Menyorot Peran Regulator dalam Kasus Kejahatan Asuransi
Utama

Menyorot Peran Regulator dalam Kasus Kejahatan Asuransi

Pemerintah maupun aparat penegak hukum perlu mengevaluasi dan mengawasi serta mengatasi permasalahan asuransi untuk mewujudkan perlindungan hukum bagi masyarakat.

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Bertambahnya kasus kejahatan asuransi di Indonesia mendapat perhatian berbagai kalangan. Pasalnya, nilai yang terlibat dalam kasus asuransi mencapai triliunan. Peran regulator terutama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun disorot. Pemerintah maupun aparat penegak hukum diminta untuk mengevaluasi dan mengawasi serta mengatasi permasalahan di industri asuransi demi perlindungan hukum bagi masyarakat.

Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia melalui Indra Rusmi, Johan Imanuel, Gladi Angel, Fernando, Yogi P.S, Arlond JP Nainggolan, Faisal Wahyudi Wahid Putra, Erwin Purnama, Biren Aruan, Dwiky Anand Riswanto, Asep Dedi, Jarot Maryono, Erik Anugra Windi, Ika Batubara, Ricka Kartika Barus, mengaku telah menampung aspirasi masyarakat yang asuk terkait kasus asuransi yang jumlah kerugiannya dinilai mencapai triliunan tersebut.  

“Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, khususnya pada bulan November Tahun 2020 ada yang meminta agar memperhatikan carut marut kasus-kasus asuransi yang merugikan masyarakat,” tulis pernyataan Tim Advokasi. (Baca: 3 Hal yang Perlu Digalakkan dalam Upaya Perlindungan Konsumen di Era Digital)

Menindaklanjuti pengaduan tersebut, melalui surat tertulis Tim Advokasi mendesak pemerintah antara lain Presiden RI, Menteri Keuangan RI, OJK, Ombudsman, Kapolri, Kajagung, KPK, dan Komisi III DPR, untuk memperhatikan kasus asuransi di Indonesia yang terus bertambah. Kasus-kasus itu di antaranya Gagal Bayar Bakrie Life tahun 2008 - 2013 dengan total hutang ke nasabah Rp360 miliar, Asuransi Bumi Asih Jaya tahun 2014 memiliki hutang Rp1,2 triliun, Asuransi Jiwasraya tahun 2019 hutang Rp12,4 triliun, Asuransi Kresna Life tahun 2020 hutang total klien nasabah Rp6,4 triliun, Asuransi Bumiputera tahun 2020 klaim nasabah mencapai Rp9,6 triliun.

Setelah melakukan analisa dan diskusi, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia yang menilai beberapa hal. Pertama, publik menilai OJK dan Pemerintah telah lalai dalam menindaklanjuti kasus asuransi yang merugikan publik atau kepentingan masyarakat. Padahal OJK selaku pihak pengawas dari sisi pemerintah memiliki peran dan tanggung jawabnya serta tugas, fungsi dan wewenang berdasarkan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UU tentang OJK.

Pasal 4 menyatakan, OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Pasal 5 menyatakan, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

Kemudian Pasal 6 menyatakan, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Kedua, berdasarkan masalah kasus-kasus asuransi yang berkembang dari waktu ke waktu dan terus bertambah di Indonesia, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia meminta kepada seluruh instansi pemerintah maupun aparat penegak hukum, untuk mengevaluasi dan mengawasi serta mengatasi permasalahan tersebut di atas.

“Hal itu sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia agar kasus tersebut tidak terjadi lagi. Karena ini merupakan kasus-kasus besar yang nilainya mencapai triliunan. Tolong Diperhatikan demi sejahtera bangsa Indonesia. Selamatkan Negeri Tercinta Ini Dari Para Penjahat Kelas Kakap (para mafia intelektual),” tulis pernyataan Tim Advokasi.

Sebelumnya, Pengamat Hukum Bisnis dan Asuransi Universitas Airlangga, Budi Kagramanto, menilai banyaknya kasus gagal bayar investasi di perusahaan asuransi jiwa karena ada aturan dari regulator yang dilanggar. Perusahaan asuransi yang seharusnya hanya menjamin jiwa pemegang polis, justru memberikan garansi imbal hasil pasti (fixed return) melalui produk asuransi berbalut investasi.

"Bunga yang dijanjikan tidak masuk akal, tinggi sekali, bisa memberatkan perusahaan asuransi. Sekarang kejadian juga kalau perusahaan asuransi itu gagal bayar karena kondisi bursa anjlok," ujar Budi seperti dikutip dari Antara.

Ia mencontohkan dua perusahaan asuransi yang kini tengah menjadi sorotan publik, yakni Asuransi Jiwa Kresna Life dan Asuransi Jiwasraya. Dua perusahaan tersebut sama-sama menjanjikan imbal hasil tinggi kepada para pemegang polis yang membeli produknya.

Kresna Life misalnya, menjanjikan imbal hasil sekitar 9 persen untuk dua produknya yaitu Kresna Link Investa (K-LITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK). Sementara Asuransi Jiwasraya menjamin imbal hasil antara 9-13 persen melalui produk JS Saving Plan.

Budi menjelaskan kehadiran produk tersebut sejatinya ditujukan untuk menarik masyarakat membeli produk asuransi. Namun, produk tersebut justru disalahgunakan yaitu dibumbui dengan janji imbal hasil pasti dengan imbal hasil tinggi.

Untuk memenuhi janjinya itu, banyak perusahaan asuransi yang kemudian menempatkan dana nasabahnya di instrumen saham yang sejatinya berisiko tinggi dan fluktuatif, karena tidak memiliki garansi atas imbal hasilnya.

Dalam kasus Jiwasraya hampir semua penempatan dana perusahaan, baik investasi secara langsung maupun melalui manajer investasi (MI), dialokasikan ke instrumen saham-saham tertentu di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Selain itu, Budi juga mempertanyakan peran OJK dalam mengawasi dan memeriksa produk-produk investasi yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi. "Kenapa OJK memperbolehkan asuransi memberikan return tinggi dan fixed, bukankah itu melanggar aturan. OJK seharusnya sudah prediksi ini membahayakan dan bakal jadi bom waktu bagi perusahaan asuransi. Terbukti sekarang bomnya meledak," ujar Budi.

Apalagi, lanjut Budi, banyak perusahaan asuransi yang tidak memberikan informasi secara benar kepada calon nasabah. Padahal beberapa regulasi mewajibkan perusahaan memberikan informasi secara detail. Contohnya Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen, hingga Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

"Pasal 251 KUHD secara jelas ditujukan untuk perusahaan asuransi wajib memberikan informasi yang benar kepada tertanggung atau pemegang polis. Jangan yang disampaikan hanya keuntungan saja," ujar Budi.

Konsultan dan trainer perbankan, manajemen dan investasi Kodrat Muis menilai, imbal hasil pasti tidak dikenal dalam dunia asuransi. Hal itu dinilai sudah menyalahi Undang-undang Nomor 40/2014 tentang perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 27 Tahun 2018 tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi, pembaruan dari POJK Nomor 71 Tahun 2014.

"Kalau ada produk asuransi yang rider-nya, atau pendamping produk itu dikemas dalam bentuk saving, itu sudah menyalahi undang-undang, karena tidak diatur. Yang diatur hanya dalam bentuk investasi (unit link)," ujar Kodrat.

 

Tags:

Berita Terkait