Menkopolhukam: Kasus Pelanggaran HAM Berat Harus Diadili, Tidak Bisa Dihapus
Utama

Menkopolhukam: Kasus Pelanggaran HAM Berat Harus Diadili, Tidak Bisa Dihapus

Mahfud mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi terhadap asumsi yang menyebut tim PPHAM ini akan menghapus mekanisme yudisial dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Menkopolhukam Mohammad Mahfud MD dalam konferensi pers mengenai perkembangan kerja tim PPHAM, Senin (19/12/2022). Foto: ADY
Menkopolhukam Mohammad Mahfud MD dalam konferensi pers mengenai perkembangan kerja tim PPHAM, Senin (19/12/2022). Foto: ADY

Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No.17 Tahun 2022 terus bekerja untuk merampungkan tugas dan kewenangannya. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mohammad Mahfud MD, mengatakan kerja-kerja tim PPHAM saat ini sudah masuk tahap finalisasi. Targetnya awal tahun 2023 sudah selesai dan hasilnya diserahkan kepada Presiden RI.

Mahfud menjelaskan tim PPHAM sudah berdialog dengan berbagai kampus, organisasi masyarakat sipil mulai dari kalangan gereja, organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, organisasi masyarakat sipil, dan terakhir dengan pengurus besar Nahdlatul Ulama (NU). “Kami berharap kerja-kerja tim PPHAM bisa selesai tepat waktu,” kata Mahfud MD dalam konferensi pers mengenai perkembangan kerja tim PPHAM sebagaimana diunggah kanal video Kemenkopolhukam, Senin (19/12/2022) kemarin.

Mahfud menegaskan tim PPHAM sudah berada di jalur yang benar. Dia juga mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi terhadap asumsi yang menyebut tim ini akan menghapus mekanisme yudisial dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.

Baca Juga:

Mengacu peraturan yang berlaku, Mahfud menegaskan proses yudisial dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat tidak bisa dihapus. Kasus pelanggaran HAM berat juga tidak mengenal daluarsa. Paling penting adalah bagaimana Komnas HAM dan Kejaksaan Agung melengkapi pembuktian mengingat sudah 38 orang dibebaskan karena tidak cukup bukti bahwa mereka terlibat pelanggaran HAM berat.

“Proses yudisial kasus pelanggaran HAM berat tidak bisa dihapus karena itu perintah UU dan harus diadili, tidak ada daluarsa,” tegasnya.

Mahfud juga menegaskan masyarakat untuk tidak terprovokasi terhadap asumsi yang menilai tim PPHAM ini menghidupkan lagi PKI. Kerja-kerja yang dilakukan tim PPHAM antara lain untuk pemulihan korban pelanggaran HAM berat dimana beberapa kasus korbannya kebanyakan dari kalangan penganut agama Islam seperti kasus pelanggaran HAM berat di Aceh, Lampung, dan Banyuwangi.

“Tidak ada upaya pemerintah untuk menutup mekanisme yudisial dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kasus pelanggaran HAM berat tidak ada daluarsa dan harus dibawa ke pengadilan,” imbuh Mahfud.

Sebelumnya, Wakil Ketua Tim Pelaksana Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Ifdhal Kasim, mengatakan Keppres No.17 Tahun 2022 berisi sedikitnya 3 mandat utama yakni pengungkapan, pemulihan korban, dan pencegahan.

Menurut Ifdhal Kasim, pengungkapan yang dimaksud Keppres bukan investigasi dalam rangka penegakan hukum. Tapi mengungkapkan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi, misalnya bagaimana terjadinya, latar belakang, dan mengidentifikasi dampak peristiwa itu terhadap korban. “Ini hal utama dalam pengungkapan yang dimaksud Keppres. Paling penting mengidentifikasi dampaknya peristiwa itu bagi korban,” kata dia.

Pemulihan yang dimaksud Keppres yakni ditujukan bagi korban dan keluarganya. Bahkan Ifdhal mengingatkan jika mengacu instrumen HAM internasional pemulihan itu juga termasuk orang dekat korban. Terakhir, pencegahan, yang diharapkan agar peristiwa pelanggaran HAM berat serupa tidak terjadi lagi di masa depan.

Bagaimana kerja yang akan dilakukan tim? Ifdhal menjelaskan terkait proses pengungkapan akan dilakukan upaya memenuhi hak korban untuk mengetahui kebenaran atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat yang dialami. Tim akan menggelar kegiatan dalam bentuk dengar pendapat publik yang melibatkan komunitas korban dan pendampingnya. Serta mengkaji dokumen yang relevan termasuk dokumen resmi dari lembaga negara, seperti Komnas HAM, LPSK, militer dan lainnya.

Dalam kegiatan dengar pendapat publik itu nanti tim juga akan meminta pendapat korban tentang apa harapan dan keinginan mereka terkait pemulihan. Bisa saja mereka mengharapkan ada pemulihan nama baik, reparasi, beasiswa dan lainnya. Mengenai pencegahan bentuknya nanti rekomendasi perbaikan terhadap para pihak terkait misalnya terhadap sistem pendidikan di TNI dan Polri. Pembenahan kelembagaan dan lainnya karena ini akan terkait dari temuan dalam pengungkapan kasus.

“Karena dalam menulis laporan yang dibuat akan diperoleh polanya dan institusi mana yang berperan dalam kasus ini dan itu yang jadi sasaran rekomendasi. Nanti laporan akhir, berisi rekomendasi spesifik,” ujar Ketua Komnas HAM periode 2007-2012 itu.

Ifdhal mengatakan ada 11 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan diungkap dan dipulihkan melalui tim. Meliputi peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985), Tragedi Talangsari (1989), Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989), Tragedi 1965 (1966-1975), Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998), Mei Berdarah (1998), Trisakti-Semanggi I dan II (1998-1999), Pembantaian Dukun Santet (1998-1999), Penembakan Simpang KKA (1999), Penembakan Wasior dan Wamena (2001-2002), dan Penembakan Paniai (2014).

Tags:

Berita Terkait