Menteri PPPA: Pencegahan Perkawinan Anak Butuh Gerakan Bersama
Utama

Menteri PPPA: Pencegahan Perkawinan Anak Butuh Gerakan Bersama

Karena praktik perkawinan anak dapat mencoreng seluruh hak anak, salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak, dan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Menteri PPPA,  I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Foto: AID
Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Foto: AID

Praktik perkawinan anak tak hanya berdampak pada kualitas sumber daya manusia, tapi juga berdampak pada tingkat kemajuan Indonesia dari segi pendidikan dan perekonomian. Terlebih, ketika di masa pandemi kerentanan perkawinan anak dikhawatirkan semakin marak terjadi disebabkan semakin banyaknya kemiskinan yang membuat orang tua putus asa dan menikahkan anaknya di usia dini.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan setiap bangsa yang besar akan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Hal ini menjadi agenda pembangunan RPJMN 2020-2024 yang berfokus pada sumber daya manusia terkait kualitas anak-anak Indonesia yang populasinya mencapai sepertiga dari penduduk Indonesia. Tingginya angka perkawinan anak juga merupakan program pemerintah 2020-2024 yang diamanatkan oleh Presiden Jokowi.

“Anak-anak dilindungi dalam konstitusi dan memiliki hak-hak dasar yang harus dilindungi. Untuk itu, diperlukan strategi pencegahan perkawinan anak, terlebih di masa pandemi. Strategi pencegahan perkawinan anak tengah dirancang Kementerian PPPA bersama gerakan masyarakat,” ujar I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam sebuah Dialog Nasional bertajuk “Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Masa Pandemi”, Kamis (10/3/2022).

Hak-hak dasar anak, kata dia, yakni hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan, partisipasi telah dilindungi dalam UUD Tahun 1945, Keppres No.36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak-Hak Anak, UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

“Praktik perkawinan anak dapat mencoreng seluruh hak anak, salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak, dan bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” kata dia.

Baca:

Ia menyebut perkawinan anak terjadi baik terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan, 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun. Dan hanya 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Namun, risiko bagi anak perempuan jauh lebih tinggi.

Berdasarkan data BPS, lanjutnya, meski secara nasional turun, namun terjadi kenaikan di 9 provinsi. Meski turun target masih jauh dari target RPJMN 8,74 persen pada akhir 2024. Data tahun 2020, ada 22 provinsi perkawinan anak lebih tinggi. Hal ini harus menjadi perhatian semua pihak karena berdampak buruk bagi anak, mulai pendidikan menjadi putusan sekolah, kesehatan, ekonomi menjadi kemiskinan, dan lainnya.

“Apalagi saat ini, Indonesia masih menghadapi pandemi dan risiko anak perempuan rentan dinikahkan akan terjadi sekitar 13 juta anak karena terdorong kondisi pandemi.”

Pencapaian regulasi tentang perkawinan anak saat ini, kata dia, yakni dari UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan anak laki-laki dari 19 tahun dan wanita 16 tahun. Kemudian diubah menjadi UU No.16 Tahun 2019, usia pernikahan anak laki-laki dan wanita menjadi 19 tahun. Dan, adanya peraturan Mahkamah Agung No.5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

Sebagai upaya pencegahan perkawinan anak, kata dia, Bappenas bersama PPPA dan dukungan lembaga terkait memiliki strategi pencegahan yakni optimalisasi kapasitas anak, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, aksesbilitas perluasan layanan bagi anak, penguatan regulasi dan kelembagaan.

“Perkawinan anak butuh dukungan gerakan bersama dari masyarakat untuk menciptakan daya dukung yang kuat. Menghapuskan perkawinan anak adalah hal yang krusial untuk melibatkan anak-anak itu sendiri,” kata dia.

Penguatan regulasi dan kelembagaan

Direktur Keluarga Perempuan Anak Pemuda dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas, Woro Srigastuti Sulistyaningrum mengatakan strategi nasional pencegahan perkawinan anak melalui aksesibilitas dan perluasan layanan menjamin anak mendapat layanan dasar yang komprehensif untuk kesejahteraan anak. Fokusnya melalui pelayanan untuk mencegah perkawinan anak, pelayanan untuk penguatan anak pasca perkawinan.

Selain itu, melalui penguatan regulasi dan kelembagaan. Hal ini untuk menjamin pelaksanaan penegakan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan. Dengan berfokus pada penguatan kapasitas kelembagaan peradilan agama, KUA, dan perbaikan regulasi, dan optimalisasi kapasitas anak,

“Perlu memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan. Fokusnya meningkatkan kesadaran dan sikap terkait hak kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif, peningkatan partisipasi anak dalam pencegahan perkawinan anak,” kata Woro dalam kesempatan yang sama.  

Hukumonline.com

Woro Srigastuti Sulistyaningrum.  

Dia melanjutkan pelaksanaan strategi nasional pencegahan perkawinan anak harus melibatkan pemerintah pusat dan daerah untuk penguatan, akselerasi, dan konsolidasi. Penguatan, artinya membangun narasi kontekstual dan kerangka kerja lintas pemangku kepentingan untuk menolak perkawinan anak dari sudut pandang masyarakat. Akselerasi yakni mengaktifkan peran pemangku kepentingan dan optimalisasi kebijakan yang telah dimiliki provinsi/kabupaten/desa untuk pencegahan perkawinan anak. Konsolidasi untuk menciptakan kebijakan yang efektif untuk pencegahan perkawinan anak.

Pemerintah pusat dalam perannya melakukan pencegahan perkawinan anak yakni memimpin proses kampanye massal di tingkat nasional dan daerah; memastikan ketersediaan regulasi yang harmonis untuk pencegahan perkawinan anak; merumuskan arah strategi pencegahan perkawinan anak; memastikan adanya sinergi terkait upaya pencegahan perkawinan anak; mengintegrasikan praktik baik dan inovasi di tingkat daerah dalam rumusan kebijakan; memastikan ketersediaan anggaran untuk mendukung pencegahan perkawinan anak; dan memantau kemajuan dan pelaksanaan pencegahan perkawinan anak.

Pemerintah daerah dimulai dari provinsi, kab/kota, kecamatan hingga desa. Ia menyebutkan memasukan adanya komitmen dalam bentuk kebijakan pencegahan perkawinan anak; memastikan alokasi anggaran untuk kegiatan pencegahan perkawinan anak; memastikan praktik baik di tingkat pelaksanaan terdokumentasikan dan menjadi acuan untuk merumuskan kebijakan; dan memastikan adanya sinergi dan koordinasi implementasi kebijakan pencegahan perkawinan anak di tingkat provinsi, kab/kota, kecamatan dan desa.

Pelibatan masyarakat dalam implementasi strategi nasional pencegahan perkawinan anak diantaranya melakukan penguatan pelibatan anak dan remaja dalam bentuk sosialisasi; pendidikan kecakapan hidup serta kampanye pencegahan perkawinan anak; mendorong terbentuknya kesadaran masyarakat untuk melakukan pengawasan di lingkungan sekitarnya.

Tak hanya itu, melakukan penjangkauan kepada rumah tangga rentan, khususnya di masa pandemi yang berpotensi menikahkan anak di usia dini; melakukan pendampingan bagi korban perkawinan anak atau anak yang mengajukan dispensasi perkawinan; kepentingan terbaik bagi anak; dan penguatan kelembagaan perlindungan anak di masyarakat terkait hak-haknya.

Tags:

Berita Terkait