Menkumham: KPK Tak Akan Lumpuh Jika Korupsi Masuk KUHP
Berita

Menkumham: KPK Tak Akan Lumpuh Jika Korupsi Masuk KUHP

Pemerintah berjanji delik khusus akan tetap dihargai dalam RKUHP.

ANT
Bacaan 2 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly. Foto: RES
Menkumham Yasonna H Laoly. Foto: RES

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan dilumpuhkan dalam pembahasan RKUHP. "Ada perbedaan pandangan, yang pasti KPK tidak akan jadi lumpuh gara-gara itu (RUU KUHP)," katanya di gedung Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta, Jumat (18/9).

Saat ini Komisi III dan Kemenkumham yang mewakili pemerintah sedang membahas RUU KUHP. Namun, dalam rancangan tersebut dimasukkan delik korupsi. Walau masuk dalam RKUHP, Yasonna memastikan bahwa delik khusus, seperti korupsi akan tetap dihargai.

"Karena di buku kesatu juga diatur bahwa ini delik umum. Kalau ada delik umum tetap dihargai delik khusus yang ada karena kewenangan KPK kan tidak dipangkas," tambah Yasonna.

Ia mengatakan, RKUHP bertujuan untuk membuat kodifikasi hukum di Indonesia. Walau begitu, ia memastikan, keberadaan pidana khusus seperti korupsi di RKUHP tidak akan menghilangkan lembaga KPK sebagai aparat penegak hukum.

"Tidak berarti BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) menjadi bubar dengan delik terorirsme ada di KUHP. Delik pencucian uang jadi hilang, ya enggak. Ini kan tetap kewenangan penegakan hukum. KPK tetap dipertahankan. Lex specialis-nya ada di dalam buku satu yang belum dibahas, ada ketentuan itu. Orang liatnya sepotong-sepotong," jelas Yasonna.

Masuknya pidana khusus dalam RKUHP dikritik sejumlah kalangan, termasuk KPK. Hal ini dinilai dapat berdampak pada KPK sebagai lembaga penegak hukum yang khusus mengurusi tindak pidana korupsi yang notabene bersifat lex specialis, bukan bersifat umum seperti KUHP (lex generalis).

Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji meminta agar tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang tidak dimasukkan ke dalam RKUHP. Permintaan ini dibuktikan dengan telah dilayangkannya surat KPK kepada pemerintah agar delik tindak pidana korupsi tidak diintegrasikan ke dalam RKUHP.

"Inti masukan kami, usahakan agar delik korupsi dalam UU Tipikor untuk sementara tidak masuk dalam RKUHP. Pemahanan secara akademik maupun praktik, jika delik tindak pidana korupsi (tipikor) masuk dalam RUU KUHP, maka akan mengalami perubahan menjadi delik tindak pidana umum (tipidum)," katanya saat menggelar konferensi pers di KPK,  Senin (14/9).

Indriyanto menjelaskan, apabila delik tipikor menjadi delik tipidum, maka tidak ada lagi yang menjadi ranah KPK maupun Kejaksaan, dalam hal ini Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Ia berpendapat penempatan delik tipikor dalam RKUHP akan melemahkan dan mereduksi kewenangan KPK.

Terlebih lagi, menurut Indriyanto, penempatan delik tipikor dalam RKUHP akan mempengaruhi segala kewenangan KPK dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sebagaimana diketahui, KPK memiliki kewenangan khusus yang diatur dalam UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK,  seperti penyadapan dan perekaman di tingkat penyelidikan.

Oleh karena itu, Indriyanto meminta pemerintah, dalam hal ini Dirjen PP Kemenkumham mendiskusikan dan membicarakan secara intensif rumusan RUU KUHP dengan para stakeholder, termasuk KPK dan Kejaksaan. Ia juga meminta permasalahan ini diselesaikan terlebih dahulu sebelum pemerintah melakukan pembahasan dengan DPR.

Andaikata pemerintah sudah terlanjur memasukan delik tipikor ke dalam RKUHP, Indriyanto meminta pemerintah menyiapkan pula revisi UU Tipikor. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) antara delik tipikor yang diatur dalam RKUHP dan UU Tipikor. Selain itu, juga tidak akan mereduksi kewenangan KPK dan Kejaksaan.

Tags:

Berita Terkait