Menkopolhukam: RUU KUHP Disahkan Jadi UU Akhir Tahun
Terbaru

Menkopolhukam: RUU KUHP Disahkan Jadi UU Akhir Tahun

RUU KUHP tinggal finalisasi yang sudah mengakomodasi banyak hal, mulai dari berbagai kepentingan, aliran, paham, situasi, budaya, dan lain sebagainya.

Ferinda K Fachri
Bacaan 5 Menit
Menkopolhukam M. Mahfud MD. Foto: RES
Menkopolhukam M. Mahfud MD. Foto: RES

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) M. Mahfud MD mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sudah memasuki tahap finalisasi dan segera disahkan menjadi UU pada akhir tahun ini.

"Ini (RUU KUHP) sudah dibahas selama 59 tahun (sejak 1963, red) dan sudah hampir final. Bahkan sudah dikatakan final, tapi dibersihkan terlebih dahulu dari hal-hal yang sifatnya teknis," ujar Mahfud MD usai Dialog RUU KUHP di Surabaya, Rabu (21/9/2022) seperti dikutip Antara.

Mahfud mengatakan pengesahan Rancangan KUHP menjadi undang-undang (UU) yang sah akan berproses di DPR RI. Nantinya, dalam pengesahan itu dilakukan bersama pemerintah pusat. "Insya Allah akhir tahun ini RKUHP sudah bisa disahkan jadi UU oleh DPR RI bersama pemerintah," kata dia.

Dia mengklaim dalam RUU KUHP tersebut sudah mengakomodasi banyak hal, mulai dari berbagai kepentingan, aliran, paham, situasi, budaya, dan lain sebagainya.

"Isinya sudah mengakomodasi berbagai kepentingan, berbagai aliran, berbagai paham, berbagai situasi budaya, dan sebagainya. Tinggal dilanjutkan menjadi satu namanya visi bersama tentang Indonesia," ujar dia.

Baca Juga

Kendati begitu, kata dia, sebenarnya ada 14 isu krusial dalam RUU KUHP atau RKUHP yang telah disetujui DPR RI.

Untuk diketahui, 14 isu krusial RKUHP yang dimaksud. Pertama, Pasal 2 yang mengatur living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Dalam penjelasan, living law yang menentukan seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat. Pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan, jika perbuatan pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) RKUHP.

Kedua, Pasal 100 mengatur pidana mati. Berbeda dengan KUHP yang menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok. RKUHP menempatkan sebagai ancaman pidana paling akhir dijatuhkan dan sebagai pidana alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu paling lama 20 tahun dan pidana penjara seumur hidup. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1) RKUHP.

Ketiga, Pasal 218 terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Keempat, Pasal 252 terkait dengan tindak pidana dengan memiliki kekuatan ghaib (santet/teluh, red). Tindak pidana tersebut merupakan delik formil, sehingga tak perlu ada akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu apabila seseorang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan untuk menimbulkan penyakit dan lainnya.

Tindak pidana tersebut perlu dikriminalisasi karena beberapa hal. Seperti, sifatnya sangat kriminogen (dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana lain) dan viktimogen (secara potensial dapat menyebabkan kerugian berbagai kepentingan). Kemudian melindungi kepentingan individual (misalnya mencegah praktik penipuan). Serta melindungi religiusitas dan ketentraman hidup beragama yang dilecehkan oleh perbuatan syirik.

Kelima, Pasal 278-279 yang mengatur tentang unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih. Pemerintah dalam penjelasannya, pasal tersebut telah diatur dalam Pasal 549 KUHP. Karenanya pemerintah mengusulkan mengubah Pasal 278 dan 279 RKUHP menjadi delik materil. Pasal ini masih diperlukan dalam melindungi para petani yang berpotensi mengalami kerugian akibat benih atau tanamannya dirusak unggas/ternak milik orang lain.

Keenam, Pasal 281 tentang contemp of court. Keberadaan pasal tersebut diatur dalam memberikan kepastian perlindungan hukum bagi hakim dan aparatur pengadilan, hingga menjadi dasar hukum untuk menegakkan kewibawaan pengadilan. Pemerintah mempertahankan pasal tersebut dengan perubahan pada penjelasan Pasal 281 huruf c, sehingga berbunyi: Yang dimaksud dengan “dipublikasikan secara langsung” misalnya, live streaming, audio visual tidak diperkenankan. Sehingga tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita dan mempublikasikannya. Yang pasti, pasal tersebut diatur demi ketertiban umum agar menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.

Ketujuh, Pasal 304 tentang penodaan agama. Pemerintah mengusulkan untuk mereformulasi rumusan Pasal 304. Alhasil, terdapat 3 perbuatan yang diatur, seperti melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; menyatakan kebencian atau permusuhan; atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia.

Perbuatan dalam rumusan ini telah disesuaikan dengan perbuatan sebagaimana diatur dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta dipandang lebih jelas jika dibandingkan dengan kata “penodaan” pada rumusan pasal sebelumnya.

Kedelapan, Pasal 342 tentang penganiayaan hewan. Pemerintah telah menambahkan penjelasan Pasal 342 ayat (1) huruf a. Dengan demikian menjadi berbunyi “Yang dimaksud dengan ‘kemampuan kodrat’ adalah kemampuan hewan yang alamiah”. Kesembilan, Pasal 414-416 tentang alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan.

Dalam penjelasan, Pasal 414 tidak ditujukan bagi orang dewasa, melainkan untuk memberikan pelindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas. Pengecualian Pasal 414 bila dilakukan untuk program KB, pencegahan penyakit menular seksual, kepentingan pendidikan, dan untuk ilmu pengetahuan. Kemudian dilakukan untuk kepentingan pendidikan. Sementara rumusan Pasal 416 RKUHP sesuai dengan Pasal 28 UU No.52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

Kesepuluh, Pasal 431 tentang Penggelandangan. Pemerintah mengusulkan agar rumusan Pasal 431 tetap diatur dalam draf RKUHP. Tujuannya agar dapat menjaga ketertiban umum. Sanksi yang diberikan bukan pidana pemenjaraan, tapi sebatas pidana denda. Dimungkinkan pidana alternatif berupa pengawasan atau pidana kerja sosial. Alasan lainnya, akibat adanya putusan MK No.29/PUU-X/2012 yang menguatkan pengaturan penggelandangan dalam draf RKUHP.

Kesebelas, Pasal 469-471 tentang aborsi. Pemerintah mengusulkan penambahan 1 ayat baru yang menyebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 12 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis”. Penambahan 1 ayat baru tersebut memberi pengecualian bagi pengguguran kandungan untuk perempuan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis atau hamil karena korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak lebih dari 12 minggu. Ketentuan dalam ayat baru tersebut merupakan ketentuan yang telah diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Kedua belas, Pasal 417 tentang Perzinahan. Tak ada satupun agama yang membolehkan perzinahan. Sebab, perzinahan menjadi kejahatan tanpa korban (victimless crime) yang secara individual tidak langsung melanggar hak orang lain, tapi melanggar nilai budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat. Pasal 417 bagi pemerintah bentuk penghormatan terhadap lembaga perkawinan. Rumusan pasal tersebut sebagai delik aduan yang hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak. Seperti suami, istri, orang tua, atau anaknya.

Ketiga belas, Pasal 418 tentang kohabitasi (tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan). Rumusan pasal tersebut merupakan delik aduan. Pengadunya hanya dapat diajukan orang-orang yang terdampak. Namun begitu, pemerintah mengusulkan menghapus ketentuan kepala desa yang dapat mengajukan aduan. Dengan begitu, aduan hanya dapat dilakukan suami/istri (bagi yang terikat perkawinan), atau orang tua atau anak (bagi yang tidak terikat perkawinan).

Keempat belas, Pasal 479 tentang perkosaan. Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 agar konsisten dengan Pasal 53 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tapi kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan.

Tags:

Berita Terkait