Mentransformasi Sakit Hati Menjadi Perjuangan
Edisi Akhir Tahun 2011:

Mentransformasi Sakit Hati Menjadi Perjuangan

Sumarsih dianugerahi Yap Thiam Hien Award tahun 2004 karena dinilai menjadi figur yang berhasil mengatasi kesedihannya menjadi kesadaran akan nilai kemanusiaan.

Rfq
Bacaan 2 Menit
Maria Catarina Sumarsih, dari korban menjadi pejuang HAM. Foto: Sgp
Maria Catarina Sumarsih, dari korban menjadi pejuang HAM. Foto: Sgp

Ungkapan “Kasih Ibu Sepanjang Masa” yang juga terkenal sebagai judul lagu, memang sulit terbantahkan. Bagaimanapun dan dalam kondisi apapun, seorang ibu pasti akan sayang kepada anaknya. Untuk menunjukkan rasa sayang itu, segala cara bisa dilakukan, termasuk berjuang. Itulah gambaran kisah Maria Catarina Sumarsih, ibunda dari (alm) Bernardus Realino Norma Irawan.

Nama lengkap anak laki-laki Sumarsih mungkin kurang akrab di telinga publik. Karena Bernardus Realino Norma Irawan memang lebih ‘populer’ dengan nama Wawan. Sebagian kalangan, khususnya aktivis 98 menyebut Wawan bersama tiga almarhum lainnya sebagai Pahlawan Reformasi. Ya, Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi jurusan Akutansi, Universitas Atmajaya memang wafat dalam insiden berdarah Mei 1998, ketika gerakan reformasi mulai menggeliat.

Kejadian yang merenggut nyawa Wawan memang sudah berlalu 12 tahun silam, tetapi Sumarsih belum bisa melupakannya. Dengan setia, selama 12 tahun ini, Sumarsih menanti seraya terus berjuang menuntut pengungkapan kasus naas yang menimpa Wawan. Sumarsih menagih tanggung jawab negara untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM yang jelas-jelas menyatakan insiden Trisakti dan Semanggi sebagai pelanggaran HAM berat.

Ditemui di kantor LBH Jakarta, di siang hari yang terik, medio Desember 2011 lalu, Sumarsih berbagi kisah tentang perjuangannya menuntut keadilan atas kematian anak laki-laki semata wayangnya itu.

Kepada hukumonline, Sumarsih mengaku berulang kali mengingatkan Wawan agar tidak ikut berdemonstrasi. Peringatan yang sama kembali dilontarkan Sumarsih di hari naas itu. Tetapi, Wawan bergeming. Wawan tetap berangkat dengan janji kepada Sumarsih, dia tidak akan turun ke jalan karena hanya akan bergabung di bagian logistik. Hari itu, 13 November 1998, akhirnya menjadi hari terakhir Sumarsih bertemu dengan anaknya, dalam keadaan bernafas.

Sumarsih mengatakan peringatan yang dia sampaikan kepada Wawan bukannya semata dilandasi rasa khawatir seorang ibu kepada anak. Sumarsih yang kala itu bekerja di Sekretariat Jenderal DPR, mengaku mendapat informasi bahwa akan terjadi penembakan dengan peluru tajam.

“Saya sengaja tidak memberitahu Wawan, cuma Wawan harus jaga diri baik-baik. Saya tidak memberitahu akan ada penembakan bebas dan peluru tajam supaya tidak menjadi ramai di kampusnya” ujarnya.

Takdir berkata lain. Harapan Sumarsih agar anaknya itu pulang dalam keadaan selamat kandas. Sumarsih justru mendapat kabar Wawan tertembak. Dia bergegas menuju ke Rumah Sakit Jakarta, tempat dimana para korban termasuk Wawan dirawat. “Karena saya orang katolik, saya berdoa Rosario minta supaya Wawan diberi keselamatan,” ujarnya lirih.

Sekali lagi, Sumarsih dihadapkan pada takdir yang menyakitkan. Sesampainya di rumah sakit, Sumarsih mendapati Wawan sudah terbujur kaku di sebuah keranda terbuka. Dia pun menangis sejadi-jadinya. Yang diingat Sumarsih, ketika di rumah sakit, dia melihat kaos yang dikenakan Wawan terdapat bercak darah dan pada bagian dada sebelah kiri terdapat lubang peluru kecil.

Sepeninggal wawan, Sumarsih mengaku kehilangan semangat hidup. Kerja tidak lagi semangat, makan pun segan. Mempertimbangkan kondisi yang bersangkutan, Sekretariat Jenderal DPR lalu memberikan cuti besar selama tiga bulan kepada Sumarsih. “Selama tiga bulan saya hanya duduk, tidak makan ada tiga mingguan. Kalau lapar saya minum air putih setengah cangkir sudah kenyang,” katanya.

Singkat cerita, Sumarsih mendengar kabar para keluarga korban penembakan akan mendapat santunan sebesar Rp5 juta dari salah satuanggota MPR. Santunan itu diterima Sumarsih tetapi disertai dengan permintaan khusus. Sumarsih ingin santunan itu diberikan kepada oknum aparat yang menembak Wawan atau setidaknya kepada 163 prajurit yang dikenakan sanksi terkait insiden berdarah tersebut.

“Di tanda terimanya saya tulis, mohon bantuannya agar dana sebesar Rp5 juta ini diberikan kepada yang menembak Wawan kalau tidak ditemukan agar diberikan kepada ABRI atau Polri yang bertugas pada hari Jumat tanggal 13 November sekitar jam 5 sore di sekitar kampus Atmajaya,” ujarnya.

Secara lisan, Sumarsih juga berpesan agar penerima dana itu memberikan tanda terima kepadanya. Tapi sayang, hingga kini tanda terima penerima dana Rp5 juta itu tak juga kunjung datang. “Sampai sekarang tanda terimanya tidak pernah saya terima,” tukasnya.

Pansus mengecewakan

Uang Rp5 juta mungkin tidak banyak, tetapi sikap Sumarsih yang menolak menerima santunan jelas menggambarkan bahwa sebenarnya yang dia cari bukanlah uang, tetapi keadilan. Makanya, Sumarsih tidak pernah patah semangat berjuang agar misteri penembakan Wawan terungkap. Dia mendatangi satu demi satu instansi, terkait ataupun tidak. Mulai dari Polisi Militer Daerah Militer Jaya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan hingga DPR.

Bersama Aliansi Korban Kekerasan Negara (Akra), Sumarsih rajin memantau proses pembahasan Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait insiden Semanggi I dan II serta insiden Trisakti. Episode akhir Pansus ternyata tidak sesuai harapan Sumarsih serta keluarga korban insiden Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti. Mayoritas anggota Pansus menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat.

Sekira Juli 2001, kesimpulan Pansus DPR ditetapkan melalui Rapat Paripurna. Saat kesimpulan itu dibacakan oleh Ketua Pansus Panda Nababan, terjadi insiden ‘kecil’. Sumarsih yang mengaku sudah mendapat ‘bocoran’ hasil Pansus, menyiapkan tiga butir telur untuk dilempar. Niat Sumarsih terlaksana, dia sempat melemparkan telur tersebut sebelum akhirnya satuan pengamanan DPR mengamankannya. “Saya melempar tiga butir telur,” ujarnya mengenang.

Kesimpulan Pansus DPR ini menambah ruwet penyelesaian kasus Semanggi I, II dan Trisakti. Hal ini juga menjadikan hasil penyelidikan Komnas HAM bahwa ketiga kasus itu adalah pelanggaran HAM berat, menjadi sia-sia. Pasalnya, dengan berdalih merujuk pada kesimpulan Pansus DPR, Kejaksaan Agung menolak melanjutkan penyelidikan Komnas HAM serta memulai penyidikan. Makanya, berkas penyelidikan Komnas HAM dikembalikan oleh Kejaksaan Agung.

Meski kecewa terhadap kesimpulan Pansus DPR, Sumarsih terus berjuang. Untungnya, dia tidak sendiri. Sejumlah orang yang anggota keluarganya juga menjadi korban insiden Semanggi dan Trisakti serta insiden kekerasan lainnya juga memperjuangkan hal yang sama. Bersama janda (alm) Munir, Suciwati, Sumarsih lalu membentuk Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) Pelanggaran HAM.

Bersama JSKK, Sumarsih rutin menggelar aksi damai dengan menggunakan payung hitam di depan Istana Presiden sejak Januari 2007. Karena digelar setiap hari Kamis, aksi damai itupun disebut sebagai aksi ‘Kamisan’. Tidak hanya aksi damai, Sumarsih juga berulang kali mengirim surat ke Kepala Negara. “Dalam perkembangannya kita memberikan surat kepada presiden itu yang ke-206 yang kita kirim,” ujarnya.

Secara umum, perjuangan Sumarsih bersama para keluarga korban lainnya mengungkap kasus Semanggi I, II, dan Trisakti memang belum menuai hasil yang signifikan. Tetapi, Sumarsih bertekad akan terus berjuang. Dia bahkan siap berjuang untuk korban atau keluarga korban kasus pelanggaran HAM lainnya seperti kasus Lapindo atau kasus-kasus penggusuran paksa yang kerap terjadi. “Idealnya (perjuangan, red) sampai tidak terjadi pelanggaran HAM berat lagi,” ujarnya.

Perjuangan tak kenal lelah yang ditunjukkan Sumarsih bukannya tanpa apresiasi. Sumarsih sempat dianugerahi Yap Thiam Hien Award tahun 2004. Dalam acara penganugerahan yang digelar di Museum Nasional, Jakarta, Ketua Dewan Juri Asmara Nababan–kini almarhum- menilai Sumarsih layak menerima Yap Thiam Hien Award karena menjadi figur yang berhasil mengatasi kesedihannya menjadi kesadaran akan nilai kemanusiaan.

"Saya ini bukan apa-apa. Aktivitas saya pun spontan dan banyak tak terencana. Ini tak pantas untuk saya, tapi untuk Wawan, anak saya," kata Sumarsih seusai acara penganugerahan (Tempo Interaktif, 10 Desember 2004).

Tidak hanya berupa award, kalangan aktivis HAM juga memberikan apresiasi kepada Sumarsih. Wakil Koordinator Kontras Indria Fernida, misalnya. Dia menilai Sumarsih sebagai sosok yang gigih dalam memperjuangkan keadilan bagi keluarga korban pelanggaran HAM. Menurut Indria, Sumarsih dapat mengubah rasa sakit hati menjadi sebuah semangat perjuangan untuk mendapatkan keadilan bagi anak lelakinya.

“Saya rasa dia gigih, karena dia mentransformasi dirinya dari seorang korban yang awalnya dia jatuh, sakit hati, kecewa dan sedih,” pujinya. Di mata Indria, Sumarsih juga seorang pejuang HAM yang konsisten, dan rela berjuang untuk kepentingan orang lain.

“Dan saya rasa bahwa dia memang tidak hanya pada kasusnya, tetapi dia berjuang terhadap pelanggaran HAM ini pada apa yang tidak terselesaikan pada kasusnya itu punya dampak dengan terjadinya kekerasan yang terjadi saat ini,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait