Menkeu Tegaskan Bea Meterai Elektronik Bukan Pajak Transaksi Saham
Utama

Menkeu Tegaskan Bea Meterai Elektronik Bukan Pajak Transaksi Saham

Skema pengenaan bea meterai elektronik akan mempertimbangkan batas kewajaran. Saat ini aturannya tengah digodok oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES

DPR bersama pemerintah telah menyetujui Revisi Undang-Undang No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bea meterai yang sebelumnya Rp3 ribu dan Rp6 ribu, kini diubah menjadi satu tarif yaitu Rp10 ribu mulai 1 Januari 2021.

Ada tujuh pokok perubahan yang diatur dalam UU No.10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, salah satunya adalah dari sisi objek. Objek dimaksud pada UU Bea Materai baru adalah dokumen perdata, baik kertas maupun elektronik termasuk dokumen lelang, dokumen transaksi surat berharga yang termasuk di dalamnya dokumen transaksi saham (trade confirmation).

Dalam UU Bea Meterai, memang tak ada penjelasan mengenai batasan nilai nominal yang diterima investor sebagai dokumen transaksi surat berharga yang akan dikenakan bea materai Rp10rb per dokumen. Kondisi ini kemudian menuai polemik terutama di kalangan investor ritel.

Merespons isu yang berkembang, Sri Mulyani menegaskan bahwa UU Bea Meterai mengatur dua jenis meterai yakni meterai konvensional dan elektronik. Keberadaan bea meterai elektronik merupakan upaya pemerintah untuk memberikan kesetaraan antara dokumen konvensional dan dokumen elektronik. (Baca: Mulai Januari 2021, Bea Meterai Jadi Rp10 Ribu)

Namun dia menegaskan bahwa pengenaan bea meterai pada trade confirmation (CT)bukanlah pajak atas transaksi saham, namun bea atas dokumen konfirmasi perdagangan (CT) dari total dokumen perdaganan selama satu hari.

“Bea meterai itu pajak atas dokumen, bukan pajak atas transasksi. Isu yang berkembang seolah-olah transaksi saham dikenakan bea materai. Dalam bursa saham bea materai dikenakan saat konfirmasi perdagangan yang merupakan dokumen elektronik yang diterbitkan secara periodik atas keseluruhan dan transaksi jual beli satu hari, bea materai tidak dikenakan per transaksi saham,” kata Sri Mulyani dalan konferensi pers secara daring, Senin (21/12).

Selain itu, pihaknya juga tengah melakukan penyusunan peraturan bea meterai, termasuk skema pengenaan bea meterai elektronik yang mempertimbangkan batas kewajaran yang tercantum dalam dokumen. Artinya, tak semua dokumen CT akan dikenai bea meterai.

Selain melakukan penyusunan peraturan, pemerintah juga tengah menyiapkan infrastuktur, bentuk dan distribusi dari meterai elektronik. Sehingga pengenaan bea meterai elektronik belum bisa dilakukan pada 1 Januari 2021 mendatang.

“Tanggal 1 Januari belum akan diberlakukan (meterai elektronik), sedangkan pengenaan bea materai dengan dokumen elektronik akan mempertimbangkan batas kewajaran nilainya, pemerintah akan mempertimbangkan batas kewajaran yang tercantum dalam dokumen, memperhatikan kemampuan masyarakat. Dan aturan akan disampaikan kepada stakeholder sehingga bisa membangun minat ke investasi dan surat berharga serta pasar saham,” tegasnya.

Direktur P2 Humas DJP, Hestu Yoga Saksama, menyampaikan bahwa saat ini DJP tengah menyusun peraturan pelaksanaan atas UU Bea Meterai yang baru (UU Nomor 10 Tahun 2020).   Yoga menegaskan bahwa pengenaan Bea Meterai akan dilakukan terhadap dokumen dengan mempertimbangkan batasan kewajaran nilai yang tercantum dalam dokumen dan memperhatikan kemampuan masyarakat.

Disamping itu, dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah dan/atau kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan, dapat diberikan fasilitas pembebasan Bea Meterai.

“Dan saat ini DJP sedang berkoordinasi dengan otoritas moneter dan pelaku usaha untuk merumuskan kebijakan tersebut,” ujarnya.

Sementara itu pengamat pajak, Fajry Akbar mengatakan bahwa isu terkait bea meterai yang paling berhembus kencang adalah isu retail investor. Para retail investor menganggap hal ini membatasi mereka untuk masuk ke pasar modal. “Kalau kita lihat struktur investor pasar modal di Indonesia, memang kini telah didominasi investor ritel,” jelasnya.

Menurutnya, nilai rata-rata transaksi dari investor retail perharinya sekitaran Rp12 juta. Jadi yang dikenakan per-trade confirmation (transaksi per hari) bukan per-transaksi. Dia menilai ada miskomunikasi ke-dua yang terjadi. “Kalau nilai transaksi sebesar Rp12 juta, harusnya biaya bea materai Rp10.000 tak menjadi masalah,” tambahnya.

Namun dibalik isu ini, Fajru berpendapat pemerintah agak lambat dalam melakukan koordinasi dengan pihak yang berkepentingan, seperti bursa efek indonesia dan para perusahaan sekuritas. “Harusnya, jika koordinasi dilakukan di depan, lalu ada sosialisasi oleh seetiap pemangku kepentingan maka tidak akan miskomunikasi di publik. Jadi tidak ada pro kontra lagi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait