhub melakukan pengawasan jangan sampai diskon yg diberikan keluar dari rentang TBB-TBA. Kemenhub wajib memberikan sanksi kepada operator yang memberikan harga di bawah ketentuan Kepmenhub tersebut.

 

Menurut Tulus, rencana pelarangan diskon di ojol diduga  pemerintah dalam posisi gamang. Dengan Kepmenhub yang sudah ada, Tulus menilai sudah cukup untuk memberikan patokan soal tarif. Menurutnya, perlu diperketat adalah aturan  soal standar pelayanan minimal bagi ojol khususnya yang berdimensi keselamatan. Sebab, dimensi keselamatan ojol sangat rendah saat ini.

 

“YLKI meminta operator dan partnernya untuk konsisten dan mematuhi regulasi tersebut, agar diskon yang diberikan tidak melanggar TBB. Kemenhub harus konsisten dalam pengawasan baik terkait implementasi tarif TBA dan TBB, dan juga terkait standar pelayanan yang berdimensi keselamatan, safety,” jelas Tulus.

 

Sebelumnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menegaskan bahwa keputusan yang dihasilkan soal tarif ojek daring (online) adalah berdasarkan aspirasi pengemudi yang didiskusikan bersama aplikator serta asosiasi.

 

“Ojek daring itu dinamis, apa yang kami lakukan adalah usulan dari pengemudi. Jadi kalaupun kami melakukan riset, kami melakukan tahapan diskusi, tidak pernah kami memutuskan sendiri,” ujar Menhub Budi Karya seperti dilansir Antara usai menghadiri forum ekonomi di Jakarta, Rabu (12/6) lalu.

 

Terkait adanya peraturan soal tarif yang terangkum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, kata dia, itu merupakan upaya untuk melindungi pengemudi ojek daring, karena terjadi persaingan tidak sehat dengan adanya tarif rendah yang menuju ke arah predatory pricing.

 

Untuk itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat ke lima kota besar untuk menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tarif ojek daring.

 

“Kami sosialisasikan lagi ke lima kota itu, kami ajak bicara. Jadi enggak benar itu kalau kami yang memutuskan, karena ini dari aspirasi. Jadi kalau enggak percaya bisa tanya ke kelompok-kelompok pengemudi, mereka yang mengusulkan semuanya,” kata Menhub Budi Karya.

 

Budi juga sempat melarang adanya diskon tarif ojek daring karena sifatnya yang memunculkan persaingan tidak sehat. "Diskon ini memang memberikan keuntungan sesaat, untuk jangka panjang itu membunuh. Itu yang kami tidak ingin terjadi," kata Budi.  

 

Tags:

Berita Terkait