Menyoal Penerapan Qanun Jinayah dalam Kasus Kekerasan Seksual
Utama

Menyoal Penerapan Qanun Jinayah dalam Kasus Kekerasan Seksual

“Tak dapat dibandingkan antara qanun dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak karena konteksnya UU Perlindungan Anak melengkapi qanun, bukan saling berhadap-hadapan satu dengan lainnya.”

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

“Kenapa kasus ini sering terjadi, karena tidak punya mekanisme perlindungan korban yang memadai. Pelaku masih dihukum ringan,” kata dia.

Ditegaskan Yulianti, perempuan dan anak korban kekerasan seksual di Indonesia minim dukungan. Dia sempat mendengar terdapat 8 orang perempuan korban kekerasan seksual terkena hukuman cambuk lantaran dinilai melakukan perzinahan. Padahal penerapan qanun jinayah juga harus dilakukan secara hahti-hati. Begitu pula aparat penegak hukum harus paham betul penerapan qanun jinayah.

“Kasus di Aceh ini menjadi momentum kita untuk refleksi, supaya korban perempuan dan anak bisa mendapat perlindungan yang memadai,” katanya.

Tak dapat dibandingkan

Hakim Yustisial Mahkamah Agung, Mardi Candra berpandangan terdapat banyak kritikan terhadap pelaksanaan hukum Islam di Aceh. Termasuk terhadap mahkamah syar’iyah. Dia sempat melakukan riset pada 2018. Menurutnya, masyarakat Aceh tak dapat dilepaskan dari dunia keislaman. Negara pun menghormati penerapan hukum Islam di kota Serambi Mekah itu.

Menurutnya, posisi Mahkamah Syar’iyah dalam hukum nasional dimulai mandat dari konstitusi yakni Pasal 24 dan Pasal 29 UUD Tahun 1945. Selanjutnya dibentuk berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewah Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darusalam (NAD).

Ada pula UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lalu, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Peraturan Qanun Aceh No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, dan Keppres Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah di Provinsi NAD.

“Meski qanun itu sama dengan Perda, tapi tidak bisa dihapus oleh Menkumham, jadi harus dihapus melalui judicial review di Mahkamah Agung (MA). Pernah diuji, tapi MA menolak. Karena qanun sudah sesuai dengan UUD Tahun 1945. Jadi tidak ada yang salah. Kalaupun salah harus ada yang direvisi,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait