Menyatukan Zakat dan Pajak Melalui Revisi UU Zakat
Edsus Lebaran 2019

Menyatukan Zakat dan Pajak Melalui Revisi UU Zakat

Integrasi zakat dan pajak ini penting untuk rasa keadilan bagi masyarakat. Selama ini kelompok masyarakat nonmuslim hanya diwajibkan membayar pajak. 

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi zakat. Foto: RES
Ilustrasi zakat. Foto: RES

Jelang lebaran, masyarakat yang beragama Islam wajib membayar zakat sebagai amalan ibadah dari salah satu dari lima rukun Islam. Instrumen zakat sebagai salah satu pranata agama Islam sejatinya dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebab, potensi zakat di Indonesia sangat besar baik dari zakat fitrah maupun zakat maal (harta) dari sisi pemberdayaan ekonomi.

 

Secara umum zakat dibagi menjadi 2 jenis yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa muslim pada akhir bulan Ramadhan hingga jelang hari raya Idul Fitri sebanyak 1 sha’ kurma/gandum atau setara 3,5 liter beras (sebesar Rp40 ribu).

 

Zakat maal terdiri dari beberapa jenis zakat emas/perak/uang simpanan, zakat pertanian, zakat perniagaan/perdagangan, zakat peternakan, rikaz. Belakangan, dalam zakat maal dikenal istilah zakat profesi atau pendapatan. Setiap jenis zakat maal tersebut memiliki nishab (batas nilai minimal wajib zakat), waktu ditunaikan, kadar zakat yang berbeda-beda. Salah satunya, zakat emas/perak/uang simpanan, harta yang wajib dizakati mencapai nishab minimal harga 85 gram emas atau 595 gram perak, dimiliki setahun penuh (haul), dan kadar zakatnya sebesar 2,5 persen.   

 

Merujuk UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, zakat didefinisikan sebagai harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim/muslimah atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq) sesuai syariat Islam. Dalam Pasal 4 UU Pengelolaan Zakat, zakat terdiri dari zakat fitrah dan zakat maal

 

Zakat maal terdiri dari emas, perak, dan logam mulia lainnya; uang dan surat berharga lainnya; perniagaan; pertanian, perkebunan, dan kehutanan; peternakan dan perikanan; pertambangan; perindustrian; pendapatan dan jasa; dan rikaz (barang temuan/tambang/harta karun).    

 

Direktur Pendistribusian dan Pendayagunaan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Irfan Syauqi Beik menerangkan zakat adalah ibadah penting dan fundamental dalam ajaran Islam. Sayangnya, masih banyak umat Islam yang menganggap zakat sebagai beban, bukan kebutuhan.

 

“Untuk mengubah cara pandang ini, penting memahami tujuan zakat (maqashid zakah),” ujar Irfan dalam video berjudul “Tujuan Syariat Zakat Dalam Kehidupan: Bagian 1” yang diunggah di laman resmi Baznas.  

 

Sesuai Al-Qur’an dan Hadits terkait Zakat, Irfan menjelaskan sedikitnya ada 3 tujuan zakat. Pertama, keimanan, orientasi zakat meningkatkan ketakwaan dan keimanan kepada Allah SWT. Zakat membersihkan harta dan jiwa dari berbagai penyakit dan tujuannya melahirkan pribadi dengan kesadaran spiritualitas tinggi kepada Allah.

 

Kedua, tujuan zakat, menurut Irfan dalam rangka melahirkan pribadi dan masyarakat yang sakinah dimana antar komponen masyarakat saling mencintai. Dalam lanjutan ayat 103 surat At-Taubah, diperintahkan kepada amil (lembaga yang mengelola zakat) mendoakan muzakki (orang yang diwajibkan membayar zakat) untuk melahirkan kehidupan sakinah. Ketiga, dimensi ekonomi, di mana zakat merupakan antitesis dari riba.

 

Masih dilansir laman Baznas, zakat merupakan harta tertentu yang dikeluarkan apabila telah mencapai syarat yang diatur sesuai aturan agama Islam. Zakat ditujukan kepada 8 asnaf (golongan) sebagai orang yang berhak menerima zakat. Zakat berasal dari bentuk kata “zaka" yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Dinamakan zakat, karena di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkah, membersihkan jiwa, dan memupuknya dengan berbagai kebaikan (Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq: 5).

 

Menurut istilah dalam kitab al-Hâwî, al-Mawardi mendefinisikan zakat dengan nama pengambilan bagian dari harta tertentu, menurut sifat-sifat tertentu, dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Orang yang menunaikan zakat disebut Muzakki. Sedangkan orang yang menerima zakat disebut Mustahik.

 

Mengutip Al-Quran surat At-Taubah ayat 60, ada 8 golongan yang berhak menerima zakat. Pertama, fakir yakni orang yang tidak memiliki apa-apa, sehingga tidak mampu memenuhi kehidupan pokok hidup. Kedua, miskin, yaitu orang yang punya harta, tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ketiga, amil, orang yang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Keempat, muallaf, orang yang baru masuk Islam dan butuh bantuan menguatkan dalam tauhid dan syariah.

 

Kelima, hamba sahaya, yaitu budak yang ingin memerdekakan dirinya. Keenam, gharimin, yakni mereka yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam mempertahankan jiwa dan izzah-nya. Ketujuh, fisabilillah, orang yang berjuang di jalan Allah lewat dakwah, jihad dan lain sebagainya. Kedelapan, ibnu sabil, yaitu mereka yang kehabisan biaya dalam perjalanan dalam ketaatan kepada Allah.

 

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan MUI, M Cholil Nafis mencatat data Baznas menunjukan potensi zakat di Indonesia mencapai Rp200-an triliun pada 2018. Namun, realisasinya hanya sekitar 8 triliunan pada 2018. Secara prinsip, zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam, tapi pemerintah sampai saat ini belum membuat regulasi yang mewajibkan zakat terutama bagi PNS/ASN.

 

“Makanya, penting diatur agar zakat dapat diintegrasikan atau dimasukan dalam instrumen (komponen) pajak,” ujar Cholil Nafis dalam sebuah diskusi di Jakarta, belum lama ini.

 

Baca:

 

Dengan cara ini, Cholil yakin jumlah masyarakat yang membayar pajak akan semakin besar, sehingga mampu meningkatkan secara signifikan jumlah zakat yang terkumpul. “Jika zakat dapat diintegrasikan dengan pajak, orang tidak akan keberatan untuk bayar zakat. Kalau seperti sekarang umat Muslim harus membayar pajak dan zakat, jadinya double tax,” kata Cholil Nafis.

 

Integrasi zakat dan pajak ini, menurut Cholil juga penting untuk rasa keadilan bagi masyarakat. Selama ini kelompok masyarakat nonmuslim hanya diwajibkan membayar pajak. Tapi untuk umat Islam yang mayoritas selain wajib membayar pajak, juga dibebani membayar zakat baik zakat fitrah maupun zakat maal. Padahal, seharusnya pelayanan yang diberikan pemerintah kepada setiap warga negara sama, tidak boleh ada perlakuan berbeda (diskriminasi).  

 

“Harapannya ke depan agar orang yang sudah bayar zakat ke Baznas atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) dikategorikan sudah membayar pajak (tertentu),” usulnya.

 

Cholil menilai pemungutan zakat di Indonesia melalui UU Pengelolaan Zakat  selama ini sifatnya sukarela (voluntary). Penyaluran zakat oleh badan atau lembaga amil zakat resmi sebagian besar untuk kalangan fakir dan miskin (pendayagunaan zakat kurang produktif). Persoalan lain, kata Cholil, UU Pengelolaan Zakat hanya mengatur kelembagaan amil zakat, belum mengatur kategori muzakki dan mustahik.  

 

“Karena itu, UU Zakat layak untuk direvisi guna mengatur lebih lanjut antara lain mengenai muzakki dan mustahik serta integrasi zakat dalam pajak,” sarannya.

 

Selain zakat dari individu perorangan, Cholil melihat penarikan zakat dari perusahaan juga belum berjalan baik. Sebagian besar perusahaan belum sadar untuk membayar zakat. Jika ada regulasi kewajiban perusahaan yang melakukan bisnis atau interaksi dengan umat Islam untuk dikenakan zakat, maka jumlah zakat yang bisa dikumpulkan berpotensi lebih besar daripada sekarang.

 

“Bisa juga diatur bagi wajib zakat yang tidak menunaikan kewajibannya itu dapat dikenakan sanksi,” usulnya.

 

Mengenai rencana pemerintah yang ingin mewajibkan zakat untuk aparatur sipil negara (ASN), Cholil menilai hal tersebut kurang tepat. Menurutnya, tidak semua ASN masuk kategori wajib zakat. Jika tujuan pemerintah menggenjot jumlah zakat yang dikumpulkan, Cholil mengusulkan agar zakat diintegrasikan (digabung) dengan komponen pajak.

 

Direktur NU CAR-LAZISNU Ahmad Sudrajat mengatakan pihak yang ingin mengumpulkan atau memungut zakat harus mengantongi izin. Pihak yang tidak memiliki izin dalam mengumpulkan zakat dapat dikenakan sanksi. Menurutnya, lembaga amil zakat perlu diawasi agar pengelolaan zakat dapat dilakukan dengan baik pemungutannya maupun penyalurannya. “Harus diwaspadai, ada lembaga zakat yang menyalurkan zakat untuk kegiatan non-NKRI seperti untuk kegiatan terorisme,” ungkapnya.

 

Ahmad menyerukan agar pemerintah dan seluruh pihak terkait untuk gencar melakukan edukasi secara masif kepada masyarakat mengenai zakat. Ke depan, Lazis NU akan mendorong sertifikasi untuk lembaga zakat. Antar lembaga amil zakat, menurut Ahmad juga perlu melakukan sinergi agar penyalurannya lebih tepat sasaran. Ahmad mentargetkan tahun depan lembaga yang dipimpinnya ini dapat menghimpun dana zakat sampai Rp1 triliun.

Tags:

Berita Terkait