Menyoal Rangkap Jabatan Komisaris BUMN
Berita

Menyoal Rangkap Jabatan Komisaris BUMN

Polemik rangkap jabatan dipicu oleh regulasi yang membuka peluang lebih longgar untuk pengabaian etika. Staf Khusus Menteri BUMN menyatakan bahwa posisi komisaris perusahaan negara yang diisi oleh sosok dari kementerian atau lembaga merupakan hal wajar.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Kementerian BUMN. Foto: RES
Kementerian BUMN. Foto: RES

Sejak tahun 2017, Ombdsman RI telah mengungkap banyaknya jumlah komisaris rangkap jabatan dan menjadi perhatian publik. Terhadap hal tersebut pemerintah melalui Kantor Staf Presiden menyampaikan akan memberikan opsi pengaturan kepada Presiden RI. Namun belum diketahui perkembangan terkait hal tersebut hingga saat ini.

Dalam perkembangannya persoalan tersebut tak kunjung tuntas, dan kembali menuai polemik di publik. Saat ini persoalan yang menjadi perhatian juga bertambah, hingga mencakup isu-isu sebagai berikut: dominasi jajaran Direksi dan Komisaris yang berasal dari Bank BUMN tertentu, kompetensi komisaris yang berasal dari relawan politik, penempatan anggota TNI/Polri aktif, penempatan ASN aktif sebagai komisaris di anak perusahaan BUMN hingga Pengurus Parpol diangkat menjadi Komisaris BUMN. Ombudsman RI masih terus melakukan pendalaman terhadap hal tersebut.

Pada Minggu (28/6) lalu, Ombudsman mengadakan jumpa pers bertema "Ombudsman RI Mencermati Rekrutmen Komisaris BUMN dan Anak Perusahaan". Berdasarkan data yang diperoleh, pada tahun 2019 ada 397 orang penyelenggara negara/pemerintahan terindikasi rangkap jabatan di BUMN dan 167 orang di anak perusahaan BUMN. Data-data tersebut masih terus diverifikasi ulang berdasarkan status keaktifannya saat ini.

Dari 397 orang dimaksud, Komisaris terindikasi rangkap jabatan yang berasal dari Kementerian mencapai 254 orang (64%), dari Lembaga Non Kementerian mencapai 112 orang (28%), dan dari Perguruan Tinggi 31 orang (8%).

Untuk instansi asal kementerian, ada lima kementerian yang mendominasi hingga 58%, yaitu: Kementerian BUMN (55 orang), Kementerian Keuangan (42 orang), Kementerian Perhubungan (17 orang), Kementerian PUPR (17 orang), dan Kementerian Sekretaris Negara (16 orang). (Baca: Jenderal Aktif Jabat Komisaris, Menteri BUMN Diingatkan Ketentuan UU TNI dan Polri)

Untuk instansi asal Lembaga Non Kementerian, 65% didominasi oleh lima instansi, yaitu: TNI (27), POLRI (13 orang), Kejaksaan (12 orang), Pemda (11 orang), BIN (10 orang) dan BPKP (10 orang). Sedangkan untuk instansi asal Perguruan Tinggi, tercatat seluruhnya berasal dari 16 Perguruan Tinggi dengan terbanyak dari Universitas Indonesia (9 orang) dan disusul Universitas Gajah Mada (5 orang).

Polemik rangkap jabatan ini meningkat dan juga dipicu oleh regulasi yang membuka peluang lebih longgar untuk pengabaian etika. Sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS melarang PNS rangkap jabatan menjadi direksi dan komisaris perusahaan swasta.

PP tersebut diubah menjadi PP No.53/2010 tentang Disiplin PNS dan tidak ada lagi larangan merangkap jabatan menjadi komisaris, kecuali menjadi anggota Partai Politik. Logika yang berkembang kemudian adalah, jika menjadi komisaris perusahaan swasta tak dilarang, apa lagi menjadi komisaris BUMN maupun anak perusahaan.

Di sisi lain adanya regulasi yang melarang rangkap jabatan juga berlaku. Misalnya dalam UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang melarang pelaksana pelayanan publik merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi badan usaha. Dalam implementasinya kemudian argumentasi yang sering digunakan adalah perbedaan istilah jabatan yang melekat pada penyelenggara sebagai alasan rangkap jabatan, bukan pada etika atau kepatutannya.  

"Ombudsman berpendapat bahwa pembiaran benturan regulasi tersebut telah menghasilkan ketidakpastian dalam proses rekrutmen, pengabaian etika, konflik kepentingan, diskriminasi, dan akuntabilitas yang buruk," ujar Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih dalam konferensi pers tersebut.

