Menyoal UU Cipta Kerja yang Dinilai Menegasikan Kekhususan Papua
Terbaru

Menyoal UU Cipta Kerja yang Dinilai Menegasikan Kekhususan Papua

Karena UU Cipta Kerja memangkas kewenangan Pemda tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Papua/Papua Barat, dalam hal penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi aksi protes warga Papua di Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi aksi protes warga Papua di Jakarta. Foto: RES

Terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja semestinya tak menghilangkan kewenangan daerah khusus, seperti Papua, Aceh, DI Yogyakarta, khususnya kewenangan penataan ruang di wilayah tersebut. Sebab, Pasal 17 UU 11/2020 yang merevisi UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang memangkas kewenangan Pemda dalam hal tata ruang. Hal ini berpengaruh dalam penetapan kawasan ekonomi khusus, seperti di Sorong.      

“Rumusan Pasal 17 UU 11/2020 yang merevisi UU Penataan Ruang memangkas kewenangan Pemda dalam hal tata ruang. Ini berpengaruh dalam penetapan kawasan ekonomi khusus, seperti di Sorong,” ujar Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma dalam keteranganya, Rabu (20/10/2021).

Dia menerangkan wewenang Pemda dalam penyelenggaraan penataan ruang hanya meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam UU 6/2007 menyebutkan Pemda masih diberikan kewenangan dalam perencanaan tata ruang wilayah propvinsi, pemanfaatan ruang wilayah provinsi, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Pemda pun diberi kewenangan menetapkan kawasan strategis provinsi. Kemudian perencanaan tata ruang kawasan strategis, pemanfaatan ruang kawasan strategis, serta pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis.

“Namun kewenangan itu tidak dicantumkan dalam UU Cipta Kerja. Pemangkasan kewenangan ini menjadikan Pemda sebatas ‘penonton’. Ini menegasikan posisi Otsus yang semestinya memberi afirmasi Pemda untuk mengelola daerahnya,” kata dia.

Sebab, UU 11/2020 mengatur sejumlah kewenangan pemerintah pusat, seperti perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan penetapan ruang wilayah nasional. Sementara wewenang Pemda provinsi dan kabupaten/kota dibatasi sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat berupa pengaturan, pelaksanaan, dan kerja sama antarprovinsi sebagaimana diatur Pasal 10 dan 11 UU 6/2007 hasil perubahan UU 11/2020.

Menurutnya, Pasal 10 dan 11 UU 6/2007 hasil perubahan UU 11/2020 ini menyamaratakan semua jenis norma, standar, prosedur, dan kriteria, selama berkaitan dengan kebijakan nasional. Penyamarataan semua jenis norma, standar, prosedur, dan kriteria sepanjang berkaitan dengan kebijakan nasional bakal menghilangkan makna “kekhususan” Papua/Papua Barat. “Lalu apa gunanya UU 2/2021 tentang Otsus Papua yang baru dibuat?”

Filep merujuk Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021 yang menyebutkan, “Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus”.

Dia meniai beleid itu bermakna semua komitmen pemerintah pusat berkaitan hal tersebut harus diselesaikan secara bermartabat demi masyarakat adat Papua. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 42. Tapi, malah diperparah dengan materi muatan Pasal 22 UU 11/2020 yang mengubah UU No.32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang membatasi  peran Pemda dalam hal pemberian izin lingkungan berupa analisa dampak lingkungan (Amdal) untuk pengusaha.  

Padahal, kata Filep, Papua Barat sudah memiliki Perdasus Nomor 10 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Berkelanjutan sebagai Perwujudan dari Komitmen Pemda Provinsi atas Deklarasi menjadi Provinsi Konservasi sejak 29 November 2019 lalu. Perdasus 10/2019 ditujukan untuk melindungi 70 persen hutan dan 90 persen habitat laut.

“Sekarang yang menjadi pertanyaan serius, dapatkah Pemda Provinsi Papua/Papua Barat, atas nama kekhususan, mampu memperjuangkan hak-hak atas pengelolaan SDA?”

Senator asal Papua itu menilai seharusnya atas nama kekhususan dan lex specialis derogat legi generalis, pengelolaan SDA di Papua/Papua Barat mengikuti pengaturan UU 2/2021, bukan UU Cipta Kerja. Atas nama Otsus seharusnya peran pemerintah pusat yang harus dibatasi. Sedangkan peran Pemda Papua/Papua Barat bersama masyarakat lokal diangkat dan dimajukan.

Baginya, beberapa prinsip umum pengelolaan SDA, seperti keselamatan lingkungan tetap mengikuti pemerintah pusat. Namun pengaturan soal prosedur perizinan, bagi hasil, hingga pajak daerah seharusnya memberikan peran yang seluasnya bagi Pemda dan masyarakat (adat) Papua/Papua Barat. “Di sini dibutuhkan energi yang lebih besar dari Pemda untuk sedikit ‘memaksakan’ label kekhususan Papua/Papua Barat dalam hal pengelolaan SDA,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Analis Kebijakan dan Kinerja Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Velix Vernando Wanggai menilai UU 2/2021 menjadi arah dan harapan baru dalam mengelola pembangunan di Papua. Dinamika perjalanan Otsus Papua selama 20 tahun telah terdapat banyak regulasi sebagai aturan turunan dari UU 21/2001. Mulai peraturan pemerintah, hingga instruksi presiden (inpres) yang bersifat keberpihakan terhadap Orang Asli Papua (OAP). Termasuk sejumlah paket kebijakan afirmatif.

Bapennas mendorong strategi percepatan pembangunan terpadu yang lebih substansial di Papua. Ditjen Otda Kemendagri harus mengawal pelaksanaan UU 2/2021 ini. Mulai pelaksanaan implementasi sejumlah pasal yang mengatur tentang penataan daerah, proses rekrutmen politik, dan strategi bagi OAP dalam kebijakan pemekaran, serta peran perempuan dan masyarakat dalam pembangunan di Papua.

Termasuk mengedepankan pendekatan hak asasi manusia (HAM) dan human security terhadap OAP. Tentu saja melalui pendekatan yang soft dan menyentuh kebutuhan dasar manusia di Papua. Tak kalah penting, mewujudkan kehidupan sosial dan budaya yang harmonis di Papua, serta peran agama di era Otsus Papua Jilid II ini. “Ini komitmen besar negara dengan kehadiran OAP dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pembangunan melalui anggaran dana di Papua,” kata dia.

Bapennas pun diamanatkan mengawal melalui skema pendanaan sebagaimana diatur Pasal 34 UU Otsus Papua. Kemudian hadirnya badan khusus yang dipimpin Wakil Presiden dengan sekretariat berkantor di Papua menjadi bagian memudahkan pengawasan dan pengawalan jalannya pembangunan di bumi cenderawasih itu.

Tags:

Berita Terkait