Menkominfo Usul Buka Medsos dengan Nomor Ponsel, LBH: Rentan Disalahgunakan
Berita

Menkominfo Usul Buka Medsos dengan Nomor Ponsel, LBH: Rentan Disalahgunakan

Indonesia belum memiliki sistem keamanan data yang dapat melindungi seluruh informasi pengguna media sosial. Sehingga jika kebijakan ini benar diterapkan maka akan rentan sekali untuk disalahgunakan nantinya.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara meminta media sosial menerapkan sistem keamanan yang mengharuskan pengguna membuka akun menggunakan nomor telepon seluler. "Yang membuka akun, rujukannya 'mandatory' harus nomor ponsel. Kalau sekarang kan tidak," kata Rudiantara usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Senayan, Jakarta, Selasa (18/6) lalu.

 

Rudiantara mengaku mengirimkan surat kepada media sosial berisi permintaan tersebut sebagai langkah menekan akun yang menyebarkan konten negatif. Namun, Ia tidak menyebutkan secara khusus nama media sosial yang dikirim surat itu untuk ikut menekan penyebaran konten negatif dan hoaks, namun mengatakan media sosial besar.

 

Menurut dia, membuka akun media sosial menggunakan nomor telepon seluler (ponsel), bertujuan untuk mempermudah melacak apabila pemilik akun menyebar konten negatif, termasuk berita bohong atau hoaks.

 

Pemerintah sebelumnya mewajibkan seluruh pengguna jasa telekomunikasi untuk mendaftarkan nomor telepon lengkap dengan identitas sebelum digunakan. "Jadi kalau melacak gambar, tidak tahu siapa, akun palsu juga bisa," ucapnya.

 

Ia juga meminta media sosial meningkatkan pelayanan selain menerapkan sistem nomor ponsel untuk membuka akun. Selain itu, media sosial juga diminta menyediakan "artificial intelligence" dan mesin edukasi kepada pengguna.

 

"Itu untuk bisa mencari dengan cepat. Kita tidak perlu lagi mencari, baru lapor. Harusnya mereka 'platform' itu bisa melakukan deteksi dini dengan mengunakan 'artificial intelligence' dan mesin 'learning'," tuturnya.

 

Merespons rencana tersebut, Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Ayu Eza Tiara mengatakan bahwa pemerintah seharusnya lebih responsif dalam mengatasi permasalahan penyebaran data pribadi. Termasuk didalamnya nomor ponsel yang rentan sekali di salahgunaan.

 

“Karena itu juga bagian dari hak privasi. Makanya saat ini kan aplikasi banyak yang memberikan pilihan ke pengguna antara mau email atau nomor ponsel (skema keamanan ganda),” kata Ayu kepada hukumonline, Senin (24/6).

 

Ayu mengingatkan bahwa Indonesia belum memiliki sistem keamanan data yang dapat melindungi seluruh informasi pengguna media sosial. Sehingga jika kebijakan ini benar diterapkan maka akan rentan sekali untuk disalahgunakan nantinya.

 

Jika pemerintah berdalih untuk mengatasi berita hoaks yang cepat mneyebar melalui media sosial, Ayu berpendapat salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melakukan kerja sama dengan beberapa medsos untuk mengatasi hoax.

 

“Tidak perlu ada kebijakan seperti ini. Dan di beberapa medsos juga sudah membuka ruang pemblokiran berita hoax,” tambahnya.

 

(Baca: Pembatasan Akses Medsos Dinilai Langgar Hak Publik)

 

Menurut Ayu, pemerintah memiliki hak untuk memfilter konten-konten yang tersebar di media sosial. Yang terpenting, lanjutnya, pemerintah tidak membatasi ruang gerak masyarakat, tapi mengajari masyarakat untuk dapat menyaring mana informasi yang benar dan tidak.

 

“Bukan membatasi gerak atau meminimalisasi masyarakat yg juga merupakan korban hoax,” ujarnya.

 

Selama ini, kata Ayu, pengamanan akun media sosial menggunakan sistem skema ganda, dengan menyediakan dua pilihan email atau nomor ponsel. Jika pemerintah mewajibkan satu pilihan hanya dengan nomor ponsel, maka kekhawatirannya adalah pihak lain bisa mengaktifkan nomor ponsel jika nomor tersebut terblokir. Sehingga kebijakan ini lebih berpotensi menimbulkan dampak negatif karena sistem keamanan data di Indonesia belum ada.

 

Untuk diketahui, saat ini pemerintah bersama DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. RUU yang menjadi usul inisatif DPR itu masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019 dengan nomor urut 53. Memang RUU tersebut cukup lama berada di tangan pemerintah.

 

Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informatika  (Kemenkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan, materi muatan dari RUU ini terpenting mengatur tata kelola perlindungan data pribadi. Selain itu, soal otoritas pihak yang mengawasi jalannya perlindungan data pribadi. Nah Dalam RUU mengatur adanya pembentukan sebuah badan.

 

Namun, belum jelas perlu tidaknya lembaga khusus tersebut. Meski begitu, Semmy menilai perlu dibentuk lembaga dengan diisi oleh orang-orang di luar pemerintahan dan professional agar pengawasannya lebih independen dan profesional. “Kita ingin lembaga ini diisi oleh orang di luar pemerintah,” ujarnya.

 

Sanksi pidana pun diatur terhadap mereka yang melakukan pencurian data pribadi dengan bebagai modus dapat dikenakan ancaman hukuman pidana satu tahun. Karena itulah dibutuhkan sosialiasi oleh Kemenkominfo terhadap masyarakat. Maklum di era digitalisasi, masih banyak masyarakat yang kurang peduli terhadap perlindungan data pribadi.

 

Tags:

Berita Terkait