Menyoal Vonis Ringan Pelaku Korupsi oleh Pejabat Publik
Utama

Menyoal Vonis Ringan Pelaku Korupsi oleh Pejabat Publik

Keringanan vonis kejahatan korupsi diduga terjadi karena pelakunya berasal dari institusi penegak hukum.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Vonis mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi sorotan publik. Foto: RES
Vonis mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi sorotan publik. Foto: RES

Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Begitu sebagian besar pandangan publik terhadap penegakan hukum Indonesia. Berbagai kasus yang menjerat masyarakat lemah hukum tegak dan kaku. Sementara, saat pejabat tinggi publik atau tokoh berpengaruh lingkaran kekuasaan hukum seakan-akan lemah. Sehingga, bukan hal aneh terdapat krisis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Terdapat berbagai kasus yang putusan pengadilannya menyayat hati publik. Misalnya, seorang nenek berumur 92 tahun asal Sumatera Utara, Saulina Boru Sitorus, yang menerima vonis 1 bulan 14 hari penjara pada 2018. Kasus ini terjadi karena Saulina bersama enam anggota keluarganya salah menebang pohon milik kerabatnya. Lalu, ada kasus Nenek Asyani yang divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dengan denda Rp500 ribu subsider 1 hari hukuman percobaan. Asyani divonis bersalah setelah didakwa mencuri dua batang pohon jati yang ingin dijadikan tempat tidur. 

Sementara itu, kondisi berbeda penegakan hukum terhadap pejabat publik yang cenderung ringan dibandingkan tindak pidana dan timbulnya kerugian. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat, rata-rata pelaku perkara korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara sepanjang 2019. Selain itu, uang pengganti yang harus dibayarkan terpidana korupsi juga masih rendah. Kondisi ganjil ini tentunya mengkhawatirkan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman pidana yang tepat dijatuhkan kepada koruptor dapat merujuk Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 2 ayat (1) menyatakan, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.

Sedangkan Pasal 2 ayat (2) menyatakan, Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. (Baca: Kejaksaan Anggap Kasasi Pinangki Tak Ada Dasar Hukum)

Pasal 3 UU 31/1999 menyatakan, Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta dan advokat, Philip J Leatemia, menyayangkan terdapat keringanan vonis terhadap pejabat publik dan aparat penegak hukum yang terjerat korupsi. Dia juga menilai alasan keringanan vonis tersebut tidak berdasar. Menurut Philip, pejabat publik dan aparat penegak hukum harus menerima sanksi pidana lebih berat dengan merujuk Pasal 52 UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga,” jelas Philip dalam diskusi online "Tebang Pilih Hukum di Indonesia: Fenomena Putusan Hakim untuk Kasus Jaksa Pinangki” Jumat (16/7).

Dia menjelaskan fenomena peringanan vonis koruptor ini terjadi karena ketidakseriusan penegak hukum dalam menyelesaikan kasus tersebut. Dia menduga karena terpidana korupsi berasal dari institusi penegak hukum. Dalam kasus Pinangki misalnya, Philip menilai terdapat kejanggalan karena Kejaksaan Agung menolak melimpahkan kasus tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Terjadi konspirasi sangat menjijikan masa jaksa ditangani jaksa sendiri,” jelas Philip.

Dia juga menyoroti alasan pengadilan tinggi mengabulkan banding Pinangki sehingga mengurangi masa penahanan dari 10 tahun menjadi 4 tahun. Berbagai alasan keringanan seperti pengakuan bersalah hingga pemecatan, seorang ibu dari anak balita, seorang wanita sehingga harus diperhatikan, dilindungi dan diperlakukan adil, tidak dapat diterima. “Dalam hukum tidak ada seperti ini, bagaimana dengan kasus lain seperti seorang nenek yang harus dihukum karena ambil dahan pohon,” jelasnya.

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Hanifah Febriani, menduga keringanan vonis kejahatan korupsi terjadi karena pelakunya berasal dari institusi penegak hukum. “Fenomena saat ini praktik korupsi terjadi di berbagai institusi penegak hukum Kejaksaan, Mahkamah Agung bahkan KPK,” jelas Hanifah.

Selain itu, terjadi pelemahan karena belum ada kesamaan cara pandang dalam pemberantasan korupsi. Dia juga menilai Revisi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU 19/2019 justru melemahkan peran KPK.

Hanifah menyampaikan berbagai upaya penguatan penegakan hukum kejahatan korupsi dapat dilakukan seperti rekrutmen aparat penegak hukum secara transparan dan objektif. Kemudian, perlunya peningkatan pengawasan, membangun integritas dan moralitas pada aparat.

Dia juga mendorong agar pemberian sanksi tegas terhadap pejabat publik yang korup. Kemudian, kasus-kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum seharusnya ditangani KPK agar terhindar dari konflik kepentingan. “Sulitnya memberantas korupsi di aparat penegak hukum karena mereka punya resource,” jelas Hanifah.

Tags:

Berita Terkait