Menyoal Penegakan Hukum Internasional dari Kacamata Pakar
Utama

Menyoal Penegakan Hukum Internasional dari Kacamata Pakar

Hukum internasional dianggap kurang memperlihatkan penegakan hukum jika dibandingkan dengan hukum domestik.

CR 33
Bacaan 4 Menit
Konferensi Nasional: Indonesia dan Hukum Internasional 2024 bertajuk
Konferensi Nasional: Indonesia dan Hukum Internasional 2024 bertajuk

Hukum internasional sebagai landasan tatanan perdamaian dan stabilitas ekonomi global merupakan hasil dari pengalaman dan pelajaran yang diperoleh dari Perang Dunia II. Namun, tantangan yang dihadapi dunia saat ini sangat berbeda dengan masa lalu.

Negara-negara kini menghadapi berbagai masalah kontemporer yang kompleks, seperti persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dan Tiongkok, konflik Rusia-Ukraina, penurunan ekonomi global, serta peningkatan kebijakan populis dan proteksionis di berbagai belahan dunia. Lalu, Bagaimana penegakkan hukum berdasarkan hukum internasional?

Menteri Luar Negeri RI Periode 2001-2009, Hassan Wirajuda pada Konferensi Nasional: Indonesia dan Hukum Internasional 2024 di Jakarta, Rabu (2/10)., mengemukakan bahwa penegakan hukum internasional dianggap kurang terlihat jika dibandingkan dengan hukum domestik. Namun, tidak sepenuhnya benar bahwa hukum internasional tidak memiliki penegakan hukum sama sekali karena beberapa aspeknya memang mengedepankan kepentingan bersama di antara negara-negara.

Baca Juga:

Hukumonline.com

Mantan Menteri Luar Negeri RI Periode 2001-2009, Hassan Wirajuda. Foto: HFW

Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Hikmahanto Juwana, menanggapi pernyataan Hassan mengenai penegakan hukum internasional. Menurutnya, penegakan hukum ini sangat tergantung pada negara-negara yang memiliki kekuatan, baik secara militer maupun ekonomi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi arah masyarakat internasional.

“Ini yang saya sering sampaikan bahwa hukum internasional ini tidak dibenarkan. Yang berlaku adalah hukum rimba. Hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang menang. Namun, penting untuk kita semua memahami bahwa saat kita belajar tentang hukum, kita sering diajarkan bahwa hukum berfungsi untuk menjaga ketertiban, sayangnya, pada saat itu kita tidak menyadari bahwa hukum juga dapat dijadikan alat legitimasi untuk berbagai tindakan,” kata pakar Hukum Internasional ini.

Hukumonline.com

Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Hikmahanto Juwana. Foto: RES

Hikmahanto menjelaskan bahwa dalam konteks internasional, setiap negara cenderung menggunakan hukum sebagai bentuk legitimasi, termasuk dalam situasi konflik seperti yang terjadi di Ukraina dan Gaza. Menurutnya, hal ini menuntut untuk mengembangkan norma baru yang memahami bagaimana hukum dapat digunakan sebagai alat untuk melegitimasi tindakan.

Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Amrih Jinangkung, menambahkan perihal isu penegakan hukum yang telah disampaikan sebelumnya, serta menyentuh pada standar penetapan dan norma baru dalam konteks hukum internasional. Kedua aspek ini, kata dia, meskipun berbeda tapi sangat terkait dengan masalah kekuatan.

“Kalau dalam konteks enforcement faktanya sekarang ini adalah memang power sangat pengaruh pada pelaksanaan hukum internasional, meskipun sebenarnya itu bukan yang kita harapkan karena harapannya hukum internasional diterapkan sebagaimana sebaik-baiknya hukum. Namun, kenyataannya adalah bahwa kekuatan politik dan militer masih mendominasi proses tersebut,” katanya.

Hukumonline.com

Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Amrih Jinangkung. Foto: HFW

Lalu dalam konteks penetapan standar dan norma baru, Amrih mengatakan kekuatan juga diperlukan, tetapi lebih kepada kekuatan intelektual dan kemampuan akademis dalam membangun argumen. Hal ini menjadi sangat penting dalam proses pembuatan norma internasional.

Menurutnya, saat ini Indonesia masih menyaksikan pertempuran ide dan pemikiran dalam berbagai negosiasi, seperti isu lingkungan dan internet. Dalam hal ini, kekuatan pemikiran menjadi sangat relevan, bukan kekuatan militer.

Salah satu prinsip yang mendukung pelaksanaan hukum internasional, kata dia, adalah prinsip mutual understanding, di mana semua negara menyadari bahwa tindakan terhadap satu negara dapat berimplikasi pada mereka sendiri.

Prinsip ini berfungsi sebagai deterrent, mendorong negara-negara untuk mematuhi hukum internasional. Namun, kepatuhan ini juga dipengaruhi oleh kepentingan nasional masing-masing negara, sehingga dalam beberapa kasus, negara akan menggunakan kekuatan untuk memaksakan kehendaknya.

“Dengan demikian, kita harus memahami bahwa hubungan antar negara dalam konteks penegakan hukum internasional sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kekuatan militer dan kekuatan ide atau pemikiran,” tambahnya.

Philips Jusario Vermonte, Senior Fellow, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) optimis dalam memahami hukum internasional, terutama dalam konteks geopolitik saat ini.

Menurutnya, kita harus menerima kenyataan bahwa hukum internasional merupakan hasil dari dinamika kekuasaan politik. Oleh karena itu, isu penegakan hukum atau enforcement menjadi lebih sulit bagi negara-negara dengan kekuatan menengah atau lebih kecil.

Hukumonline.com

Philips Vermonte, Senior Fellow, Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Foto: HFW

“Karena temanya adalah kawasan internasional di abad 2021, kita semua sepakat bahwa hal yang terjadi adalah tren perubahan geopolitik karena Amerika mengalami relative plan line dan China dianggap menjadi rising super power. Saya menyebutnya penurunan relatif karena meskipun Amerika mungkin mengalami kemunduran, negara lain, termasuk China, sedang menguat dalam berbagai aspek, baik ekonomi maupun politik,” ucap dia saat menjadi panelis dalam acara konferensi tersebut.

Philips menuturkan perubahan geopolitik ini menunjukkan bahwa hukum internasional dapat diterapkan jika ada hegemoni yang jelas dalam sejarah hubungan antarbangsa. Hegemoni tersebut seringkali bersifat kontradiktif, meskipun mereka berkuasa, mereka cenderung melanggar norma-norma hukum demi kepentingan mereka sendiri. Menurutnya, seiring dengan bertambahnya kekuatan, semakin besar pula kemungkinan mereka melanggar hukum internasional.

“Kalau kita mengingat punya Paul Kennedy, dia menyebutkan bahwa great power itu turun kekuatannya karena justru mereka terlibat dalam mau protected konflik yang mereka buat sendiri dan Amerika membuat sendiri perang-perangnya ini yang membuat mereka terlibat dalam memproteksi konflik, sehingga kemudian mengalami penurunan,” tuturnya.

Adapun dengan pemahaman ini, dapat dilihat bahwa dinamika kekuatan politik akan terus mempengaruhi hukum internasional dan penegakannya.

Tags:

Berita Terkait