Menyongsong Alternatif Penyelesaian Sengketa
Berita

Menyongsong Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dua puluh delapan orang hakim dari beberapa pengadilan di sekitar Jakarta berkumpul. Bukan sedang membicarakan usia pensiun hakim agung yang tengah lagi hangat dibahas. Bukan pula sedang bergunjing siapa calon kuat Ketua Mahkamah Agung pengganti Prof. Bagir Manan.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Lantaran ketidakpercayaan itulah, akhirnya keluar konsep menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan. Kalaupun tetap melekat pada badan peradilan, prosesnya terpisah dari proses beracara yang lazim. Ketika MA-BPHN-UNODC melakukan survei terhadap 39 orang hakim di Sulawesi Tenggara, sebagian besar hakim (73,7 %) menyatakan pengadilan tempat mereka bekerja sudah menerapkan penyelesaian di luar proses beracara biasa, atau yang lazim disebut alternative dispute resolution (ADR). Dari jumlah itu, sebanyak 77,7 persen menggunakan model ADR mediasi.

 

Nah, soal mediasi itu pulalah yang menjadi bahasan ke-28 hakim di atas. Mereka percaya bahwa mediasi berkaitan dengan akses masyarakat terhadap keadilan (access to justice). Dalam buku yang terkenal Access to Justice: a World Survey (Vol I), Mauro Cappiletti dan Bryan Garth menyebut tiga gelombang reformasi terhadap access to justice. Pertama, memberikan bantuan hukum dan layanan jasa hukum kepada kalangan tidak mampu, yang lazim kita kenal sebagai bantuan hukum pro bono. Kedua, meningkatkan tindakan representatif dan prosedur lain dimana satu gugatan bisa mengajukan beberapa klaim sekaligus. Ketiga, melakukan reformasi yang lebih luas terhadap sistem peradilan, termasuk mengenalkan berbagai alternatif penyelesailan sengketa (ADR), small claim court dan sebagainya.

 

Seiring dengan pandangan Cappiletti dan Garth, kini bermunculan prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa. Para pihak boleh memilih yang terbaik menurut mereka. Di Indonesia, akomodasi terhadap ADR pun semakin meluas. Para penyusun undang-undang telah memuat alternatif penyelesaian sengketa antara lain di bidang lingkungan hidup, konsumen, jasa konstruksi, perbankan, syariah, pasar modal, dan ketenagakerjaan. Tentu saja, hubungan bisnis perdata mengenal model ADR.

 

Tidak mengherankan, kalangan hukum dan pengusaha kini sudah familiar dengan istilah arbitrase, mediasi, konsiliasi, negosiasi, perdamaian, dan penilaian ahli.  Masing-masing menggunakan istilah yang berbeda, dan akibatnya sering membuat tafsir yang beragam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), kata arbitrase ditemukan dengan arti usaha perantara dengan meleraikan sengketa. Mediasi diartikan sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Kata konsiliasi juga sudah tercatat, dengan pengertian usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan itu.

 

Secara umum, ada dua model ADR. Ada yang melekat langsung ke pengadilan; ada yang tidak sama sekali. Yang terakhir bisa berupa model penyelesaian sengketa berbasis masyarakat, dengan mengandalkan tetua adat sebagai penengah.

 

Perangkat hukum di Indonesia juga terus mengalami perkembangan berkaitan dengan ADR. Sejak Agustus 1999 silam, Indonesia bahkan sudah memiliki Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara (i) konsultasi; (ii) negosiasi; (iii) mediasi; (iv) konsiliasi; dan (v) penilaian ahli. Sayang, Undang-Undang ini hanya menekankan pembahasan mengenai arbitrase. Sementara ADR lain tak banyak ditafsirkan dan dijabarkan lebih jauh.

 

Menyadari kekurangan itu pula, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan (Perma) No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Lima tahun setelah Perma ini dijalankan, ternyata perkembangan mediasi di lapangan cukup berarti. Sehingga Mahkamah Agung merevisinya dan menerbitkan Perma No. 1 Tahun 2008.

Halaman Selanjutnya:
Tags: