Menyorot 4 Sumber Ancaman Kebebasan Sipil
Utama

Menyorot 4 Sumber Ancaman Kebebasan Sipil

Mulai dari kebijakan, kelompok masyarakat sipil tertentu, aparat negara, dan korporasi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ketua Komnasham, Atnike Nova Sigiro dan Pengajar STH Indonesia Jentera, Asfinawati dalam Konferensi Nasional kebebasan Sipil 2023 bertema 25 Tahun Merawat Kebebasan, Rabu (27/7/2023). Foto: RES
Ketua Komnasham, Atnike Nova Sigiro dan Pengajar STH Indonesia Jentera, Asfinawati dalam Konferensi Nasional kebebasan Sipil 2023 bertema 25 Tahun Merawat Kebebasan, Rabu (27/7/2023). Foto: RES

Kebebasan sipil merupakan bagian penting dari pelaksanaan demokrasi dan HAM. Tapi sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir ruang kebebasan sipil di Indonesia semakin sempit. Bahkan tak jarang masyarakat yang meluapkan kebebasan berpendapat dan berekspresi malah berurusan dengan hukum.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) Atnike Nova Sigiro, menyebut lembaganya menyoroti sedikitnya 4 sumber ancaman kebebasan sipil. Pertama, kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Kendati konstitusi telah menjamin kebebasan sipil, tapi masih ada aturan baik itu UU dan peraturan teknis yang cenderung mengancam kebebasan sipil.

Atnike memberikan contoh UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Beleid itu kerap digunakan untuk mengancam kebebasan sipil terutama di ranah dalam jaringan (daring). Makanya UU 19/2016 kerap dianggap sebagian aturannya menjadi momok.

“UU ITE jadi momok bagi kebebasan sipil,” katanya dalam Konferensi Nasional kebebasan Sipil 2023 bertema 25 Tahun Merawat Kebebasan, Rabu (27/7/2023).

Baca juga:

Kebijakan lain yang mengancam kebebasan sipil yakni UU No.16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas menjadi UU. Kemudian ada Peraturan Pemerintah (PP) No.60 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perizinan dan Pengawasan Kegiatan Keramaian Umum, Kegiatan Masyarakat Lainnya, dan Pemberitahuan Kegiatan Politik.

Tak hanya peraturan yang diterbitkan pemerintah pusat, Atnike melihat ada juga aturan yang diterbitkan pemerintah daerah seperti Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No.228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka. Peraturan Walikota Tangerang No.2 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penyampaian Pendapat di Muka Umum di Kota Tangerang.

Hukumonline.com

Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar (paling kiri) saat memaparkan materi soal kebebasan sipil. Foto: RES

Kedua, ancaman yang berasal dari kelompok masyarakat sipil tertentu. Misalnya di ranah daring ada buzzer yang merupakan aktor non negara. Ketiga, ancaman yang berasal dari aparat negara. Atnike melihat pembela HAM terutama di daerah, banyak yang mengalami ancaman yang lebih parah dari yang dihadapi pembela HAM di kota besar. Hal itu terjadi karena sorotan publik terutama media di daerah tergolong minim.

Keempat, sumber ancaman terhadap kebebasan sipil yakni korporasi baik itu swasta atau milik pemerintah seperti BUMN/BUMD. Atnike menyebut korporasi tidak bertindak secara langsung mengancam kebebasan sipil seperti presekusi, kriminalisasi, dan tuntutan hukum kepada masyarakat yang berkonflik dengan korporasi. Kasus yang melibatkan korporasi dengan masyarakat biasanya terkait konflik agraria dan sumber daya alam.

Di tempat yang sama pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, mengatakan kebebasan sederhananya ada 2 yakni terkait privat seperti kebebasan berkeyakinan, berpikir, dan berpendapat. Kemudian kebebasan yang sifatnya publik seperti berekspresi, menyampaikan pendapat dan informasi serta hal lain. Kebebasan membutuhkan negara untuk memastikan perlindungan, dan menjamin kebebasan tersebut.

Kebebasan yang bersifat privat tidak boleh diintervensi termasuk oleh negara. Serangan terhadap kebebasan berekspresi terjadi karena praktik impunitas dan kegagalan menerapkan prinsip ketidakberulangan. “Kepentingan politik dan ekonomi sering mendorong terjadinya serangan terhadap kebebasan berekspresi,” ujarnya.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Asfinawati, menjelaskan dalam konteks HAM ada kewajiban untuk menghormati yang artinya negara harus menahan diri untuk tidak mencampuri atau membatasi penikmatan HAM. Kewajiban untuk melindungi yakni mengharuskan negara melindungi individu dan kelompok  terhadap pelanggaran HAM.

“Kewajiban untuk memenuhi berarti bahwa negara harus mengambil tindakan positif untuk memfasilitasi penikmatan HAM,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait