Menyoal Narapidana yang Kabur Saat Terjadi Gempa dari Kacamata Hukum
Berita

Menyoal Narapidana yang Kabur Saat Terjadi Gempa dari Kacamata Hukum

Wajar dari sisi kemanusiaan selama narapidana yang bersangkutan menyerahkan diri kembali saat kondisi sudah pulih pasca bencana.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menyatakan 68 tahanan dan narapidana telah melapor dan kembali setelah mereka kabur untuk menyelamatkan diri akibat gempa 7,4 SR di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9).

 

"Dirjen PAS (Sri Puguh Budi Utami) sebelumnya menyatakan ada 1.425 narapidana yang kabur, sekarang berkurang menjadi 1.357 orang," kata Kepala Bagian Humas Ditjen PAS, Ade Kusmanto, kepada Antara di Jakarta, Selasa (2/10).

 

Ade mengungkapkan semua warga binaan pemasyarakatan Lapas Palu yang saat ini belum kembali diizinkan keluar bertemu dengan keluarga, dengan syarat wajib lapor sampai Kamis (4/10), karena belum ada pasokan bahan makanan. "Untuk yang sudah kembali ditampung di tenda halaman Lapas dengan penjagaan," kata Ade.

 

Penempatan para narapidana di tenda ini, lanjutnya, karena kondisi Lapas Palu yang rusak parah hingga mencapai 80 persen. Ade mengungkapkan dengan kembalinya 68 narapidana ini, maka warga binaan yang sudah berada di Lapas dan Rutan yang berada di 15 UPT wilayah Sulawesi Tengah sebanyak 1.863 dari total 3.220 narapidana.

 

Sebelumnya, Dirjen PAS Sri Puguh Budi Utami mengungkapkan ada 1.425 tahanan dan narapidana kabur pascagempa dan tsunami Donggala-Palu. Para tahanan dan narapidana yang kabur itu berasal dari Lapas Palu sebanyak 515 dari 581 narapidana sehingga tersisa 66 warga binaan, Rutan Palu sebanyak 410 tahanan dari 463 tahanan sehingga tersisa 53, Lembaga Pemasyarakatan Khusus Perempuan (LPP) Palu sebanyak 75 narapidana dari 83 narapidana ditambah tiga bayi tersisa sembilan orang, Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Palu 24 orang dari 29 narapidana sehingga tersisa lima warga binaan, dan Lapas Donggala sebanyak 342 narapidana kabur semua.

 

(Baca: 1.420 Narapidana Kabur Akibat Gempa dan Tsunami di Sulteng)

 

Utami menjelaskan kaburnya para tahanan dan narapidana ini karena secara naluriah butuh keselamatan jiwa dan juga khawatir keadaan keluarga mereka di luar.

 

Secara naluriah, memang dirasa wajar jika narapidana melarikan diri demi keselamatan jiwa, akan tetapi bagaimana halnya dengan hukum? Dosen Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Mudzakir, mengatakan memang ada sanksi pidana bagi napi yang melarikan diri, akan tetapi dalam kondisi bencana jika napi tak melarikan diri maka jiwanya bisa terancam.

 

Bahkan menurut Mudzakkir, secara filosofis jika terjadi pertentangan antara kepentingan kemanusiaan dengan kepentingan hukum, maka kepentingan kemanusiaan harus didahulukan.

 

(Baca: Jerat Pasal Berlapis Bagi Tersangka OTT Dana Rehabilitasi Pasca Gempa)

 

Kejadian kaburnya napi saat bencana ini sebetulnya juga pernah terjadi di Aceh, kata Mudzakir. Hal itu dianggap wajar dari sisi kemanusiaan selama narapidana yang bersangkutan menyerahkan diri kembali saat kondisi sudah pulih pasca bencana.

 

Justru, katanya, jika sampai narapidana itu ‘mati’ dalam tahanan maka sipir atau bagian keamanan lapas bisa dipenjarakan. “Karena penjaga pintu itu kalau sudah mengerti ada bencana tapi pintunya tidak juga dibuka, maka itu tanggungjawab dia,” ujar Mudzakir kepada hukumonline, Senin (2/10).  

 

Prosedur Pengamanan di Lapas Saat Gempa

Dalam berita sebelumnya, pernah dijelaskan mengenai bagaimana prosedur hukum mengatur terkait penyelamatan dan pengamanan para narapidana. Berdasarkan Pasal 24 Permenkumham No.33 Tahun 2015 tentang Pengamanan Pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, bencana alam merupakan salah satu dari 4 kriteria “keadaan tertentu” yang berada di bawah tanggungjawab “tim tanggap darurat”.

 

(Baca: Begini Prosedur Pengamanan di Lapas Ketika Terjadi Gempa)

 

Tim tanggap darurat terdiri dari petugas lapas dan rutan yang sudah mendapatkan pelatihan dan peralatan untuk melakukan evakuasi terhadap narapidana dan bertugas di bawah koordinasi kepala lapas atau rutan. Hal ini dijelaskan Kabag Humas Ditjen Pas, Kementerian Hukum dan HAM, Ade Kusmanto, bahwa dalam keadaan darurat bencana tim tanggap darurat sudah siap siaga melaksanakan tugasnya dalam pengawasan pimpinan.

 

Pasal 24:

(1). Penindakan terhadap keadaan tertentu dilakukan oleh tim tanggap darurat.

(2). Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika terjadi:

a. pemberontakan;

b. kebakaran;

c. bencana alam; dan/atau

d. penyerangan dari luar.

(3). Tim tanggap darurat sebagaimana di maksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi Kepala Lapas atau Rutan.

(4). Tim tanggap darurat terdiri atas petugas Lapas atau Rutan yang telah mendapatkan pelatihan dan peralatan.

 

“Semua petugas yang bertugas saat bencana berada dalam komando komandan regunya dan melaporkan kepada kalapas, kemudian kalapas melaporkan kepada kadivpas dan kakanwil,” ujar Ade Kusmanto kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

 

Menurut Ade, ada beberapa langkah penyelamatan narapidana berdasarkan standar operational prosedur (SOP). Pertama, memberikan informasi tanda bahaya kepada petugas dan warga binaan. Kedua, membuka dan mengeluarkan narapidana dan tahanan dari dalam kamar ke tempat terbuka dengan pengamanan terhadap napi dan dilanjutkan dengan penghitungan jumlah napi.

 

Ketiga, petugas lapas bertugas melaporkan hasil penghitungan dan pengamanan napi kepada Kalapas. Keempat, petugas lapas mengimbau para napi untuk duduk tenang, mengikuti aturan dan tidak melakukan upaya melarikan diri.

 

“Napi lari saat bencana alam biasa, karena memanfaatkan situasi saat keadaan darurat. Saat bencana petugas fokus pada keselamatan jiwa narapidana dan tahanan. Namun semua kejadian di lapas berada dalam tanggungjawab kalapas selaku pimpinan tertinggi, sejauhmana tanggungjawabnya menunggu hasil pemeriksaan tim divpas kanwil setempat, tim Ditjen Pas dan Inspektorat Kementerian Hukum dan HAM,” ujarnya.

 

Bila skala bencana alam meningkat, kata Ade, keadaan darurat ditetapkan. Pada saat itulah seluruh petugas dikerahkan untuk membantu melakukan evakuasi ke tempat yang aman sesuai dengan rencana evakuasi yang telah dibuat. Kesiagaan di setiap pos penjagaan ditingkatkan untuk mencegah kepanikan dan gangguan keamanan lainnya. Dalam hal terjadi banjir, tsunami atau dampak gunung meletus, para napi diamankan ke lokasi yang lebih tinggi.

 

Ade menambahkan bahwa dalam melakukan evakuasi terhadap narapidana dapat meminta bantuan kepada Polri, TNI dan BNPB. Polri bertugas melakukan pengamanan dan pengawalan narapidana dan tahanan serta turun mengamankan saat terjadi gangguan keamanan dan ketertiban (kamtib) dan bencana alam, sedangkan TNI bertugas membantu Polri jika terjadi gangguan kamtib dan bencana alam.

 

Ade menerangkan bahwa cedera, luka-luka, atau menjadi korban bencana alam bisa terjadi bahkan tidak hanya terhadap narapidana tetapi petugas dan keluarganya-pun turut merasakan. Untuk itulah berdasarkan SOP, Ditjen pas membentuk posko darurat yang di dalamnya terdapat layanan kesehatan dalam hal bencana merusak fasilitas lapas.

 

Pasca bencana alam, Kalapas membuat laporan atensi kronologis singkat kejadian dan seketika melapor kepada Divisi Pas Kakanwil Kemenkumham dan Dirkamtib Ditjenpas. Setelah itu, petugas lapas memeriksa sarana prasarana lapas, mengembalikan napi tahanan yang dievakuasi untuk menempati hunian dan melakukan pembersihan hunian lapas.

 

“Selanjutnya petugas melakukan pemeriksaan dampak bencana alam dan membuat laporan terkait bencana alam,” kata Ade.

 

Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju berpendapat kondisi kelebihan beban secara jelas berdampak pada prioritas pekerjaan Lapas dan Rutan. Menurutnya, pihak Lapas dan Rutan dalam tugas operasionalnya tentu akan lebih berfokus pada penanganan kondisi lapas dan rutan yang overcrowded dari pada mengatur dan mengkoordinasikan dengan seksama protokol apabila terjadi bencana seperti gempa bumi yang terjadi. 

 

“Seperti yang sudah dijelaskan dalam konsideran Permenkumham No 33 tahun 2015 bahwa protokol kemananan termasuk protokol apabila terjadi bencana alam penting untuk diatur secara komprehensif karena hal tersebut merupakan salah satu syarat utama untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan sistem permasyarakatan,” kata Anggara dalam rilis, Selasa (2/10).

 

Jika Lapas dan Rutan di wilayah lain dalam kondisi normal, proses evakuasi mungkin dapat dilakukan dengan merujuk pada Lapas dan Rutan yang tidak kelebihan penghuni. Dalam konteks ini, kata Anggara, ke-semua Rutan dan Lapas dari 8 UPT mengalami kelebihan penghuni. 

 

Untuk itu, ICJR meminta agar Kementerian Hukum dan HAM perlu untuk memperhatikan upaya untuk mengatur lebih lanjut dan lebih komprehensif mengenai mitigasi bencana terutama terkait dengan mitigasi kaburnya penghuni dalam kondisi bencana alam.

 

Sedangkan untuk Kementerian Hukum dan HAM, ICJR mencermati bahwa lagi-lagi kondisi overcrowding sedikit banyak juga mempengaruhi masalah ini, jika kondisi overcrowding tidak terjadi tentu Rutan dan Lapas di wilayah rawan bencana akan juga berfokus pada kebijakan penindakan kondisi bencana alam, dan tidak hanya melulu mengurusi masalah tentang kebutuhan dasar penghuni dalam kondisi overcrowding.

 

“Kementerian Hukum dan HAM juga harus mengatur ulang tahapan penindakan dalam kondisi bencana, karena Indonesia wilayah yang cukup sering terjadi bencana. Mitigasi jelas diperlukan, termasuk dalam sektor pemasyarakatan,” ujarnya. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait