Menunggu Nilai Rupiah Menguat
Berita

Menunggu Nilai Rupiah Menguat

Perlu penggabungan kebijakan pemerintah di sektor riil dan fiskal.

FNH
Bacaan 2 Menit
Menunggu Nilai Rupiah Menguat
Hukumonline

Melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS ternyata masih dinilai wajar. Saat ini, nilai rupiah derhadap dolar AS sudah menembus angka Rp10.000. Kendati angka ini dinilai cukup tinggi oleh publik, beberapa pihak mengatakan angka tersebut masih sesuai dengan kondisi fundamental perekenomian Indonesia.

Penilaian tersebut juga berasal dari Chieft Economist Bank Mandiri, Destry Damayanti. Menurutnya, angka rupiah terhadap dolar AS bergerak sesuai dengan kondisi fundamental. "Gubernur BI juga bilang, kalau rupiah bergerak sesuai dengan fundamentalnya," kata Destry di Jakarta, Rabu (17/7).

Melemahnya nilai rupiah, lanjutnya, diakibatkan oleh permintaan dolar AS di dalam negeri cukup tinggi. Selain itu, dolar AS juga diperlukan untuk membayar transportasi ekspor dan lain sebagainya.

Diakui oleh Dirut Bank Mandiri, Budi Gunardi Sadikin, permintaan atas dolar AS memang meningkat. Tetapi, melemahnya rupiah bukan disebabkan oleh sedikitnya dolar yang tersedia di dalam Negeri. "Ketersediaan dolar AS di Bank Mandiri banyak, namun tidak ada yang mau menjual," jelasnya.

Dalam kondisi perekonomian global seperti ini, Destry menilai Indonesia tidak bisa berharap banyak terhadap ketersediaan dolar di dalam negeri. Demand di dalam negeri tidak diimbangi dengan suplai.

BI dinilai cukup agresif menggunakan instrumen moneter guna mempertahankan nilai rupiah. Kenaikan BI rate sebesar 75 bps dalam dua bulan dan kenaikan Fasbi rate diharapkan dapat menormalkan kembali nilai rupiah. Bahkan ia meyakini, BI bisa menaikkan Fasbi rate lagi sebesar 50 bps untuk memperkuat nilai rupiah.

Kendati demikian, ia mengatakan posisi melemahnya rupiah masih bisa terjadi. Hal tersebut disebabkan oleh impor minyak yang besar. Agar rupiah tidak semakin melemah, diperlukan kebijakan pemerintah baik sektor riil maupun fiskal.

Kehati-hatian

Kenaikan BI rate dan Fasbi rate akan diikuti oleh kenaikan Loan to Value (LTV) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA). Kebijakan menaikkan LTV dipandang oleh BI penting mengingat adanya sinyal penggelembungan kredit properti terutama KPA. BI akan menerapkan LTV progresif.

Beberapa kebijakan tersebut, dinilai Destry, menunjukkan sikap BI yang proaktif dan prudent. Tetapi, perbankan memiliki tantangan yang cukup berat pasca kebijakan tersebut. Pertama, akan mempengaruhi Net Interest Margin (NIM) bank. Pasalnya, kenaikan BI rate akan mempengaruhi suku bunga perbankan. Dikhawatirkan, kredit yang disalurkan menjadi lebih besar ketimbang dana yang dimiliki oleh bank. "Kalau NIM bank tergerus, bank harus lebih kreatif untuk menutupi," jelas Destry.

NIM adalah ukuran pendapatan antara pendapatan bunga yang dihasilkan oleh bank dan nilai bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman mereka (misalnya deposito), relatif terhadap jumlah produktif aset.

Tantangan yang kedua adalah risiko menjadi lebih tinggi. Kebijakan BI rate dan LTV progresif dipastika oleh Destry akan mengakibatkan bank menjadi lebih hati-hati untuk menyalurkan dan mengalokasikan kredit. "Harus jeli mengalokasikan kredit bank, mana kredit yang sensitif terhadap inflasi dan nilai tukar serta mana yang tidak," ungkapnya.

Kendati kebijakan BI ini akan memperlambat perekonomian Indonesia, Destry menganggap hal tersebut tidak menjadi masalah. Menurutnya, ada saatnya Indonesia memperlambat perekonomian.

Tags:

Berita Terkait