Menristekdikti Hapus M.Kn., Begini Sikap Ikatan Notaris Indonesia
Utama

Menristekdikti Hapus M.Kn., Begini Sikap Ikatan Notaris Indonesia

Persoalan yang menjadi perhatian adalah proses pendidikan, kualitas lulusan, dan seleksi pengangkatan menjadi notaris.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Logo Ikatan Notaris Indonesia. Foto: www.ikatannotarisindonesia.or.id
Logo Ikatan Notaris Indonesia. Foto: www.ikatannotarisindonesia.or.id

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) tidak menolak dihapuskannya gelar M.Kn. (Magister Kenotariatan) oleh Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti). Dalam Kepmenristekdikti yang mulai berlaku sejak ditetapkan 5 September 2017 lalu itu, semua jenis gelar pendidikan tinggi hukum di jenjang Sarjana dan Magister diseragamkan hanya menjadi S.H. dan M.H.

 

Kepmenristekdikti No.257/M/KPT/2017 tentang Nama Program Studi Pada Perguruan Tinggi (Kepmenristekdikti Nama Program Studi) tersebut merupakan pelaksanaan Pasal 5 Peraturan Menristekdikti No.15 Tahun 2017 tentang Penamaan Program Studi pada Perguruan Tinggi (Permenristekdikti Program Studi) yang lebih dulu diteken Menristekdikti Mohamad Nasir sejak pertengahan Januari 2017.

 

“Nggak ada masalah mau gelar M.H. mau M.Kn. Yang kita pikirkan adalah lulusan dari program studi itu,” kata Ketua Umum PP INI Yualita Widyadhari saat diwawancarai hukumonline usai acara Diskusi Terarah PP INI terkait gelar Magister Kenotariatan, di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Kamis(21/12).

 

Menurut Yualita, lulusan Magister Kenotariatan saat ini mencapai 3000 orang setiap tahunnya terutama sejak jumlah kampus yang membuka program studi ini bertambah banyak. Tercatat ada 39 Universitas baik negeri maupun swasta yang saat ini memiliki izin penyelenggaraan megister ini.

 

“Kalau jumlah notaris sudah cukup ya, 16.000, cuma persebarannya yang memang belum merata,” tambah notaris yang bertugas di DKI Jakarta ini.

 

Dalam diskusi tersebut terungkap berbagai usulan peserta yang akan dijadikan bahan masukan resmi atas nama PP INI kepada Kemenristekdikti terkait perubahan gelar akademik ini. Berdasarkan diskusi yang mengundang jajaran pengurus PP INI serta para notaris serta dosen di berbagai program magister kenotariatan, sejak 1954 sudah ada program pendidikan khusus calon notaris.

 

Dahulu pendidikan ini disebut spsesialis notaris bagi sarjana hukum yang akan mengikuti ujian calon notaris. Pendidikan ini memberikan gelar CN (Candidate Notaris) sampai nanti sarjana hukum tersebut lulus ujian pengangkatan notaris. Pendidikan ini berubah sejak tahun 2000 dengan alasan menyesuaikan dengan standar UU Sistem Pendidikan yang berlaku saat itu. Keputusan yang diambil ialah memasukkannya ke jenjang magister dengan harapan ada pengembangan ilmu kenotariatan.

 

Sejak disahkannya UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris), syarat untuk menjadi notaris diwajibkan tidak hanya berbekal sarjana hukum namun juga harus lulusan strata dua kenotariatan. Syarat ini membuat perguruan tinggi yang mendapatkan izin untuk menyelenggarakan magister kenotariatan terus bertambah. Awalnya hanya ada enam perguruan tinggi, namun kini telah bertambah hingga mencapai jumlah 39 kampus per Desember 2017. Jumlah terbanyak masih berada di Pulau Jawa.

 

Kampus Penyelenggara Magister Kenotariatan

Perguruan Tinggi Negeri

Perguruan Tinggi Swasta

UNSYIAH (Universitas Syiah Kuala, Aceh)

USU (Universitas Sumatera Utara)

UNAND (Universitas Andalas, Sumatera Barat)

UNSRI (Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan)

UNIB (Universitas Bengkulu)

UNJA (Universitas Jambi)

UNIBA (Universitas Balikpapan, Kaltim)

UI (Universitas Indonesia)

UNPAD (Universitas Padjadjaran, Jawa Barat)

UNDIP (Universitas Diponegoro, Jawa Tengah)

UNS (Universitas Sebelas Maret, Jawa Tengah)

UNSOED (Universitas Jendral Soedirman, Jawa Tengah)

UGM (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

UNAIR (Universitas Airlangga, Surabaya)

UNIBRAW (Universitas Brawijaya, Malang)

UNEJ (Universitas Jember)

UNTAN (Universitas Tanjungpura, Kalbar)

UNLAM (Universitas Lambung Mangkurat, Kalsel)

UNUD (Universitas Udayana, Bali)

UNRAM (Universitas Mataram, NTB)

UNHAS (Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan)

UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)

UNPRIM (Universitas Prima Indonesia, Sumetera Utara)

UJAYABAYA (Universitas Jayabaya, DKI Jakarta)

UPS (Universitas Pancasila, DKI Jakarta)

USAKTI (Universitas Trisakti, DKI Jakarta)

UNTAR (Universitas Tarumanegara, DKI Jakarta)

UNYARSI (Universitas YARSI, DKI Jakarta)

UKNKRIS (Universitas Krisnadwipayana, DKI Jakarta)

UPH (Universitas Pelita Harapan, DKI Jakarta)

UNISBA (Universitas Islam Bandung)

UNPAS (Universitas Pasundan, Jawa Barat)

UNISSULA (Universitas Islam Sultan Agung, Jawa Tengah)

UNTAG (Universitas 17 Agustus, Jawa Tengah)

UII (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

UNNAR (Universitas Narotama, Surabaya)

UBAYA (Universitas Surabaya)

UNISMA (Universitas Islam Malang)

UNWAR (Universitas Warmadewa, Bali)

Sumber: bahan presentasi Habib Adjie

 

Anggota Dewan Kehormatan Pusat INI, Habib Adjie menyampaikan hal senada. Notaris Surabaya yang juga dosen magister kenotariatan di UBAYA ini melihat bahwa yang menjadi persoalan bahwa bukan mengenai gelar yang disandang. “Gelar itu kan hanya sebutan lah, tidak perlu diributkan, apapun gelarnya yang penting sesuai aturan, mau M.H. boleh, mau M.Kn. boleh,” ujarnya.

 

Bagi Habib yang perlu dipastikan adalah bekal keilmuan dan kualitas kompetensi yang dimiliki calon notaris bukanlah magister hukum secara umum. Mengingat ada kemampuan teknis yang harus dikuasai. Lebih lanjut, Habib tidak mempermasalahkan jumlah penyelenggara magister kenotariatan yang bertambah banyak. Yang terpenting seleksi notaris harus lebih ketat untuk menjaga kualitas notaris.

 

“Bolehlah pendidikan notariat di mana saja, sebanyak berapapun, tetapi kalau mau jadi notaris, INI punya peran lebih dong,” katanya.

 

Habib menjelaskan bahwa Ujian Kode Etik Notaris (UKEN) yang telah ada selama ini masih belum memadai untuk menyaring calon notaris berkualitas. Dalam UKEN, materi ujian terbatas pada materi kode etik dan UU Jabatan Notaris. Pengujian kemampuan teknis justru tidak tercakup dalam UKEN. Apabila lulus UKEN dan telah melalui magang, setiap pemilik gelar M.Kn. berhak untuk diangkat menjadi notaris.

 

Habib menilai hal ini menjadi persoalan karena masa magang dua tahun tidak bisa menjadi jaminan seorang M.Kn. sudah memiliki kecakapan yang dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya. Padahal notaris tidak dapat disamakan dengan jenis profesi hukum lainnya. Tugas besar notaris ialah pejabat umum yang diangkat negara untuk membuat akta otentik dengan stempel pengesahan negara. Artinya notaris menjadi perpanjangan tangan peran negara yang dibuktikan dengan izin penggunaan cap resmi lambang burung Garuda Pancasila dalam menjalankan jabatannya.

 

Untuk itu, Habib setuju atas usulan Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kemenkumham yang akan memberlakukan ujian tambahan untuk pengangkatan notaris meskipun telah mengikuti UKEN dan magang selama dua tahun. “Jadi nanti ada 3, di dunia pendidikan kampus, ingin jadi kandidat notaris ikuti ketentuan INI (UKEN), ingin diangkat notaris ikut ujian pengangkatan,” lanjutnya.

 

Sampai dengan diterbitkannya Permenkumham No.62. Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Permenkumham No.25 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian, dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris, satu-satunya ujian yang harus dilalui untuk diangkat menjadi notaris bagi seorang M.Kn. hanyalah ujian kode etik oleh organisasi notaris yaitu INI.

 

Terhitung sejak tahun 2018 nanti INI memang telah mewajibkan calon notaris menyelesaikan magang selama 2 tahun terlebih dulu sebelum dapat mengikuti UKEN. Sebelumnya UKEN biasa diikuti semua M.Kn. meskipun belum menjalani magang. “Selama ini yang ikut ujian kode etik belum magang, begitu lulus(M.Kn.) langsung ikut UKEN, hasilnya kan kurang baik, mulai 2018 harus magang bersama dulu baru bisa UKEN,” jelas Yualita.

 

Baca:

 

Ketua Bidang Diklat PP INI, Yurisa Martanti, menambahkan, faktanya dari 3000 peserta UKEN terakhir di tahun 2017 sebenarnya tingkat kelulusan murni hanya mencapai 50%. “Kalau tidak diturunkan passing grade-nya dengan kebesaran hati Ibu Ketua Umum, itu 50% nggak lulus, mengerikan,” kata notaris Jakarta yang juga dosen program kenotariatan di Universitas Jayabaya ini.

 

Yurisa sependapat dengan Habib bahwa masih diperlukan lagi adanya ujian pengangkatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui Dirjen AHU. “Setuju saya, karena kita ini kan pejabat pemerintah di bidang hukum perdata, sah saja, justru malah lebih bagus,” tambahnya.

 

Evaluasi Kurikulum Pendidikan Kenotariatan

Berbagai tanggapan notaris yang berkembang dalam diskusi terarah kompak tidak mempersoalkan tentang gelar. Hanya saja ada perbedaan sikap mengenai evaluasi pendidikan kenotariatan yang 17 tahun belakangan ini dikemas dalam program studi magister.

 

Alwesius, Ketua Bidang Program Pendidikan dan Magang PP INI yang juga dosen magister kenotariatan di UNS ini menilai sebenarnya penempatan pendidikan kenotariatan sebagai program magister sudah salah kaprah sejak awalnya. Menurutnya, pendidikan notaris harusnya menekankan keahlian teknis. Ada banyak mata kuliah yang tidak relevan terpaksa harus dijejalkan karena tuntutan syarat sebagai program magister.

 

“Lebih banyak materi akademiknya yang ditonjolkan karena harus memenuhi syarat program akademik yang tidak berkaitan dengan kenotariatan,” ungkapnya.

 

Masalah lain yang Alwesius lihat adalah kampus pada akhirnya terdorong untuk mengejar kepentingan bisnis dan akreditasi ketimbang kualitas calon notaris. “Walaupun misalnya tidak memenuhi syarat, sejauh mungkin nilainya diangkat agar akreditasi tidak merosot, cenderung faktor bisnis lebih menonjol,” lanjutnya.

 

Lain lagi dengan pandangan Fully Handayani, notaris yang juga dosen magister kenotariatan UI ini adalah lulusan generasi pertama program M.Kn. FH UI. Meski Fully tidak mempermasalahkan apapun gelar yang digunakan, tapi ia berpendapat bahwa pendidikan kenotariatan sudah tepat ditempatkan pada jenjang magister.

 

“Orang jangan hanya melihat bahwa notaris itu hanya keterampilan menjahit akta, membuat, lalu sudah ada templatenya, bukan, lebih dari itu untuk memberikan masukan kepada penghadap bahkan memberikan pendapat hukum,” jelasnya.

 

Oleh karena itulah Fully tidak setuju jika pendidikan calon notaris hanya dipandang keterampilan vokasional. Menurut Fully, yang harusnya dibenahi adalah penyeragaman standar kurikulum antara kampus-kampus penyelenggara program studi magister kenotariatan.

 

“Di sini yang harus dicermati adanya 39 penyelenggara prodi justru tidak seragam standar menghasilkan magister kenotariatan,” jelasnya. Di UI sendiri Fully mengatakan bahwa kurikulum M.Kn. yang disusun telah disesuaikan antara kebutuhan jam praktik dengan kewajiban beban kuliah teoritis.

 

“Maka itu penting sekali ada ujian pengangkatan, kalau UKEN itu bukan kognitif, ujian pengangkatan adalah kemampuan menguasai materi, disitu INI bisa berperan,” usulnya.

 

Sementara itu Elis Nurhayati, notaris yang mengajar di program kenotariatan Unpad menilai bahwa pengalamannya sebagai lulusan pendidikan spsesialis notaris terasa sangat berbeda dengan kurikulum magister kenotariatan. Meskipun pendidikan spsesialis notaris juga berdurasi dua tahun seperti M.Kn. saat ini. “Dulu dua tahun, kita teorinya nggak terlalu banyak, jamnya lebih banyak untuk teknik-teknik pembuatan akta, beda,” katanya.

 

Elis membenarkan bahwa pendidikan magister lebih menitikberatkan kepada teori. “Kenyataannya dalam kurikulum M.Kn. ini lebih banyak teori, jam untuk praktik kurang,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait