Menyoal Hanya Advokat yang Boleh Ajukan Perkara Kepailitan-PKPU
Berita

Menyoal Hanya Advokat yang Boleh Ajukan Perkara Kepailitan-PKPU

Majelis menyarankan agar Pemohon membaca pasal secara keseluruhan dan dasar filosofi dari norma yang mengatur ketentuan tertentu selain diminta pula untuk memperbaiki sistematika permohonan.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Dinilai diskriminasi, seorang PNS Kota Depok Hendry Agus Sutrisno mempersoalkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beleid itu mengatur hanya Advokat yang harus mengajukan permohonan/perkara kepailitan dan PKPU di pengadilan niaga.         

Bagi Hendry, pasal a quo mengandung makna hanya seorang advokat yang dapat melakukan tindakan hukum. Sementara warga negara lain, khususnya para kreditor atau debitor yang bukan seorang advokat justru dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk berperkara kepailitan dan PKPU di pengadilan niaga. 

“Karena profesi PNS, Polisi, Dosen, dan profesi lain yang memiliki pendidikan sarjana hukum tidak diperbolehkan undang-undang menjadi seorang advokat karena ada larangan rangkap jabatan,” kata Hendry dalam sidang pendahuluan secara daring, Selasa (27/4/2021) seperti dikutip laman MK.

Selengkapnya Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi, ”Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan seorang advokat.” Tapi, Pasal 7 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal permohonan diajukan oleh kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan.

Dalam persidangan Hendry mengaku sebagai kreditor yang sedang melawan debitor KSP Pandawa Mandiri Grup dan Nuryanto di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ia menggunakan jasa advokat dalam pengajuan perkara tersebut. Tapi jika kemudian perkara kepailitan berakhir dan pihaknya belum mendapat pelunasan utang, maka untuk mendapatkan hak tersebut dirinya harus kembali menggunakan jasa advokat.

“Dengan demikian pasal a quo sangat bersifat diskriminatif dan tidak menjunjung asas kedudukan yang sama di hadapan hukum serta tidak memberi rasa keadilan bagi Pemohon dan seluruh rakyat Indonesia,” kata Hendry dalam Sidang Panel yang diketuai Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih beranggotakan Suhartoyo dan Arief Hidayat.

Untuk itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Permohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan seorang advokat atau seorang kreditur dan/atau debitur yang berlatar belakang pendidikan sarjana hukum.

Saran majelis

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Suhartoyo mengingatkan sistematika permohonan ini, mulai dari kewenangan Mahkamah yang dibuat sederhana hingga kedudukan hukum yang belum menjelaskan perkara secara konkret yang dialami Pemohon atas berlakunya norma yang diujikan.  

“Paling tidak ada anggapan secara potensial yang dapat juga diilustrasikan atas peristiwa yang dialami Pemohon, ada tidaknya kerugian yang terjadi atas berlakunya norma tersebut?” kata Suhartoyo.

Suhartoyo meminta agar Pemohon juga membaca putusan MK yang berkaitan dengan peradilan pajak sebagai ilustrasi atas ketentuan dalam pengadilan niaga. Dia mengatakan hanya ada 5 pengadilan niaga di Indonesia yakni Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Medan, Surabaya, Semarang, dan Makassar yang dapat menggelar kewenangan peradilan niaga dan hanya advokat dengan spesifikasi tertentu yang dapat menjadi kuasa dalam berperkara di pengadilan niaga.

Anggota Panel lain, Arief Hidayat menerangkan sejak 1970-an pendidikan hukum menghasilkan sarjana yang dapat mengikuti perkembangan pada zamannya dan semakin terspesialisasi. Pendidikan hukum hanya memberikan bekal pada lulusannya pada pengetahuan makro mengenai ilmu hukum, akhirnya muncul spesialisasi seperti perkembangan hukum lingkungan, siber, perbankan, dan lainnya.

“Lulusan S1 hanya dibekali hukum yang pokok, untuk spesialisasi ada bidang hukum selanjutnya. Ini jadi pengayaan Bapak mengenai gambaran kasus ini, bidang hukum yang terspesialisasi dan super spesialis dibutuhkan keahlian khusus untuk menyelesaikan kasus dengan sebaik-baiknya. Ada lembaga yang mengadakan pendidikan khusus/tertentu, tidak semua sarjana hukum mengikuti perkembangan itu. Ada profesi yang membutuhkan keahlian khusus itu, termasuk masalah kepailitan ini,” kata Arief memberi gambaran.

Arief mengingatkan Pemohon perlu membaca putusan MK yang berkaitan yang dimaksud diskriminasi. Dalam beberapa putusan MK, disebutkan diskriminasi adalah adanya perlakuan yang tidak sama yang didasarkan pada pembedaan, seperti jenis kelamin, status sosial, suku, agama, dan lainnya. “Sehubungan dengan ketentuan memilih advokat, apakah termasuk disktriminasi atau tidak ketentuan ini?”

Ketua Panel Enny Nurbaningsih menyarankan agar Pemohon membaca pasal secara keseluruhan dan dasar filosofi dari norma mengatur ketentuan tertentu. Artinya, Pemohon diharapkan dapat mendalami dasar penyusunan norma yang dimohonkan pengujian.

Tags:

Berita Terkait