Menkumham Tegaskan Tak Ada Imunitas dalam Perppu Penanganan Covid-19
Berita

Menkumham Tegaskan Tak Ada Imunitas dalam Perppu Penanganan Covid-19

Pasal 27 Perppu No 1 Tahun 2020 sempat menjadi polemik karena dianggap memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada penyelenggara Perppu.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Foto: RES
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Foto: RES

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, meyakinkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, tidak otomatis menghilangkan delik korupsi atas pejabat pemerintah pelaksana Perppu. 

 

Menurut Yasonna, tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan perppu ini tetap akan ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. "Tidak ada istilah kebal hukum bagi pihak-pihak yang menjadi pelaksana perppu ini. Pasal 27 pada perppu tersebut tidak berarti menghapus delik korupsi,” ujar Yasonna dalam keterangannya, Selasa (12/5).

 

Menurut Yasonna, Pasal 27 Perppu No. 1 Tahun 2020 hanya memberi jaminan agar pelaksana perppu tidak khawatir dalam mengambil keputusan. Penyebaran pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan berakhirnya menuntut kecepatan dalam pengambilan keputusan.

 

"Jangan lupa bahwa Presiden telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional,” tegas Yasonna.

 

Artinya, dengan status bencana nasional, Yasonna mengingatkan apabila terjadi korupsi terhadap dana anggaran Covid-19 dapat ditindak sesuai Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menetapkan bahwa korupsi di saat bencana bisa dijatuhi hukuman mati. (Baca: Menyoal Pasal Imunitas Penanganan Covid-19 Menjelang Disahkan DPR)

 

Yasonna menegaskan dengan atau tanpa ketentuan Pasal 27, tidak ada yang imunitas dalam penanganan tindak pidana korupsi. Bila ditemui bukti adanya keputusan yang dibuat sengaja menguntungkan diri atau kelompok, tetap akan diproses di pengadilan dan ditindak secara hukum. 

 

Menurut Yasonna, frasa “tidak dapat dituntut” seperti di dalam Perppu No.1 Tahun 2020 bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. "Klausul ini juga pernah diatur dalam UU Pengampunan Pajak, UU Bank Indonesia, UU Ombudsman, UU Advokat, dan UU MD3. Bahkan beberapa pasal di KUHP juga mengatur tentang sejumlah perbuatan yang tidak dipidana," katanya.

 

Selain itu, pejabat yang terkait pelaksanaan perppu ini juga tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika melaksanakan tugas dengan berdasarkan pada itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan.

 

Selanjutnya, Yasonna juga menjelaskan bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 diterbitkan dengan pertimbangan kondisi yang genting dan memaksa. Syarat ini sudah terpenuhi sehingga pemerintah memilih jalan menerbitkan Perppu. "Pemerintah perlu segera mengambil tindakan penting dan butuh dana besar yang mencapai Rp405,1 triliun sebagaimana disampaikan Presiden,” terang Yasonna.

 

Anggaran ini sebelumnya tidak diatur di dalam APBN 2020, namun pandemi Covid-19 memaksa pemerintah untuk menyediakannya dengan cepat. Karenanya, perppu ini merupakan payung hukum bagi penyediaan anggaran tersebut.

 

“Justru keliru bila anggaran ini langsung dikeluarkan tanpa adanya dasar hukum. Karena itulah perppu ini harus ada, untuk memastikan pengambil keputusan tidak khawatir dan tetap dipagari agar tidak bisa korupsi,” ujar Yasonna.

 

Menurut Yasonna, semua langka yang diambil pemerintah ini dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan rakyat, bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Karena itu Yasonna membantah anggapan bahwa Perppu mengabaikan hak anggaran yang dimiliki oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat.

 

"Anggapan bahwa Perppu ini meniadakan peran DPR tidaklah tepat. Selain itu, toh Perppu ini tetap harus melalui persetujuan DPR sebelum ditetapkan menjadi UU," kata Yasonna. 

 

Presiden Joko Widodo menyebut bahwa pemerintah memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBD untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun. 

 

Total anggaran tersebut dialokasikan sebesar Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp 75 trilun untuk belanja bidang kesehatan, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat, serta Rp 150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.

 

Sebelumnya, Pasal 27 Perppu No 1 Tahun 2020 sempat menjadi polemik karena dianggap memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada penyelenggara Perppu. Pasal itu menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan kebijakan negara terkait Covid-19 tidak termasuk kerugian negara. 

 

Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan Perppu ini seharusnya ditolak. Secara khusus, Marwan menyoroti pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020.menurut Marwan, Pasal ini telah memberi kekebalan hukum kepada para pejabat negara yang menjalankan kebijakan pemerintah berdasarkan Perppu ini.

 

Para pejabat yang bertugas pada berbagai lembaga seperti diuraikan dalam Perppu diberi perlindungan jika telah melakukan tugas berdasarkan itikad baik dan ketentuan peraturan,” ujar Marwan.

 

Ia mengingatkan, moral pemerintah tidak boleh hanya diserahkan pada niat atau sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan berkuasa. Betarapun baiknya seseorang, tetapi kekuasaannya tetap harus diatur dan dibatasi. Sebaliknya jika pemerintah menjalankan tugas berdasarkan itikad baik dan patuh terhadap aturan, semestinya tidak perlu khawatir akan dituntut secara perdata dan pidana.

 

Tags:

Berita Terkait