Dalam tatanan operasional, terdapat beberapa hal krusial yang berpotensi maladministrasi dalam rekrutmen Komisaris BUMN. Beberapa hal tersebut adalah: konflik kepentingan, penghasilan ganda, masalah kompetensi, jual beli pengaruh, proses yang diskriminatif, transparansi penilaian, akuntabilitas kinerja komisaris. Pada gilirannya hal ini jelas dapat memperburuk tatakelola, menurunkan kepercayaan publik dan mengganggu pelayanan publik yang diselenggarakan oleh BUMN.

Ombudsman memandang proses rekrutmen Komisaris BUMN ini akan terus mengundang polemik kecuali pemerintah melakukan perbaikan secara fundamental.Untuk itu, terkait perbaikan hal-hal yang bersifat fundamental Ombudsman akan menyampaikan saran tertulis kepada Presiden RI, dan sejumlah masukan di tataran operasional kepada Menteri BUMN," pungkas Alamsyah.

Tidak Diizinkan

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Muhammad Faiz Aziz berpendapat bahwa rangkap jabatan di BUMN memang tidak diizinkan. Hal itu jelas diatur dalam Pasal 17 huruf A UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyatakan, “Pelaksana dilarang: merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.”

“Pasal 17 huruf a itu jelas pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap jabatan. Larangannya sukup streak, dan ini absolut,” katanya kepada Hukumonline.

Namun, Aziz menjelaskan jika rangkap jabatan memang tidak diatur dalam UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) karena mengatur PT secara umum. Hanya saja hal itu berlaku selama tidak ada larangan pembatasan di UU lain. “Kalau ada yang melanggar, ya sanksinya pembebasan dari salah satu jabatan,” pungkasnya.

Hal yang sama diungkapkan peneliti HAM dan sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie. Dia menilai adaya jenderal dan perwira tinggi dari TNI dan Polri sebagai Komisaris BUMN tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri. 

Pasal 47 ayat (1) UU TNI mengamanatkan Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Begitu pun Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Pasal 28 ayat (3) ini mengamanatkan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Menurut Iksan, berdasarkan kedua ketentuan di atas harusnya perwira tinggi dan jenderal aktif tidak menjabat sebagai komisaris maupun direksi perusahaan BUMN yang merupakan jangan sipil. “Jabatan di BUMN juga tidak termasuk dalam pengecualian jabatan sipil yang boleh diduduki prajurit TNI aktif pada pasal 47 ayat (2),” ujar Ikhsan kepada hukumonline, Minggu (14/6) lalu.

Ikhsan menegaskan jabatan sipil yang dikecualikan sehingga bisa dijabat oleh perwira tinggi maupun jenderal adalah jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara. Selain itu juga terdapat sejumlah jabatan di kantor Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.

Hal Wajar

Menanggapi catatan Ombudsman, Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga menyampaikan bahwa posisi komisaris perusahaan negara yang diisi oleh sosok dari kementerian atau lembaga merupakan hal wajar.

"Kita kan tahu BUMN dimiliki pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang saham pasti menempatkan perwakilannya untuk menempati posisi komisaris di BUMN, maka wajar diambilnya dari kementerian-kementerian teknis yang memang paham masalah teknis di perusahaan itu," ujar Arya, seperti dilansir Antara, Minggu (28/6).

Menurut Arya, pemerintah sebagai pemegang saham BUMN berhak menempatkan orangnya dalam rangka mengawasi kinerja perusahaan. "Jadi sangat wajar kalau dari kementerian atau lembaga juga yang menempati posisi komisaris, yang mewakili kepentingan pemegang saham ya dari pemerintah. Itu logika umum, dimana-mana juga pastinya harus ada mewakili, kalau nggak siapa yang mewakili pemerintah dalam perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah itu kalau bukan dari unsur pemerintah," katanya.

Ia menyampaikan, larangan rangkap jabatan bagi PNS adalah larangan untuk menjabat satu jabatan strukrural dengan jabatan struktural lainnya dan/atau dengan jabatan fungsional dan pada Kementerian/Lembaga bukan jabatan di BUMN serta larangan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

"Sesuai regulasi maka Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas dan Direksi bukan termasuk jabatan yang masuk dalam kriteria jabatan struktural dan/atau jabatan fungsional dari Pegawai Negeri Sipil," paparnya.

Ia menambahkan terkait aspek benturan kepentingan dewan komisaris adalah yang dapat merugikan BUMN. Apabila perbedaan itu tidak menimbulkan kerugian pada BUMN maka bukan benturan kepentingan. Arya juga menjawab soal adanya rangkap penghasilan. Menurutnya, penghasilan yang diterima komisaris berbentuk honorarium dan bukan gaji.

"Kalau ada ASN yang ditugaskan untuk tugas-tugas tertentu maka ada tambahan honorarium bagi pejabat tersebut," katanya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait