Menyoal Hukuman Mati Sebagai Pidana Alternatif dalam RKUHP
Utama

Menyoal Hukuman Mati Sebagai Pidana Alternatif dalam RKUHP

Perlu memperjelas konsep pidana alternatif, komutasi bersifat otomatis tanpa perlu disebutkan terlebih dahulu dalam putusan hakim, hingga mempertegas kelompok orang-orang yang dilarang dijatuhi hukuman mati, tak sekedar sebatas penundaan eksekusi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Peneliti ICJR Iftitah Sari (kanan) dalam webinar bertajuk 'Pembaharuan Politik Hukuman Mati Melalui RKUHP', Selasa (24/5/2022). Foto: RFQ
Peneliti ICJR Iftitah Sari (kanan) dalam webinar bertajuk 'Pembaharuan Politik Hukuman Mati Melalui RKUHP', Selasa (24/5/2022). Foto: RFQ

Pengaturan pidana mati tidak lagi menjadi pidana pokok, tapi menjadi pidana khusus sebagaimana diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Politik hukum negara dalam pengaturan pidana mati itu menjadi jalan tengah akibat adanya dua mahzab yang saling pro dan kontra (polemik) memandang pidana mati. Lantas bagaimana penerapan pidana mati yang diatur dalam RKUHP bila disetujui menjadi UU nantinya?

Peneliti Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari berpandangan komitmen pemerintah dalam memberi jalan tengah yang bersifat ‘Indonesian Way’ bagi kelompok pro dan kontra dengan menjadikan pidana mati tidak lagi menjadi pidana pokok, tapi menjadikan pidana mati sebagai pidana khusus. Nantinya, ancaman penjatuhan pidana mati secara alternatif.

“Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir dalam mencegah terjadinya tindak pidana lain,” ujar Iftitah Sari dalam webinar bertajuk “Pembaharuan Politik Hukuman Mati Melalui RKUHP”, Selasa (24/5/2022).

Dia berpandangan mekanisme komutasi/perubahan bentuk hukuman dari pidana mati bisa dikonversi menjadi pidana jenis lainnya seperti pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun penjara dengan syarat melewati masa tunggu selama 10 tahun. Masa satu dasawarsa itu sebagai masa percobaan atau tunggu menjalani masa pembinaan terkait ada atau tidaknya perubahan perilaku.

Baca Juga:

Draf RKUHP versi 2019

Pasal 100

(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika: a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau c. ada alasan yang meringankan.

(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 101

Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Menurutnya, terdapat catatan terhadap Pasal 100 RKUHP. Seperti justifikasi masa percobaan 10 tahun dipandang terlampau lama. Sebab, dengan menjalani masa percobaan sama halnya terpidana mati menjalani dua masa hukuman yakni hukuman pidana penjara selama 10 tahun. Sepanjang tidak mengalami perubahan perlakuan dan sikap dalam kurun waktu 10 tahun, terpidana harus menjalani pidana mati. Sementara rekomendasi terbaru Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terbaru masa 5 tahun dinilai cukup menilai perubahan perilaku terpidana mati.

Karenanya, masa percobaan perlu dicantumkan hakim dalam putusannya. Kemudian adanya hal-hal meringankan sebagai pertimbangan penjatuhan hukuman mati dengan masa percobaan. Padahal, pidana mati semestinya tidak boleh dijatuhkan hakim sepanjang masih terdapat hal-hal yang meringankan. Soal pihak yang berwenang melakukan assesment terhadap terpidana menunjukan sikap dan perbuatan terpuji. Begitu pula komutasi terbilang panjang lantaran memerlukan pertimbangan MA. “Termasuk Penjelasan Pasal 100 ayat (1) RKUHP sedapat mungkin memperhatikan reaksi publik,” katanya.

Iftitah Sari berpandangan perdebatan pidana mati sejatinya tak berhenti pada persoalan vonis mati, tapi soal perlakuan setelah pemberian penjatuhan pidana mati oleh pengadilan. Setidaknya berdasarkan data yang dikantongi hingga per Januari 2022, ada 79 orang terpidana mati yang duduk dalam antrian selama lebih dari 10 tahun. Baginya, penerapan hukuman mesti dilakukan secara adil dan beradab.

Baginya, fenomena deret tunggu terpidana mati termasuk bentuk penyiksaan. Seperti munculnya penderitaan mental dan fisik yang dialami terpidana mati akibat kegelisahan dan ketakutan. Mulai dari dakwaan, tuntutan, hingga jelang eksekusi dengan masa tunggu yang panjang dan ketiadaan kepastian. Kemudian, diperburuk dengan fasilitas kesehatan fisik dan psikis, termasuk asupan nutrisi yang minim.

Karenanya, perlu memperjelas konsep pidana alternatif. Seperti tuntutan pidana mati secara alternatif penerapannya mesti menggunakan penelitian kemasyarakatan dengan beberapa syarat pengetatan. Seperti perbuatan dilakukan dengan kejam dan di luar batas kemanusiaan. Kemudian peran pelaku dominan dalam suatu tindak pidana. Serta perbuatan pidana merupakan pengulangan tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana mati. Termasuk jumlah korban cukup masif.

Kemudian, komutasi bersifat otomatis tanpa perlu disebutkan terlebih dahulu dalam putusan hakim serta melalui keputusan presiden. Termasuk mempertegas syarat penjatuhan pidana mati secara umum serta sebagai pidana mati yang dituntutkan secara alternatif. Tak hanya itu, mempertegas kelompok orang-orang yang dilarang dijatuhi hukuman mati, tak sekedar sebatas penundaan eksekusi.

Menanggapi pandangan Iftitah Sari, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menilai pidana mati menjadi jenis pidana khusus. Karenanya penjatuhan tuntuan pidana mati dan penjatuhannya pun mesti dilakukan secara selektif. Soal perlunya ada assesment terhadap terpidana yang menjalani masa tunggu selama 10 tahun dilakukan pihak Lapas dan pembimbing lainnya. Assesmen bertugas menilai terpidana dalam kurun waktu 10 tahun mengalami perubahan perilaku dan sikap atau malah sebaliknya yang tujuannya mengubah pula hukuman yang diterima.

“Jadi berbagai disertasi mengulas pidana mati, seolah menjalani dua masa pidana. Sebab masa menunggu itu kan dipenjara,” katanya.

Tags:

Berita Terkait