Menyoal Kepemilikan Saham Temasek pada Perusahaan Telekomunikasi di Indonesia
Oleh Ita Kurniasih

Menyoal Kepemilikan Saham Temasek pada Perusahaan Telekomunikasi di Indonesia

Dalam jawaban tertulis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR-RI pada 5 Februari 2007, KPPU menyampaikan hasil evaluasinya tentang kebijakan di sektor telekomunikasi.

Bacaan 2 Menit

 

Pertama, penguasaan pasar di bidang telekomunikasi. STT, yang seluruh dimiliki oleh Temasek yaitu badan usaha milik pemerintah Singapura, pada Juli 2002 bersama Hutchinson Whampoa membeli Global Crosing senilai US$ 750 juta. Global Crosing adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia yang menguasai jaringan serat optik sepanjang 10 ribu mil yang menjangkau 27 negara di dunia termasuk Amerika, Eropa dan Asia Pasifik.

 

Dalam pengembangan jaringan globalnya, STT pada Oktober 2002 juga membeli Equinix dan Pihana Pasific. Keduanya adalah penyelenggara internet business exchange (IBM) sedang Pihana Pasific menyelenggarakan neutral internet exchange data center di Asia Pasific. Kemudian pada Desember 2002 STT dinyatakan sebagai pemenang atas divestasi saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94%. Selain itu, melalui Singtel sebagai perpanjangan tangannya Temasek juga memilliki saham sebesar 35% di PT Telkomsel yang merupakan anak perusahaan dari PT Telkom Tbk. Sehingga dengan menguasai Indosat, Telkomsel, Global Crossing, Pihana Pasific dan Equinix, berarti Temasek menguasai hampir separuh jaringan telekomunikasi dunia.

 

Kedua, soal posisi dominan dalam bidang telekomunikasi. Setelah diketahui bahwa Temasek menguasi pasar di bidang telekomunikasi dan struktur kepemilikan saham Temasek diatas, maka dapat dikatakan Temasek berada dalam posisi dominan dalam bidang telekomunikasi. Karena, dengan menguasai mayoritas kepemilikan saham di bidang telekomunikasi itu, Temasek dapat mendominasi susunan anggota direksi dan komisaris. Akibatnya, Temasek berada dalam posisi sentral untuk mendorong dan mengarahkan rencana dan strategi perusahaan-perusahaan terkait. Keadaan demikian sangat berpotensi menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan yang tidak sehat.

 

Hal ini dapat dilihat sebagaimana dituangkan dalam Shareholder Agreement dalam divestasi saham PT Indosat Tbk. Disebutkan bahwa dalam pemilihan dewan komisaris dan direksi ditetapkan berdasarkan simple majority. Akibatnya, Kementrian Negara BUMN sebagai kuasa pemegang saham seri A atau saham golden share namun memiliki jumlah kepemilikannya kecil hanya dapat mencalonkan komisaris dan direksi masing-masing hanya satu orang. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektifnya kepemilikan atas saham seri A tersebut dan seberapa besar pengaruh satu orang direksi atau komisaris yang dicalonkan oleh Kementrian BUMN tersebut untuk dapat mengubah kebijakan PT Indosat Tbk tersebut apabila bertentangan dengan kebijakan dari STT?

 

Meskipun sebagai pemegang saham seri A Kementrian BUMN memiliki hak veto, tetapi dengan komposisi kepemilikan yang kecil tersebut dan pemilihan dewan komisaris dan dewan direksi ditentukan dengan simple majority, hak veto itu sulit untuk dapat dilaksanakan. Karena, memiliki saham golden share tanpa menjadi pemegang saham mayoritas maka saham golden share tersebut menjadi tidak berarti karena haknya hanya untuk pencalonannya satu orang direksi dan komisaris, pada akhirnya yang memutuskan adalah RUPS dengan simple majority.

 

Ketiga, analisa atas potensi kerugian akibat tindakan pengambilalihan saham PT Indosat tersebut. Divestasi sebesar 41,94% saham PT Indosat Tbk tersebut, menimbulkan potensi kerugian bagi Indonesia karena harga penjualan saham tersebut jauh di bawah nilai strategis PT Indosat Tbk. Adapun  nilai strategis PT Indosat Tbk antara lain:

a.       Indosat sebagai pemegang lisensi frekuensi GSM selular dengan total 15 Mhz paling besar dibandingkan dengan Telkomsel dan Exelcom sebesar 12,5 Mhz;

Halaman Selanjutnya:
Tags: