Menyoal Kewenangan Negara dalam Perampasan Aset First Travel
Berita

Menyoal Kewenangan Negara dalam Perampasan Aset First Travel

Negara tidak punya hak atas uang tersebut. Masyarakat yang menjadi korban bisa menggugat negara.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Dia mengusulkan agar pemerintah tetap memberatkan para korban salah satunya dengan cara bernegosiasi dengan pemerintah Arab Saudi agar memberikan bantuan atau keringanan dalam penginapan jemaah, keringanan visa, transportasi hingga tiket pesawat. Dia mendorong agar instansi pemerintah terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan dan Kejaksaan Agung dapat mencari solusi kerugian jemaah.

 

“Para pemangku jabatan yang memiliki otoritas dapat duduk bersama untuk mencarikan solusi atas persoalan ini agar tidak berlarut-larut dan agar tidak terulang. Jangan biarkan keresahan mereka meluas dan kepercayaan kepada pemerintah makin tergerus,” pungkasnya.

 

Lantas seperti apa dasar hukumnya?

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan fakta hukum di persidangan ternyata Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel menyampaikan surat dan pernyataan penolakan menerima pengembalian barang bukti tersebut. Kemudian, bahwa sebagaimana fakta di persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana Penipuan juga terbukti melakukan tindak pidana Pencucian Uang. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara.

 

Hukumonline.com

 

Negara memang memiliki dasar hukum untuk merampas aset First Travel menjadi milik negara. Namun, negara dianggap tidak punya hak atas aset tersebut karena sumbernya dari uang para korban jemaah. Bahkan, masyarakat yang jadi korban penipuan First Travel tersebut dapat menggugat negara. Hal ini disampaikan ahli hukum pidana dan dosen FH Universitas Pancasila, Rocky Marbun.

 

“Secara substantif, negara tidak punya hak atas uang tersebut. Masyarakat yang menjadi korban bisa menggugat negara,” jelas Rocky saat dihubungi Hukumonline, Jumat (15/11).

 

Dia juga mengusulkan agar negara bernegosiasi sehingga para korban bisa mendapatkan ganti rugi. Selain itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga dapat berperan sebagai mediator antara negara dengan para korban. “Karena sebagai korban tindak pidana toh oleh UU Perlindungan Saksi dan Korban pula diberikan hak untuk memperoleh kompensasi dan atau restitusi,” jelas Rocky.

Tags:

Berita Terkait